Photobucket

Sunday, August 16, 2009

Allah Knows, Zain Bhikha



Type rest of the post here

baca selengkapnya...

Sunday, July 5, 2009

Yusuf Estes, Teroris, Islam, dan Surga

Cuplikan ceramah yang diberikan Yusuf Estes (mantan pendeta) di Karibia. Beliau sedang menjawab pertanyaan audiens tentang teroris, islam, dan surga.



Type rest of the post here

baca selengkapnya...

Monday, June 1, 2009

Buku Masonic And Occult Symbols

Beberapa waktu yang lalu, saya membeli buku yang berjudul "Masonic And Occult Symbols Illustrated" melalui situs lelang Ebay. Membaca deskripsinya di Ebay, buku karya Dr. Cathy Burns ini cukup menarik. Ditambah lagi, selama ini saya memang memiliki rasa penasaran untuk mengetahui secara lebih dalam, mengenai misteri simbol-simbol.

Secara sekilas, buku ini berisi beberapa kategori simbol dengan sedikit penjelasan sang penulis, dilengkapi dengan cuplikan referensi pustaka yang cukup banyak. Simbol-simbol diilustrasikan dalam warna hitam putih dan cetakan yang sederhana.


Saya tidak sabar untuk segera membuka bab yang membahas mengenai simbol Islam. Saya lihat di daftar index, Islam ada di halaman 389. Saya bergegas ke halaman itu. Anda tahu, apa yang tertulis di halaman itu ? Ini dia :

The Islamic God is called Allah. He was the moon god, who married the sun goddess. Dan seterusnya ... Saya nggak tega menulisnya di sini. Sangat ngawur..

Astaghfirullah.. selera saya terhadap buku itu mendadak hilang. Buku yang telah saya nantikan berminggu-minggu kedatangannya, akhirnya runtuh citranya karena satu alinea. Saya lihat di footnote-nya, ternyata keterangan itu bersumber dari Robert A. Morey, dari bukunya Islam Unveiled: The True Desert Storm. Wah.. orang ini lagi. Si Robert ini memang suka menulis secara kasar dan provokatif perihal Islam, namun bukunya justru populer dan menjadi pegangan orang-orang barat dalam mengenal Islam. Buku yang juga ditulisnya, The Islamic Invasion, bahkan telah membuat Irena Handono, sang mualaf mantan biarawati, untuk meng-counter-nya dengan buku Islam Dihujat: Menjawab Buku The Islamic Invasion.

Demikian banyak buku orientalis yang beredar, yang tidak bersumber dari sumber yang otoritatif. Kepada rekan-rekan non-Muslim yang ingin mempelajari Islam secara tulus, berhati-hatilah dalam memilih buku.

baca selengkapnya...

Saturday, May 16, 2009

Madam ! I am a Madrasah Graduate

Sabtu kemarin, 15 maret 2008, saya mendapat kehormatan untuk berdiskusi dengan jama'ah East New York Synagogue, sebuah gereja yahudi aliran orthodox. Bagi saya pribadi, ini sebuah terobosan dan kalau bisa saya katakana sebagai membuang diri ke dalam kandang harimau.

Berdialog dengan Yahudi aliran reform sudah lumrah. Berdialog dengan
yahudi Conservatif juga sudah biasa. Bahkan tanggal 24 Maret
mendatang saya akan menyampaikan presentasi islam kepada para
pengajar JTS (Jewish Theological Seminary) di Uptown New York . Tapi
hadir dalam sebuah perhelatan yahudi orthodox adalah baru, dan bahkan
masih dianggap tabu dan controversial oleh sebagian di antara mereka.
Tapi kini, terobisan itu menjadi sejarah sendiri, karena pada
akhirnya, walaupun tidak diingkari masih ada yang menunjukkan
wajah 'prejudice' mereka menerima kedatangan saya dengan lapang dada.


Acara dialog ini sendiri sebenarnya kesepakatan yang telah kami buat
antara saya dan Rabbi Marc Shneyeir di saat mengunjungi Islamic
Center New York beberapa hari sebelumnya. Rabbi Marc mengunjungi kami
di Islamic Center karena terdorong oleh surat resmi sekelompok ulama
Islam yang ditanda tangani oleh lebih 20 ulama, termasuk Tariq
Ramadan, yang dikirimkan kepada pemimpun yahudi dunia.

Surat itu dapat dilihat pada link berikut:

http://www.theameri canmuslim. org/tam.php/ features/ articles/
muslim_scho
lars_issue\_ statement_ to_worlds_ jewish_community /0015811

Rabbi Marc sangat terdorong untuk membangun komunikasi dengan
pemimpin Muslim di New York , dan kebetulan saja untuk pertama
kalinya beliau menemui saya.

Dalam pertemuan itu kita sepakat untuk menindak lanjuti ajakan ulama
Islam di atas. Kita sepakat bahwa inisiatif awal harus dimulai dengan
keterbukaan dan niat baik. Untuk itu, disepakati dalam pertemuan
tersebut bahwa saya akan hadir pada akhir kegiatan ibadah mereka hari
sabtu untuk menyampaikan pandangan-pandangan saya mengenai hubungan
Muslim dan yahudi, masa lalu, kini dan prospek masa depan.

Alhamdulillah, dengan tawakkal dan penuh 'confidence' saya hadir
dalam acara Sabtuan Yahudi orthodox yang rata-rata 'upper class' itu.
Acara dialog dimulai dengan pembukaan oleh moderator, Joe Cohen,
mantan jaksa dan seorang pengacar kawakan di New York . Di akhir kata-
kata pengantarnya itu, Mr. Cohen membacakan sebagian dari surat para
ulama itu kepada pemimpin Yahudi.

Lalu dilanjutkan dengan berbagai pertanyaan yang pertama kali
ditujukan kepada saya. Pertanyaan itu, bagi saya, mirip sebuah
pengadilan karena memang cukup angresif dan mungkin saja sensitif
dengan 'my personal feeling'. "Kalau memang para ulama itu memiliki
niat baik untuk berdialog, kok selama ini saya belum melihat ada di
antara mereka yang menentang/mengutuk terorisme?", Tanya.
Saya memulai menjawab dengan menyampaikan terima kasih dan kehormatan
atas kesempatan yang diberikan. "Allow me to convey to you, at least
my own personal greetings of peace. And so, shalom to you all!", saya
memulai.

Saya kemudian menjelaskan bahwa "kehadiran saya bukan mewakili
pikiran dan niat mereka-mereka yang mengirimkan surat ke pemimpin
yahudi, tapi saya hadir sebagai komitmen keislaman saya untuk
membangun komunikasi dan relasi yang baik dengan siapa saja yang
menginginkan hal yang sama. "And so, do not ask me what in their
minds and hearts", lanjutku.

Saya kemudian mencoba menjelaskan mengenai persepsi bahwa jarang atau
bahkan hampir tidak ada ulama Islam yang mengutuk 'terorisme dan
ektremisme'. Pada tingkatan ini, terlalu banyak yang saya bias
sebutkan sebagai contoh untuk membuktikan bahwa ulama-ulama Islam
telah mengutuk dan akan selalu mengutuk tindakan terorisme, dilakukan
oleh siapa dan ditujukan untuk siapa saja. Sayang, "our voices were
not heard for many reasons, but mostly because the media just convey
to you sensational and sellable news".

Tiba-tiba saja Mr. Cohen menyelah: "I guarantee you, if you want to
condemn terrorism, to find a national news paper to publish it".
Secara spontan saya juga menentang: "I will do it tomorrow, if
necessary. Let me know sir!". Sepontan saja mengundang tawa para
hadirin.

Pertanyaan demi pertanayaan, argumentasi demi argumentasi berlalu
dalam masa sejam setengah itu. Berbagai pertanyaan sang moderator
lontarkan mengenai konflik Timur Tengah, khususnya konflik Israel-
Palestine. Saya memang menyadari bahwa isu Israel Palestine adalah
isu yang paling sensitive ketika hadir dalam sebuah dialog dengan
komunitas Yahudi. Tap terkecuali dialog kali ini, walaupun disepakati
pada awalnya bahwa kita akan menghindari masalah-masalah politik.

Namun ada dua pertanyaan dari hadirin yang cukup menarik untuk saya
tuliskan. Perlu saya sampaikan bahwa komunitas Yahudi orthodox ini
rupanya sangat agresif, menantang dan kurang mengenal basa-basi. Saya
jadi teringat sikap kaum Timur Tengah, walaupun kenyataannya mereka
adalah warga Amerika asli.

Di antara sekian penanya dari hadirin, seorang ibu mengacungkan
tangan, dengan suara lantang mempertanyakan "Why don't you change the
madrassa?".

Dengan sedikit bingung, saya menanyakan kembali "I really don't
comprehend what did you try to say".

Dia kemudian dengan panjang memberikan komentar yang cukup agresif.
Telinga saya sebenarnya cukup panas juga mendengarkan tuduhan-tuduhan
itu. Tapi saya ingat, 'lakukanlah argumentasi dengan mereka dengan
baik'. Saya merasa merespon dengan cara emosional tidak akan
menyelesaikan permasalahan. Apalagi, memang ayat Al Qur'an
jelas 'lakukan pembelaan dengan cara yang ahsan atau lebih baik'.
Sambil tersenyum saya mencoba menjelaskan bahwa madrasah bukanlah
tempat penggemblengan para teroris. "Madrasah is something similar to
Midrash in your tradition", jelasku.

Bahkan, lanjut saya, saya bias menyampaikan kepada anda beberapa ahli
dalam berbagai ilmu pengetahuan yang juga alumni madrasah. Dan kalau
madrasah itu adalah 'ground' pengkaderan teroris "you will not having
me speaking to you this morning. I am a madrasah graduate!", tegasku.

Pernyataan terakhir saya di atas ini ternyata mendapat apresiasi
dengan 'applause' panjang dari hadirin.

Saya kemudian menjelaskan bahwa memang ada barangkali madrasah yang
melahirkan radicals, dan bahkan tammatan madrasah ini melakukan
tindakan terorisme di kemudian hari. Tapi kan salah menuduh Amerika
sebagai 'ground pengkaderan pelacur' jika ada warganya yang kemudian
menjadi pelacur. Serentak saja hadirin terbahak, walau ada yang
nampak seperti terhentak dengan pernyataan saya ini.

Di penghujung Tanya jawab itu juga seorang wanita lain
mempertanyakan: "why kids in the Muslim world are trained to be
killers or suicide bombers?".

"Where did you get that?. I never heard or knew it before!", tanyaku.

Dia kemudian menjelaskan bahwa dia pernah menonton 'documentary film'
tentang anak-anak Muslim diajar menembak, bahkan permainannya selalu
dengan senjata. Dan pada akhirnya anak-anak ini kepada mereka
diajarkan untuk membenci dan membunuh non Muslims, khususnya yahudi.

Saya tersenyum, sambil berterima kasih kepad wanita itu karena
memberikan informasi baru kepada saya, saya menjawab singkat. "Madam!
I arrived in this country just 11 years ago. And let me tell you,
before my arrival, I was so worried and scared because I watched a
movie about New York ", jelasku.

Saya kemudian menjelaskan, bahwa kekhawatiran dan bahkan ketakutan
saya itu disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak pada
tempatnya. Saya menyangka bahwa New York out penuh dengan criminals,
tembak menembak di station bawah tanah, karena itulah yang saya lihat
dari film-film yang ada mengenai New York .

"So madam! You can not take a conclusion from a movie you did watch.
That's simply very naïve", kataku.

Nampaknya Ibu tersebut masih tidak puas. Masih mengacungkan tangan,
tapi waktu yang ditentukan telah berakhir.

Pada akhirnya, beberapa jama'ah East Synagogue itu mendantangi saya
dan memberikan tambahan nama kepada saya. "I wanted to give you
another name!", kata mereka. Kenapa dan nama apa?

"Since you last name is Ali, we wanted to give you a first name
Muhammad", kata mereka.

Rupanya mereka hanya mengenal nama saya sebagai 'Shamsi Ali', walau
formalnya nama saya sudah diawali dengan Muhammad. Tapi saya pura-
pura tidak tahu. "Kenapa saya perlu dberikan nama awal Muhammad?,
tanyaku.

"That's a champion name....Muhammad Ali, the boxer!, kata mereka
sambil tertawa.

"Oh no, my name is Muhammad Shamsi Ali already", jelasku. "But that's
name is given to me not because Muhammad Ali the boxer, but Muhammad
the final prophet of God", tambahku sambil juga ketawa.

Pada akkhirnya, menjelang Zuhur saya harus meninggalkan mereka karena
tamu saya, Sr. Aminah Assilmi, sudah menuggu di Islamic Center untuk
sebuah ceramah umum. Di tengah perjalanan pulang itu saya tiada henti-
hentinya berfikir bahwa memang masih besar kecurigaan dan kesalah
pahaman tentang Islam dan Muslim di benak mereka. Tapi, bukankah itu
lahan subur? Lahan subur untuk menanam benih amal jariyah dengan
terus menerus dan tanpa menyerah untuk melakukan langkah-langkah
prubahan persepsi.

New York , 16 Maret 2008

Disalin dari http://apakabar.ws dan dari buku The True Love in America, M. Syamsi Ali, Gema Insani, Jakarta, 2009.

baca selengkapnya...

Sunday, May 3, 2009

Amerika Menuju Islam

Tiga buah video klip yang meggambarkan kondisi para mualaf kulit putih di Amerika. Rasionalitas orang barat, dan Spiritualitas Islam ... It's a good combination ...







baca selengkapnya...

Islam Meruntuhkan Iman Sang Pendeta

Pada suatu hari (Minggu pagi), saya justru pergi ke mesjid dan mendatangi seorang Imam Mesjid, namanya Pak Hamid, yang bekerja di kantor Departemen Agama Kabupaten Toli-toli. Kebetulan, di Minggu pagi itu, Pak Haji Hamid bersama tiga orang jemaah mesjid sedang membersihkan halaman mesjid. Tanpa rasa ragu dan malu saya menghampiri Pak Haji Hamid yang sedang berjongkok sambil menebas rumput di halaman masjid. Saat itu, Pak Hamid tidak tahu sama sekali siapa yang datang dari arah belakangnya.

Saya kemudian mengucapkan "Assalamualaikum" yang kala itu sebenarnya belum pantas saya ucapkan karena masih menyembah "Yesus" bukan menyembah "Tuhan". Karena aku salam, Pak Hamid pun membalas salamku, "Waalaikum salam warohmatullohi wabarokatuh" sambil membalikkan badan menghadap ke arahku.

Tapi apa yang terjadi ? Ketika kami berhadapan, betapa kagetnya beliau. Ternyata yang datang menjumpainya adalah murid Paulus, bukan pengikut Nabi Muhammad SAW. Suasana mulai tegang, saya dapat melihat sekaligus merasakan dari raut wajah Pak Haji Hamid tersimpan tanda tanya besar. Bahkan hari itu saya merasa beliau seperti tidak percaya fakta yang sedang terjadi si depan dua kelopak matanya. Dengan pandangan yang penuh tanda tanya dan terdorong oleh keinginan untuk mengetahui maksud kehadiranku di masjid, akhirnya beliau membuka mulut alias angkat bicara bernada pertanyaan.

Pak Haji : "Apa kabar Pak Pendeta, Ada yang harus saya bantu ?"

Saya : "Ada Pak Haji"

Pak Haji : "Masalah apa Pak, kalau boleh saya tahu ?"

Saya : "Masalah Iman, Pak"

Pak Haji : (Sedikit kaget, lalu bertanya lagi) "Apa tidak salah ?" (sambil tertawa)

Saya : "Tidak Pak"

Pak Haji : "Seharusnya Bapak tidak datang kepada saya, bukankah saya seorang Muslim dan Bapak Kristen ?" Apa yang terjadi dengan Pak Pendeta sekarang ?"

Saya : "Sebaiknya kita ke dalam mesjid aja Pak Haji"

Pak Haji : "Ooh, tidak apa-apa Pak, di luar sini saja atau di rumahku"

Saya : "Kalau di sini, saya tidak mau ceritakan apa yang terjadi denganku. Apalagi di rumah Bapak"

Pak Haji : "Baiklah, mari kita masuk ke mesjid."

Saya : "Terima kasih Pak"

Saya dan Pak Haji melangkahkan kaki dari halaman mesjid menuju pintu utama mesjid. Tepat di bawah mimbar mesjid, Pak Haji menawarkan duduk di lantai, di atas karpet beludru. Saya duduk berhadapan serta bertatapan wajah dengan Pak Haji. Saya melihat bulu roma Pak haji berdiri tegak, dan pori-pori di kulit tangannya pada bermunculan, seperti ada sesuatu yang hadir di tengah-tengah pertemuan kami. Tiba-tiba, secara spontan, kesedihan menyelimuti perasaan hatiku. Akibatnya, di hadapan Pak Hamid, saya menangis tersedu-sedu tanpa rasa malu atau minder sedikitpun. Saya seakan tak kuasa mengucapkan satu katapun akibat kesedihan yang dalam sedang menyelimuti. Sebagai orang berilmu Al Quran, Pak Hamid memahami semua kejadian yang menimpaku. Beliau mengelus-elus pundakku sambil berkata, "Sabar Pak, sekarang aku tahu tanpa Anda jelaskan. Sesungguhnya Anda orang yang menerima hidayah tepat pada Bulan Ramadan 1427 Hijriah."

Lalu Pak Hamid juga berkata, "Jika hidayah Allah SWT telah masuk ke dalam batin seseorang, tak seorangpun dapat mencegahnya. Apapun status orang tersebut pasti akan tunduk kepada keputusan Allah SWT seperti Bapak. Walaupun seorang pendeta, jika hidayah Allah SWT datang menjumpai dan menetap di hati Bapak, siapapun tak dapat mencegahnya untuk memeluk agama Islam. Begitulah jika Islam telah masuk ke nurani Bapak. Dan ingat Pak, justru orang seperti Bapak yang sering diberi hidayah dari Allah SWT. Mengapa ? karena Allah SWT mengetahui dan selektif dalam mengambil keputusan. Dia memberikan hidayah kepada Bapak dengan tujuan agar Bapak di kemudian hari mampu menceritakan kebenaran agama Allah SWT. Tetapi yang utama, Bapak adalah orang yang dicintai oleh Allah SWT, sehingga diberi-Nya petunjuk."

Kurang lebih 30 menit kami berada di dalam mesjid. Suasana kasih sayang turut mewarnai pertemuan kami. Berbagai saran, pendapat, nasehat, dan motivasi menghiasi indahnya suasana percakapan kami. Saat itu juga, antara saya dengan Pak Haji Hamid, sudah mulai terjalin tali persaudaraan serta tali persahabatan selaku umat pilihan Allah SWT. Padahal sebelumnya tidak bersahabat, masing-masing kami mempertahankan prinsip keyakinan yang dianut. Namun setelah hidayah menemuiku, segala sesuatu yang tidak baik menjadi kebaikan dan segala sesuatu yang tidak benar berubah menjadi kebenaran sejati. "Habis gelap terbitlah terang", kata-kata bijak inilah makna yang terkandung dalam kata "hidayah". Artinya, petunjuk membawa manusia kepada perubahan hidup yang lebih berarti.

Disalin dengan editting seperlunya dari buku Islam Meruntuhkan Iman Sang Pendeta, Dr. Muhammad Yahya Waloni, diterbitkan oleh Cahaya Iman dan MYW Center, Bandung, 2008.

baca selengkapnya...

Friday, January 16, 2009

The Road To Mecca

Cuplikan dari buku kedua "The Road To Mecca", karya Muhammad Asad (Leopold Weiss), Mizan, 2003.

Kuda saya mulai berjalan pincang dan sesuatu terdengar menggeluntang dari kukunya. Sebuah tapal besi telah copot tergantung-gantung hanya dengan dua batang paku.

"Adakah desa di dekat sini tempat seorang pandai besi ?" tanya saya kepada teman Afghanistan itu.

"Desa Deh-Zangi letaknya kurang dari lima kilometer dari sini. Ada seorang pandai besi di sana, sedang Hakim Hazarayat punya istana pula di sana."

Begitulah kami berkendara di atas salju kilau-kemilau menuju Deh-Zangi dengan perlahan-lahan supaya tak meletihkan kuda saya.

Hakim atau wedana itu adalah seorang pemuda berperawakan pendek dengan air muka periang -- seorang peramah yang gembira menjamu seorang tamu asing dalam kesepian istananya yang sederhana. Meskipun merupakan seorang anggota keluarga dekat Raja Amanullah, dia adalah salah seorang paling rendah gati yang saya temui atau yang akan pernah saya jumpai di Afghanistan. Ia memaksa saya tinggal bersamanya selama dua hari.

Pada malam hari kedua, sebagaimana biasa, kami duduk menghadapi hidangan makanan malam yang lumayan, dan sesudah itu seorang lelaki desa menjamu kami suatu balada yang dinyanyikan dengan iringan kecapi bertali tiga. Ia menyanyi dalam bahasa Persia yang diucapkannya dengan kehangatan suasana riang dalam ruangan bergelar permadani, sedangkan titik-titik salju dingin masuk menerobos melalui jendela. Saya ingat, ia menyanyikan tentang pertarungan Daud dan Goliath -- pertempuran iman melawan kekuasaan lalim, dan kendatipun saya tak dapat mengikuti kata demi kata syair nyanyian itu, temanya jelas ketika dimulainya dengan nada suara rendah kemudian menanjak dalam suara tinggi sedang akhirnya yang terdengar berupa jeritan-jeritan tanda kemenangan.

Tatkala berakhir, Hakim itu menandaskan, “Daud kecil, tetapi imannya besar.”

Saya tak dapat menahan diri dan menambahkan, “Dan kalian banyak, tetapi iman kamu sedikit.”

Tuan rumah memandang saya keheranan dan karena merasa terganggu oleh kata-kata yang terpaksa keluar, saya segera menerangkan kepadanya dengan lancar. Penjelasan saya ini berupa serangkaian pertanyaan bertubi-tubi :

“Bagaimanakah hingga kalian kaum Muslim kehilangan kepercayaan diri – keyakinan diri yang pada suatu waktu telah menyebabkan kalian mampu menyiarkan kepercayaan kalian, dalam waktu kurang dari seratus tahun, dari Arabia ke arah barat hingga ke Atlantik, ke timur hingga ke China – sedang kini dengan mudah menyerahkan diri, lemah, kepada pikiran dan kebiasaan Barat ? Mengapa kalian yang punya nenek moyang yang pada suatu saat menjadi penerang dunia dengan ilmu pengetahuan dan kesenian tatkala Eropa sedang tenggelam dalam kebiadaban dan kebodohan, tidak mengerahkan kembali keberanian untuk kembali kepada kemajuan kalian serta kecemerlangan kepercayaan kalian sendiri ? Mengapa Ataturk yang bertopeng kegilaan itu mengingkari nilai Islam bagi kaum Muslim justru menjadi lambang “kebangunan kembali kaum Muslim”?.

Tuan rumah saya tinggal membungkam. Di luar salju mulai turun. Sekali lagi saya merasakan gelombang suka bercampur duka, sama seperti ketika hendak mendekati Deh-Zangi. Saya merasakan kemenangan dan pada saat yang sama rasa malu menyelubungi putra turunan dari suatu peradaban yang unggul ini.

“Ceritakanlah – bagaimana sampai iman Nabi kalian dan kejernihan serta kesederhanaannya dikubur di dalam reruntuhan spekulasi yang mandul dan ajaran-ajaran yang berbelit-belit ? Bagaimana sampai terjadi pangeran-pangeran dan tuan tanah memperoleh kemakmuran dan kemewahan, sedangkan demikian banyak saudara mereka, kaum Muslim, tenggelam dalam kemiskinan dan kejembelan yang tak terlukiskan – kendatipun Nabikalian berkata, “Tak seorangpun boleh menamakan dirinya beriman apabila dia makan hingga kenyang padahal tetangganya kelaparan ? ”. Dapatkah kalian menerangkan kepada saya mengapa kalian telah memencilkan kaum wanita di belakang layar kehidupan – padahal wanita di sekitar Nabi dan para sahabatnya memegang peranan agung dalam kehidupan suami mereka ? Betapa sampai kalian, kaum Muslim, banyak diliputi kebodohan dan segelintir saja yang menulis dan membaca – meskipun Nabi kalian menyatakan bahwa :

Menuntut ilmu adalah kewajiban suci bagi setiap Muslim, pria dan wanita”, dan bahwa “Kelebihan orang yang berpengetahuan atas orang yang hanya sekedar saleh bagaikan kelebihan bulan purnama dibandingkan dengan bintang ?

Masih saja tuan rumah itu menatap saya tak berkata-kata, dan saya mulai berpikir bahwa cetusan pertanyaan saya itu agaknya sangat melukainya. Pria yang memegang kecapi itu, karena tak mengerti Bahasa Persia, cukup mengikuti percakapan saya, memandang terus dengan terheran-heran kepada orang asing yang berbicara dengan begitu bernafsu kepada hakim. Akhirnya, yang disebut terakhir ini menarik baju. Kulitnya yang berwarna kuning lagi lebar itu lebih ketat pada badannya, seolah-olah merasa dingin. Kemudian, ia berbisik, “Tetapi – Anda adalah seorang Muslim.”

Saya tertawa dan menjawab, “Tidak, saya bukan seorang Muslim. Tetapi saya mulai melihat kebesaran Islam yang menyebabkan saya kadang-kadang merasa geram memperhatikan kalian menyia-nyiakannya. Maafkan kalau saya berkata terlalu pedas. Saya tak berbicara sebagai seorang musuh.

Namun, sang tuan rumah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, seperti telah saya katakan : Anda adalah seorang Muslim, hanya Anda sendiri tidak menyadarinya. Mengapa tidak Anda ucapkan di sini sekarang juga, Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, dan segera menjadi seorang Muslim yang nyata sebagaimana yang telah bersemayam di dalam kalbu Anda ? Ucapkanlah sekarang, Saudaraku, dan saya akan pergi bersama Anda ke Kabul dan mengantarkan Anda kepada amir, dan ia akan menerima Anda dengan tangan terbuka sebagai seorang di antara kami. Akan diberinya Anda rumah dan kebun serta ternak dan kami semuanya akan mencintai Anda. Katakanlah, Saudaraku.”

“Bila sampai saya mengucapkannya, itu karena pikiran saya telah mendapatkan kedamaiannya dan bukan karena rumah-rumah serta kebun amir.”

“Tetapi,” ia bersikeras, “Anda jauh lebih tahu tentang Islam daripada kebanyakan kami. Apakah yang belum Anda pahami ?”

“Ini bukan soal pengertian. Ini masalah keyakinan. Keyakinan bahwa Al-Quran betul-betul adalah firman Tuhan dan bukan sekadar ciptaan gemilang seorang manusia hebat.”

Namun, kata-kata sahabat saya orang Afghan itu tak pernah meninggalkan saya berbulan-bulan sesudahnya.

baca selengkapnya...

Sunday, January 11, 2009

Mengapa Amerika & Kristen Mendukung Israel

Amerika adalah negara yang paling depan dalam mendukung langkah Israel. Bahkan sebagian (besar) umat Kristen dunia pun demikian. Saya pernah mendengar sendiri kenyataan ini saat diskusi dengan teman yang beragama Kristen. Beberapa waktu yang lalu Hidayatullah juga memberitakan wawancara seorang pendeta dengan Radio Nederland, yang secara jelas mendukung Israel. Rupanya situasi ini memang sudah dirancang sejak dahulu oleh para Zionis. Silakan lihat kembali posting amanah yang berjudul Judeo Christian, Ruh Amerika

Type rest of the post here

baca selengkapnya...

Thursday, January 8, 2009

Dukung Misi MER-C ke Palestina

Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina ? Selain memanjatkan doa yang tulus, kita juga bisa melakukan beberapa langkah ringan seperti mengirim SMS donasi ke 7505, untuk mendukung misi MER-C ke Palestina. Ketik MERC[spasi]PEDULI, kirim ke 7505, maka Anda sudah menyumbang dana sebesar Rp 3.750,- hingga Rp 5.000,- (tergantung operator seluler). MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) adalah organisasi sosial kemanusiaan yang bergerak dalam bidang kegawatdaruratan medis dan mempunyai sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela, dan mobilitas tinggi. MER-C berasaskan Islam dan berpegang pada prinsip rahmatan lil'aalamiin.

Para blogger juga bisa memasang banner Dukungan Misi Kemanusiaan MER-C di blognya masing-masing. Banner bisa di-copy dari www.mer-c.org.

baca selengkapnya...