Photobucket

Wednesday, January 17, 2007

Menghirup Udara Arab (kisah 2)

Jam tangan Casio-ku sudah ku-set sedemikian rupa, sehingga jam utama yang berjarum menunjukkan waktu Indonesia, sedangkan digital display-nya menunjukkan waktu Saudi. Jam 10.00 WAS (Waktu Arab Saudi), pembimbing KBIH-ku, Pak Amrizal Arief, memerintahkan agar kami berganti pakaian ihram. Kain ihram bagian bawah sudah kami kenakan semenjak dari asrama haji Sukolilo. Secara bergantian kami memasuki ruang ganti kru pesawat untuk mengganti baju atas kami dengan selembar kain ihram, dan melepas CD. Sesuai dengan yang disampaikan saat latihan manasik, kami akan mengambil miqat di atas Tan’im, yaitu sebuah kota di sebelah selatan Mekah, kira-kira berjarak 20 menit sebelum mendarat di Jeddah. Sementara itu, jamaah calon haji KBIH lain yang satu pesawat dengan kami, tampak memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memasuki batas miqat ini. Ada yang sama dengan kami, segera berganti dengan pakaian ihram. Ada yang mantap berketetapan untuk berihram di Jeddah, sesuai dengan ijtihad salah seorang ulama Qatar. Ada pula yang panik dan agak kebingungan, karena pembimbingnya menyarankan berihram di Jeddah, tetapi ternyata melihat begitu banyak jamaah yang berihram di pesawat. Apalagi nanti setelah di layar monitor pesawat untuk penumpang muncul pesan bahwa pesawat telah memasuki Ihram Zone.

Setelah mengenakan kain ihram lengkap, kami kembali duduk hingga akhirnya terdengar pengumuman dari speaker bahwa pesawat akan memasuki batas miqat. Secara bersamaan kami segera mengucapkan niat haji Tammatu’ “Labbaik Allahumma Umratan”. Layar monitor segera memunculkan tulisan Ihram Zone yang berkedip-kedip. Di luar tampak kegelapan malam yang dihiasi lampu-lampu jalan dan kota kecil. Rupanya pilot sudah menurunkan ketinggian pesawat. Mendekati Jeddah, hatiku agak berdebar-debar. Bukan berdebar-debar akan memasuki masa kritis saat landing, tetapi sebentar lagi aku akan menghirup udara Jazirah Arabia, yang di situ dahulu beberapa nabi pernah mengukir sejarah perjuangan dalam menegakkan tauhid, menyeru para umatnya dengan kalimat Laa ilaa ha ilallah.

Setelah beberapa saat melaju di atas pantai Jeddah, kapal memutar arah hampir 180o. Daratan tampak semakin dekat. Lampu-lampu yang berderet rapi dan panjang yang nampak di jendela pesawat dapat segera kukenali sebagai Bandara Jeddah. Sesaat kemudian pesawat terasa sedikit mendongak, lalu roda terasa menyentuh landasan, dan hentakan-hentakan kembali terasa di pantat, sama dengan yang terasa di landasan pacu bandara Juanda Surabaya. Lega rasanya dapat mendarat dengan selamat, tanpa halangan apapun. Alhamdulillah ... Di ujung landasan, ketika pesawat mulai berbelok menuju terminal kedatangan khusus jamaah calon haji, windsock memberitahuku kalau pesawat mendarat dengan arah head wind.

Terlihat beberapa pesawat asing sedang menurunkan calon jamaah haji, ada Indian Air, pesawat Turki, pesawat China, dan lain-lain. Kami keluar pesawat melalui suatu belalai jembatan yang dapat mulur mungkret, yang menghubungkan antara pintu pesawat dengan terminal kedatangan. Setahuku, di Indonesia itu namanya garba rata, buatan IPTN Bandung. Kami langsung disambut oleh dua orang berpakaian arab, yang membagi-bagikan kaset dan buku kecil bertuliskan Petunjuk Jamaah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasul SAW, terbitan pemerintah Saudi.

Hawa dingin menyambut kedatanganku di Bandara King Abdul Aziz. Ternyata dinginnya Jeddah tak seperti yang kuperkirakan. Rasanya seperti malam hari di kota Malang saja. Mungkin karena sejak keluar pintu pesawat, proses imigrasi, hingga berkumpul lesehan di kavling kloter di Bandara, kami selalu disibukkan dengan tas-tas tentengan dan koper-koper. Apalagi aku kebagian jatah menyangklong corong megaphone KBIH, amanah dari Pak Amrizal sejak di pesawat. Bahkan keringat sempat bercucuran saat kami harus mengatur koper-koper berat yang dionggokkan oleh petugas di dekat kavling kloter, menjadi terkelompok sesuai regu dan rombongan. Ingat, saat itu aku menjabat sebagai ketua regu, dan aku harus memastikan 11 koper milikku dan milik anggotaku terjejer rapi dan berada di dalam kelompok koper rombongan 5.

Kira-kira dua jam kami berada di Bandara. Dengan pakaian ihram yang sudah dikenakan, kami cukup santai menunggu giliran pemberangkatan ke Mekkah. Sambil berdiri kuamati dunia baru di sekelilingku. Atap ruang tunggu bandara ini berwarna putih dan tampak tinggi, seperti kumpulan berpuluh-puluh payung segi empat raksasa yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa juga. Lantainya sangat luas, dipenuhi oleh kavling-kavling untuk istirahat sementara bagi para jamaah. Kavling seluas lapangan tenis menjadi jatah kloter kami, yaitu tempat dimana teman-temanku berglempohan di atas karpet yang nampaknya telah digunakan selama bertahun-tahun tanpa belas kasihan, alias kebulak-bulakan. Batas kavling ditandai dengan deretan kursi-kursi fiberglass berkaki rendah seperti sofa.

Bermacam-macam perilaku para pengembara spiritual yang kulihat. Ada yang tidur-tiduran, barangkali kecapaian karena di pesawat tidak bisa tidur. Maklum pengalaman pertama naik pesawat. Ada yang foto-foto, tembak sana tembak sini, ada juga yang numpang foto di sana dan numpang foto di sini. Yang tak kalah serunya adalah upaya teman-teman untuk mencoba mengunakan HP-nya masing-masing di jaringan GSM Arab. Ada yang langsung tembus, dan ada pula yang ternyata gagal dan terpaksa harus nunut di HP temannya untuk sekedar kirim SMS kepada keluarga di rumah, untuk menginformasikan bahwa dirinya telah sampai di Jeddah dengan selamat.

Hawa dingin baru terasa setelah aku berada di dalam bus yang membawa kami ke Mekkah. Mungkin karena kami melaju di di tengah-tengah gurun, di daratan yang beriklim sub tropis, berada pada 21o di sebelah utara equator, yang kadang-kadang bertiup angin utara yang dingin. Tapi barangkali yang lebih mungkin adalah karena busnya ber-AC…! Agak aneh rasanya bahwa bus yang kutumpangi berada di jalur kanan dari jalan raya, dengan sopir di sisi kiri bus, seolah-olah aku sedang masuk ke dalam dunia cermin. Kami melaju melalui jalan raya sekualitas jalan tol Cikampek, mulus dan lebar. Di kanan dan kiri tampak kegelapan malam yang dihiasi lampu-lampu di kejauhan. Kadang-kadang, setelah melalui kegelapan yang cukup lama, bus melintasi pom bensin atau toko yang hingar bingar dan terang benderang. Kubayangkan, kalau siang hari mungkin suasananya seperti di film-film yang pernah kulihat, yang berlatar negara bagian Texas atau Colorado di Amerika. Bedanya, di sini gundukan-gundukan bukit cukup banyak berserakan, sehingga membuat jalan harus berkelok, atau bukit itu yang terpaksa harus dibelah.

Aku sempat terlelap, hingga akhirnya tersadar dan kubangunkan istriku yang duduk di sampingku, saat bus sudah mendekati kota Mekkah, berada seratus kilometer di sebelah timur Jeddah. Gedung-gedung mulai merapat dan meninggi, mobil-mobil di jalan memadat, dan cahaya lampu semakin benderang. Kulihat jam tangan, mendekati jam empat pagi. Bus terus mendekat ke pusat kota, sampai beberapa saat kemudian, di trotoar kulihat banyak orang berjalan dengan langkah tergesa ke arah yang sama dengan laju bus yang kutumpangi. Aku buru-buru menoleh ke istriku, “Dik, orang-orang itu pasti sedang menuju Masjidil Haram untuk Sholat Shubuh, berarti kita sedang mendekati Masjidil Haram.” Istriku tampak terperanjat,” Masak sih Mas ? ”. Makin lama makin banyak pejalan kaki di trotar, bahkan sampai meluber ke jalan, hingga bus dan mobil lainnya melambat dan bunyi klakson bertambah seru. Saat itu busku berada di Jalan Ummul Quro.

Pandangan mataku sibuk mencari-cari bangunan di arah depan yang barangkali merupakan bagian dari Masjidil Haram. Belum sampai kutemukan sosok bangunan itu, tiba-tiba jalan menurun dan bus masuk ke terowongan bawah tanah. Ketika sampai di sebuah pertigaan, bus memutar berbalik arah, hingga keluar terowongan lagi, dan kini busku melawan arus pejalan kaki. Tak lama kemudian bus merapat ke kanan, di depan sebuah hotel bertingkat yang di depannya dipasang papan nama bertuliskan “Maktab 33”, serta logo bendera merah putih. Di bawahnya ada papan yang lebih kecil bertuliskan “Rumah no : 14”. Bisa kupastikan, itulah hotel tempat kami harus menginap, sesuai dengan ciri-ciri yang disampaikan oleh ketua kloter saat penjelasan di Sukolilo. Kami mulai bersiap-siap untuk turun. Namun belum sampai kami beranjak dari kursi, ada petugas Indonesia yang naik ke bus dan memberikan pengumuman, “ Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillah, Bapak-bapakp, Ibu-ibu, telah sampai di hotel tempat Bapak Ibu menginap. Silakan menunggu di bus, mohon sabar sejenak, jangan turun dulu, kami akan melakukan pengaturan koper dan kamar terlebih dahulu. Perlu kita syukuri, hotel yang akan ditempati ini cukup bagus, bersih, ber-AC, kamar mandi ada air hangatnya, lift-nya banyak, dan letaknya tidak jauh dari Masjidil Haram, kira-kira 700 m saja, Insya Allah jalan kaki 10 menit sudah sampai….dst” Alhamdulillah… hatiku berteriak bahagia. Mataku terasa memanas dan berair. Pak Bambang Sulaiman, yang duduk di depanku, menoleh ke istrinya dengan mata kemerahan dan berkaca-kaca. Kutengok teman-teman yang lain, sama. Dan di dalam bus terdengar suara gumaman hamdalah yang hampir bersamaan.

No comments: