Photobucket

Wednesday, January 17, 2007

Mengejar Matahari (kisah 1)

Cerita Haji. Bersamaan dengan masa kepulangan para jamaah haji 2007 ini ke tanah air, saya akan bernostalgia dengan menceritakan beberapa kisah perjalanan haji saya di awal 2006 lalu. Tidak berniat lain, sekedar berbagi pengalaman, barangkali ada sedikit manfaat bagi teman-teman yang bersiap-siap mau berangkat ibadah haji. Kisah terbagi dalam beberapa posting. Inilah kisahnya ...

Sejak kecil, aku begitu kagum dengan luasnya langit. Sering kuamati kerlip bintang gemintang malam hari dan arak-arakan awan di siang hari. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang anak kelas 1 SD sering kulontarkan kepada ayahku saat itu,” Mengapa bintang itu berkedip-kedip” Atau “Mengapa langit itu biru”, atau “Mengapa bulan itu berjalan mengikuti gerak kita yang sedang naik Vespa”. Suatu saat bahkan aku pernah tidak bisa menerima pernyataan ayahku bahwa langit itu tidak ada batasnya. Yah, kita memang terbiasa terkekang oleh batasan-batasan dan kerangka hasil bentukan pengalaman kita sendiri dalam memandang sesuatu. Barangkali karena itulah aku akhirnya terobsesi untuk dapat merasakan nuansa eksotisme rasanya mengarungi luasnya langit yang tanpa batas itu. Saat mulai bekerja di kota Malang selepas kuliah, kulihat ada orang-orang main paralayang di Batu. Wow, ini dia yang kucari selama ini. Dan jadilah aku ikut terbang bersama mereka.

Nah sayangnya, sampe segede gini, yang namanya naik pesawat terbang belum pernah kualami. Pernah aku ajak istri untuk sesekali merasakan naik montor mabur. Misalnya main ke Jakarta, berangkat pagi, pulang sore. Ee … kok ya nggak mau istriku itu. Akhirnya, sekali naik pesawat, langsung 10 jam menuju Jeddah, yang berjarak hampir 9.000 km dari Surabaya. Betul-betul pengalaman pertama yang kutunggu-tunggu.

Begitu bus rombonganku mendekati pesawat Airbus Saudi Arabian Airlines di Bandara Internasional Juanda Surabaya, tak kubiarkan kesempatan berlalu tanpa memotret burung aluminium itu. He he ndesit ya…. Memang. Bintik-bintik gerimis di kaca bus menghiasi hasil jepretanku, menimbulkan kesan blur di beberapa tempat. Sesaat kemudian, masih dengan guyuran gerimis, aku, istri, dan teman-teman se-kloter 88 menaiki tangga pesawat yang mampu memuat 450 penumpang itu.

Sebagai seorang pemula dalam hal naik pesawat, tentu aku sangat berharap untuk dapat menempati seat yang di pinggir, dekat dengan jendela. Aku lihat nomor tempat dudukku di tas paspor yang tergantung di leher, nomor 208, sedangkan istriku 207. Ternyata kudapati seat ku berada di nomor tiga dari jendela kiri, deket sayap pesawat. Tentu saja istriku di sebelah kiriku. Wah lumayanlah, pikirku. Yang tak kusangka, ada anggota reguku yang duduk dibelakangku, namanya Bu Sofiah, 70 tahun-an, biasa kami panggil dengan “Umi”, minta duduk di sebelah istriku. Apa akibatnya ? Penumpang di nomor 206 yang dekat jendela, yang tak lain adalah ustadzku Pak Chusnul mengalah, beliau bertukar tempat dengan Umi. Dan bisa diduga, aku memanfaatkan perubahan situasi itu untuk merangsek ke kiri, mentok ke jendela. Sedangkan Umi duduk di eks kursiku, 208, dekat lorong. Istriku yang tetap duduk di tengah tersenyum menyala-nyala sambil berbisik ke arahku,”Alhamdulillah ya, impiannya Mas untuk duduk dekat jendela terlaksana”. Batinku bergumam, belum sampai di tanah suci saja Allah sudah mengabulkan harapanku untuk duduk dekat jendela.

Dalam penerbangan, saat yang paling kritis adalah saat take off dan landing. Itu sudah kuketahui saat belajar paralayang. Apalagi cuacanya cukup mendung dan bergerimis. Mendekati jam 17.00, pesawat pelan-pelan meninggalkan terminal menuju landasan pacu. Sepuluh menit kemudian, pesawat sampai di ujung landasan pacu, lalu berputar 360 derajat. Tampak windsock – silinder kain yang dipasang di puncak tiang dekat ujung landasan pacu – melambai ke arah kiri. Artinya angin cenderung bertiup dari arah kanan badan pesawat, cross wind. Idealnya, angin bertiup tepat dari depan, head wind. Dengan pesawat masih terdiam, mendadak putaran mesin jet ditingkatkan hingga suaranya terdengar berdesing di kabin. Kulihat rumput ilalang di tepi landasan berkibar-kibar terkena hembusan mesin turbo jet yang menempel di sayap. Tiba-tiba pesawat melaju dan badanku tertekan ke arah belakang, sepertinya rem roda mendadak dilepas. Terasa hentakan-hentakan ringan di pantat akibat laju roda pesawat di permukaan landasan pacu yang memang pasti tidak bisa sempurna kemulusannya. Sejenak kemudian hentakan itu menghilang, dan permukaan landasan semakin terlihat merendah. Cuaca yang hujan gerimis dan sedikit berkabut, membikin suasana agak tegang, apalagi sesekali terlihat kilatan petir di dekat cakrawala. Dalam kondisi seperti itu, aku hanya bisa berserah diri kepada Allah. Ya Allah, Engkau yang jiwa dan raga ini ada di tangan-Mu, berilah keselamatan dalam perjalanan ibadah hajiku ini. Amin.

Pesawat terus melaju dan meningkatkan ketinggiannya menuju 35.000 feet. Sudah beberapa kali awan-awan dan kabut tertembus kendaraan angkasaku. Tentu saja aku selalu melirik ke arah jendela. Yang cukup mengejutkan, ternyata ujung sayap pesawat yang tadinya tampak kokoh kuat itu, kini terlihat lentur, sedikit melenting-lenting saat pesawat berguncang menembus awan. Subhanallah, begitu hebatnya manusia yang merancang dan membuat pesawat ini. Betapa hebatnya lagi Dzat yang menciptakan manusia yang bisa berpikir dan berkreasi ini.

Setelah lima belas menit, pesawat mulai kelihatan stabil, dan pemandangan di jendela mulai bersih dari kabut dan awan. Di atas tampak cerah, tidak ada ciri-ciri hujan sama sekali. Memang, saat ini posisi pesawat sudah berada di atas awan hujan, strato cumulus dan cumulus. Kulihat ke bawah, di sela-sela awan tampak pantai utara pulau jawa terlihat seperti segaris kurva tak beraturan, yang memisahkan bidang berwarna biru dan hijau.Masih ke arah jendela, kupalingkan pandangan ke arah depan, ke garis cakrawala, matahari masih menyaksikan keberangkatanku. Aku seperti mengejar matahari yang sebentar lagi akan menghilang di balik cakrawala. Dengan kecepatan penuhpun pesawat digeber, matahari tak akan terkejar. Pesawat melaju ke arah barat dengan kecepatan sekitar 915 km/jam, sementara dengan arah berlawanan, permukaan bumi berotasi melaju relatif terhadap posisi matahari 12.000 km/jam. Mana mungkin mengejar matahari, setidaknya hingga zaman ini. Begitu matahari tenggelam, terdengar ketua rombonganku mengingatkan masuknya waktu maghrib. Kami dipersilakan melakukan sholat jama’ qashar maghrib dan isya. Dengan bertayamum terlebih dahulu, aku mengerjakan sholat berjamaah dengan istriku.

No comments: