Arofah - Muzdalifah (kisah 4)
Siang Tanggal 8 Januari 2006, bertepatan dengan 8 Dzulhijjah, kami berkemas-kemas untuk berangkat ke Arofah. Direncanakan kami naik bus jam 15.00 – 16.00. Karena itu, Sholat dhuhur di hotel saat itu sekalian dirangkai dengan Sholat Asar, jama’ qoshor takdim. Menjelang jam 15.00 kami sudah bersiap di lobby hotel dengan mengenakan pakaian ihram, dan membawa tas tenteng, berisi pakaian seperlunya untuk lima hari selama di Arofah dan Mina. Aku juga mendapat amanah dari Pak Am untuk menyangking megaphone. O ya, Arofah dan Mina merupakan inti dari ritual haji, maka sebelum berangkat, kami telah berniat secara lisan dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma Hajjan”.
Saat bus kami datang, kami bergegas naik. Karena tidak ada penentuan siapa naik di bus mana, maka bus terdekat yang kosong langsung diserbu oleh jamaah yang paling depan. Istriku langsung naik ke bus terdekat. Sementara aku, sebagai ketua regu masih harus memastikan bahwa sepuluh orang anggotaku bisa naik dan terangkut semua. Maka ketika aku mau naik ke bus yang dinaiki istriku, ternyata sudah penuh. Ya, terpaksa aku naik di bus sebelahnya. Pertama agak kecewa juga aku, kok nggak bisa satu bus dengan istriku. Tapi nggak papa, toh ini hanya perjalanan 7 km ke Arofah, limabelas menit hingga setengah jam Insya Allah sudah sampai, begitu aku menghibur hatiku.
Jalan Ummul Quro yang menanjak, ditambah dengan padatnya kendaraan yang menuju Arofah, membuat jalanan jadi macet namun merambat. Sopir bus harus banyak main kopling. Bau kampas kopling yang menyengat menjadi akrab di hidungku, rupanya sudah aus dan perlu diganti. Beberapa kali sopir tidak bisa memindahkan gigi persneling. Diantara lantunan talbiyah kami, bus menderu-deru mempertahankan posisi. Dan di tanjakan ini beberapa kali pula bus terasa berjalan mundur dan mobil di belakang kami panik membunyikan klakson. Semula kupikir kejadian ini hanya terjadi selama di tanjakan Ummul Quro. Ee ternyata hampir setiap beberapa menit selama perjalanan kami, persneling selalu ngadat tidak mau dipindah. Mesin harus dimatikan dulu dan distarter lagi, baru kemudian bus dapat berjalan, untuk beberapa saat. Untunglah kami semua bersabar, tidak terdengar nada mengeluh dari teman-teman. Inilah salah satu ujian haji, begitu pikirku.
Tepat sebelum memasuki batas wilayah Arofah – aku mengetahui karena ada baliho besar bertuliskan “Arafat Start Here” – sopir bus menyerah, atau mungkin tepatnya bus sudah mogok total. Dia turun dari bus dan menghampiri petugas haji Kerajaan Arab yang standby di dalam mobil di tepi jalan. Dengan suara dialog yang keras mereka tampak bersitegang sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke sana - ke mari. Belakangan saya baru tahu bahwa memang seperti itulah gaya bicara dan perilaku orang Arab ketika bicara. Setelah dilakukan pengecekan, petugas memutuskan untuk memanggil bus cadangan. Sebetulnya kemah kami di Arofah tinggal dua sampai tiga ratus meteran lagi, namun kami dilarang untuk berjalan kaki sendiri. Mereka tahu resikonya. Tahun lalu, untuk kasus yang serupa, mereka harus mengembalikan 40 real kepada tiap penumpang. Makanya petugas bersikeras agar kami sabar sejenak menunggu bus cadangan.
Tidak lama kemudian datang mobil derek besar yang disusul dengan datangnya bus cadangan untuk kami. Saat itu sayup-sayup terdengar adzan maghrib dan matahari sudah sembunyi di bawah cakrawala. Petugas memerintahkan jamaah untuk berpindah ke bus cadangan. Kamipun menyambut perintah itu dengan segera pula. Sementara kami berpindah bus, mobil truk derek juga dipersiapkan untuk menarik bus yang mogok. Setelah semua penumpang masuk bus cadangan, bus baru segera berangkat. Lega rasanya hati kami, akhirnya bisa keluar dari kemelut ini. Tapi, Subhanallah, baru sekitar 100 meter bus melaju, tiba-tiba bus mengalami kerusakan. Anda tahu apa kerusakannya ? Sama persis dengan kerusakan bus sebelumnya. Tampak sang sopir berusaha keras untuk memindahkan persneling, namun tidak berhasil. Bus pun berhenti. Ironinya, truk derek yang menyeret bus kami yang mogok sebelumnya, berlalu mendahului kami yang sedang mengalami mogok kedua. Truk derek berhenti di depan kami. Sopir bus yang di derek turun dan terheran-heran sambil ngomel-ngomel. Mungkin artinya begini “Gimana sih ? kok bisa-bisanya ? Tadi bus pertama mogok, lalu datang bus kedua, bus pertama diderek, penumpang pindah ke bus kedua, eh … ternyata bus kedua mogok juga, benar-benar ajaib.”
Jarak yang semakin dekat dengan perkemahan, tidak menyebabkan kami diijinkan untuk berjalan kaki. Petugas memerintahkan kami untuk kembali berpindah ke bus pertama yang mogok, namun sudah dalam posisi diderek. Nah… lucu kan ? Jadi, kami diantar ke perkemahan oleh bus mogok yang sedang diderek, lengkap dengan lampu kuning yang menyala berputar-putar di atas kepala truk derek. Aku sempat berpikiran buruk. Pasti ada diantara penumpang bus kami ini yang memiliki dosa besar, sehingga bus mengalami cobaan berkali-kali. Mestinya tadi dilakukan pengundian untuk menentukan siapa yang harus diturunkan dari bus. Astaghfirullah … jangan-jangan aku sendiri yang harus turun ya ? Aku kirim SMS ke istriku yang sudah sampai di perkemahan, menceritakan kejadian yang kualami. Istriku membalas SMS “Sabar ya mas, banyak baca istighfar …”
Tepat saat adzan isya terdengar, rombongan bus mogok kami baru sampai di depan komplek perkemahan. Angka 33 pada papan yang terpampang di depan komplek perkemahan merupakan satu-satunya identitas yang bisa kami gunakan sebagai petunjuk bahwa di situlah perkemahan kami berada, karena ribuan tenda yang hampir sama berjajar di area padang Arofah yang sangat luas. Apalagi saat itu malam hari. Ketika memasuki tenda kami yang berukuran kira-kira 10 X 20 meter, teman-teman yang sudah datang duluan sedang bersiap-siap mengerjakan sholat isya berjamaah. Beberapa teman langsung terlibat percakapan “curhat” perihal mogoknya bus.
Setelah kami mengerjakan sholat isya semua, kebanyakan dari kami segera merebahkan badan untuk istirahat, sambil menikmati udara dingin padang arofah. Tidak ketinggalan juga iringan orkestra dengungan nyamuk, yang tanpa kami duga, ternyata cukup banyak di arofah. Sebagian teman yang lain, ngobrol sesuai dengan moodnya masing-masing. Pak Fuad ngobrol masalah pribadi dengan Kyai Jazuli. Teguh kecil – soalnya dia lahir tahun 1984 – cerita pengalaman mogoknya bus, dll. Yang tak kalah serunya adalah dengkurannya Pak Jatmiko dan Pak Pur.
Wukuf. Tanggal 9 Dzulhijjah pagi, setelah langit terang, kami mulai bisa menikmati pemandangan yang luas di luar kemah. Bukit-bukit batu yang tidak begitu tinggi tampak berdiri dengan kokoh di beberapa tempat. Tanah di Arofah ini memang merupakan padang pasir yang luas, yang saat ini diatasnya didirikan ribuan tenda untuk lebih dari dua juta jamaah haji dari berbagai penjuru dunia. Diantara putihnya hamparan tenda, terlihat hijau dedaunan dari pohon yang berumur ‘’setengah baya’’. Kelihatannya sejenis pohon lamtoro. Dan ternyata – saya cukup terkejut -- di setiap pohon terdapat selang/pipa yang muncul dari tanah di bawahnya, untuk mengairi pohon itu sendiri.
Sementara itu, dua helikopter pemerintah Arab Saudi terus berkeliling di atas Aroofah. Satu helikopter Chinook khas Amerika, dengan dua rotary wing, dan satu lagi helikopter biasa, seperti Puma buatan IPTN. Walaupun suara kedua helikopter itu cukup keras, namun membuat kami menjadi tenang, karena itu menandakan keseriusan pemerintah Arab Saudi dalam melayani para tamu Allah.
Hari itu adalah hari dilakukannya wukuf di Arofah. Wukuf diawali dengan sholat dhuhur, lalu khotbah wukuf, dan diakhiri dengan beristighfar dan berdoa hingga menjelang maghrib. Inilah ritual haji yang di dalamnya terkandung nilai yang paling tinggi, karena dengan jelas Rasulullah SAW menyatakan bahwa doa saat wukuf di Arofah adalah pasti dikabulkan. Pada saat doa bersama berakhir, dan sampai pada doa pribadi, aku memasuki dimensi yang sungguh lain dari biasanya, tetapi dulu pernah aku rasakan waktu aku kecil, yaitu waktu aku menangis. Ya, karena memang saat doa wukuf itu aku betul-betul menangis. Tapi jelas beda esensinya. Saat ini, begitu banyak gambaran dosa masa lalu yang kumohonkan ampun. Aku takut bahwa sesuatu yang aku anggap mungkin merupakan dosa kecil, barangkali ternyata merupakan dosa tak terampuni. Betapa banyak kemusrikan yang pernah kulakukan. Betapa sering aku melecehkan perintah Allah. Betapa banyak sunnah Rasulullah yang aku tinggalkan. Betapa sombongnya aku selama ini. Betapa lemahnya upayaku untuk menggapai keridlaan Allah. Dengan sepenuh hati aku memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosaku. Selanjutnya aku memohon agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Aku takut… sangat takut… apabila saat hari perhitungan nanti, ternyata aku tertolak dan dikeluarkan dari golongan umat Muhammad. Malaikat penjaga akan berkata kepada sang Rasul, ”Ya Rasulullah, orang ini bukan termasuk golonganmu”. Betapa menyesalnya nanti apabila yang kutakutkan itu betul-betul terjadi.
Setumpuk doa permintaan kupanjatkan. Doa kebaikan untuk diriku, istriku, bapak ibuku, bapak ibu mertuaku, adik-adikku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, kerabat-kerabatku, keluarga besarku, muslimin dan muslimat, d.l.l.
Selepas doa, menjelang sore, tiba-tiba kondisi kesehatan badanku terasa menurun. Beberapa hari indah sejak kedatanganku hingga saat ini, yang kulalui dengan kondisi badan yang sangat fit, rasanya akan segera berakhir. Tenggorokan terasa kering, hidung terasa mulai pilek, kepala agak pusing, suhu badan anget-anget sumer, dan yang paling nggak enak, badan terasa sangat lemas, tidak berdaya, otot-otot kaki dan punggung pegal-pegal. Aku menduga keras, sakit radang tenggorokanku bakalan kambuh hebat. Aku segera minum air putih sebanyak-banyaknya, lalu kuminum juga tablet royal jelly yang memang kupersiapkan dari rumah. Lalu aku berdoa dengan sungguh-sungguh, Ya Allah, berikanlah aku kekuatan, tiada daya kekuatan selain berasal dari-Mu, sehatkanlah kembali badanku ini. Lalu aku mulai merebahkan badan dan tidur. Sekitar satu jam kemudian, ketika Pak Am memerintahkan kami untuk berkemas-kemas, bersiap berangkat menuju Muzdalifah, Aku terbangun dari tidur. Subhanallah Walhamdulillah, aku betul-betul segar bugar, pulih kembali seperti sedia kala. Sebelum kukemasi barang-barangku, aku melakukan sujud syukur dahulu, sebagai wujud terima kasihku, bahwa aku telah sehat kembali.
Muzdalifah. Sebelum isya, giliran kami untuk naik bus menuju Muzdalifah sudah tiba. Satu-persatu kami naik ke dalam bus ber-AC, dengan membawa tas tenteng kami masing-masing. Tak lupa megaphone amanah dari Pak Am ku cangking juga, selalu. Dan Alhamdulillah, di dalam bus aku bisa bersanding tempat duduk dengan istriku.
Sekitar satu jam kemudian – dalam kondisi jalan sepi, seharusnya hanya 15 menit -- kami sudah memasuki wilayah Muzdalifah. Bus kami berhenti di tepi suatu dataran luas, yang memisahkan dua jalur jalan bus sejauh sekitar 400 meter, sejarak Safa - Marwa. Di tengahnya terdapat beberapa bangunan, yang semula kuduga, dipersiapkan sebagai toilet. Dan ternyata memang benar toilet. Kami turun dari bus, tepat di depan pintu pagar kawat, dekat papan nama bertuliskan angka 33, nomor maktab kami. Sejauh 100 meteran ke arah depan bus, terpancang papan nama bertuliskan angka 34, lalu 100 meter setelahnya 35, demikian seterusnya hingga sepanjang jalan raya. Di Muzdalifah kami harus mengambil kerikil untuk jumrah di Mina, dan mabit, bermalam, setidaknya hingga lewat tengah malam. Kulihat lautan manusia di tanah lapang ini, duduk di atas hamparan tikar yang telah dibawa oleh masing-masing jamaah, beratap langit malam yang cerah. Beberapa kelompok orang yang lain tampak sedang melakukan sholat berjamaah. Pak Am memerintahkan kepada kami untuk mendahulukan sholat, sebelum mencari kerikil. Kami mematuhinya dengan menyegerakan diri menuju toilet untuk mengambil air wudlu. Selanjutnya kami sholat jama’ qosor takhir, maghrib dan isya, secara berjamaah.
Setelah sholat, aku mencari kerikil di sekitar tikarku, sepuluh saja, untuk persiapan pelemparan jumrah aqobah. Istriku menghampiriku, mengajak untuk mencari kerikil lebih banyak lagi, untuk keperluan sekaligus empat hari pelemparan jumrah. “Dik, aku cukup sepuluh saja, lainnya nanti tak cari lagi di Mina” begitu jawabku. Ternyata responku tidak mengendorkan semangatnya. Akhirnya, bersama-sama dengan ibu-ibu yang lain, dengan berbekal lampu senter dan kantong kerikil, istriku menyusuri tanah-tanah kosong untuk mengumpulkan kerikil. Aku justru berniat menemui Pak Herry, atasan langsungku di kantor, yang saat ini juga mengerjakan ibadah haji bersamaku, tetapi beliau di maktab 35. Semenjak kedatanganku di Mekkah, aku belum pernah bertemu dengannya.
Setelah sedikit ngobrol dengan Pak Herry, aku kembali ke rombonganku, dan bersiap-siap untuk tidur. Angin yang kadang berhembus kencang membuat kami harus mengenakan masker selama tiduran. Debu-debu terasa sesekali menerpa badan dan wajah. Ditambah lagi udara yang cukup dingin. Dan kami, laki-laki, tidak boleh mengenakan pakaian tambahan, selain ihram yang kami pakai.
Hampir dua jam kami tidur, hingga ketika kemudian pimpinan rombongan kami meminta kami untuk bergeser tempat, mendekati pintu pagar, menuju semacam perhentian bus di luar pintu pagar. Rupanya saat itu sudah lewat tengah malam. Bus demi bus, penghuni maktab 33 diangkut ke Mina. Cukup lama kami antri bus, hingga akhirnya shubuh tiba kami baru bisa terangkut.
1 comment:
Senang membaca cerita anda. sebenarnya saya juga penlis buku. sekarang sudah selesai dan sudah beredar di pasaran. buku itu saya tulis dengan maksud agar bisa berbagi pengalaman buat calon jamaah haji Indonesia dan negara tetangga. info ada di www.mandailingnatal.page.tl
salam sahabat dari saya
Post a Comment