Photobucket

Saturday, December 4, 2010

Jam Tangan dengan Penanggalan Hijriah

Bagi Muslim, kebutuhan untuk mengikuti penanggalan Hijriah bisa dikatakan sangat tinggi. Bagaimana tidak, banyak ibadah wajib dan sunat yang didasarkan pada perhitungan tanggal yang berbasis pada peredaran bulan ini. Ibadah itu antara lain Puasa Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha, Ibadah Haji, Puasa tengah bulan (tanggal 13, 14, 15), puasa 9 dan 10 Muharam, dll. Namun rupanya kebanyakan dari kita melupakan atau bahkan tidak mengetahui sama sekali hal ihwal penanggalan Hijriah ini, bahkan nama bulan dan urutannya pun kita sering lupa.

Melihat kebutuhan tersebut, mestinya mulai saat ini kita harus mengapresiasi perhitungan penanggalan Hijriah. Sekedar sharing, bukan promosi, sebenarnya banyak jam tangan secara tidak langsung telah mengandung penanggalan hijriah. Tidak secara ekplisit menyebut tanggal dan bulan, namun di situ terdapat fitur moon phase dan moon age. Fase bulan memperlihatkan animasi bentuk bulan, mulai dari bulan sabit, bulan purnama, hingga bulan sabit kembali. Umur bulan (moon age) ditunjukkan oleh angka 0,0 hingga 29,5, yang kira-kira setara dengan tanggal 1 sampai 29 atau 30 hijriah.

Jam tangan merk Casio banyak yang mengandung fitur moon phase dan moon age. Fitur tersebut sebenarnya didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan para penghobi mancing, berburu, olah raga air, dll. Seperti kita ketahui bahwa posisi bulan relatif terhadap bumi dan matahari akan mempengaruhi pasang dan surut permukaan air laut di bumi. Tidak ada salahnya kita memanfaatkan fitur tersebut untuk mengetahui perkiraan tanggal hijriah yang sedang berlangsung.

baca selengkapnya...

Saturday, July 31, 2010

Diplomasi Islam Kristen

Type rest of the post here

baca selengkapnya...

Saturday, June 19, 2010

Dapet Buku Baru : Islam in China

Jalan Wangfujing, yang berada di sebelah timur Forbiden City, merupakan pusat wisata jalan kaki di Beijing. Pada jam-jam tertentu jalan ditutup untuk kendaraan bermotor, sehingga para pelancong bisa bebas dan ramai-ramai berjalan kaki sepanjang Jalan Wangfujing. Di kanan kiri jalan terdapat pusat-pusat belanja mewah yang cukup menarik.

Salah satu toko yang menarik di situ adalah sebuah toko buku yang cukup besar. Saat masuk, langsung terpikir untuk mencari buku mengenai Islam di China. Kepada salah satu pelayan toko yang menanyaiku, aku katakan "I'm looking for the book, mm.. Islam in China," begitu kataku agak berspekulasi. Eh, ternyata dia langsung membawaku ke rak buku yang tampaknya sudah dia kenal, dan langsung ditunjukkan sebuah buku berwarna hijau berjudul "Islam in China". Pelayan toko sempet nanya lagi, "Are you a student ?". "Oh, No, I'm a tourist. Thank You", jawabku.

Buku ini ditulis oleh Zhang Guanglin, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Min Chang, dan diterbitkan oleh China Intercontinental Press. Di dalamnya terdapat banyak foto-foto aktivitas Muslim dan bangunan-bangunan masjid di China. Sedangkan halaman yang memuat tulisan lebih sedikit dibandingkan halaman yang memuat foto-foto. Akan saya terjemahkan untuk Anda bagian pertama dari tulisan di buku tersebut. Bagian pertama ini berjudul The History of Islam in China. Berikut ini terjemahannya...

Tercatat dalam sejarah dinasti Tang kuno bahwa Usman, kalifah ke-tiga di Arab telah mengirimkan utusan untuk memberikan penghormatan kepada Dinasti Tang pada tahun ke-dua masa kekuasaan Kaisar Yong Hui (651 M). Jadi, para ahli sejarah China berpendapat bahwa tahun inilah awal mula Islam di China. Selama periode tahun 651 s.d. 798, utusan dari Arab datang ke China 39 kali, dan banyak pedagang Arab dan Persia datang ke China untuk berbisnis. Interaksi antar pemerintahan dan hubungan perdagangan yang terjadi, mendorong adanya pertukaran budaya antara China dan dunia Arab, serta menciptakan kondisi yang baik bagi Islam untuk menyebar di China.

Rute menuju China yang digunakan oleh para utusan dan pedagang dari Arab dan Persia adalah : mulai dari Persia, melalui Xinjiang, lalu melintasi Jalan Sutera kuno, dan berakhir di kota-kota pedalaman China seperti Xi’an dan Luoyang. Rute laut dimulai dari Teluk Persia, melalui Semenanjung Malaya (Selat Malaka, amanah), dan akhirnya sampai ke pelabuhan perdagangan di sepanjang pantai tenggara China. Catatan sejarah China juga menerangkan bagaimana pedagang Arab dan Persia berbisnis dan hidup di Chang’an (ibukota kuno China) dan berbagai tempat di sepanjang pantai China.

Atas izin pemerintah selama dinasti Tang dan dinasti Song, para pedagang ini diperbolehkan untuk tinggal di Guangzhou, Yangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Chang’an, Kaifeng, dan Louyang. Mereka hidup dengan damai di tempat-tempat tersebut, dengan tetap memegang kepercayaan dan budayanya. Mereka hidup di China begitu lamanya hingga mereka tidak ingin kembali ke tanah nenek moyangnya. Jadi, mereka membangun masjid dan makam di kota-kota tersebut, menikahi warga setempat, dan melahirkan keturunan yang menjadi generasi awal Muslim China. Puluhan ribu orang-orang Arab hidup di Yangzhou dan Hangzhou pada saat itu, dan empat buah masjid di kota pesisir China menjadi bukti terkuat dari kehidupan Muslim di kota tersebut. Mereka membawa teknologi dan ilmu pengetahuan China ke Arab dan Dunia Barat, menjadi sumbangan ilmiah dan budaya di Abad Pertengahan.

Masa Dinasti Yuan dan Ming (1206-1644) adalah periode penting untuk penyebaran dan pengembangan Islam di China. Bangsa Mongol menaklukkan kota-kota dan negara-negara Islam di Asia Tengah dan Asia Barat, menghancurkan Dinasti Abasiah di Asia Barat pada tahun 1258. Mereka memasukkan para tawanan perang Arab dan Persia ke dalam pasukan perangnya. Orang-rang Arab dan Persia yang direkrut tersebut di antaranya adalah para tukang kayu, sarjana agama dan orang terhormat. Setelah Bangsa Mongol membangun Dinasti Yuan yang kuat (1206-1368) di China, mereka tersebar di mana-mana, dan itu menciptakan kondisi yang bagus bagi Islam untuk menyebar ke timur.

Pada masa Dinasti Yuan, banyak pedagang Muslim dari Asia Tengah datang ke China. Dalam legenda Samarkand mengenai sejarah Dinasti Ming, dikatakan bahwa Muslim telah tersebar di seluruh China. Penjelajah Italia Marco Polo, dan penjelajah Muslim Maroko Ibnu Battuta juga menyebutkan fakta dalam catatan perjalanannya bahwa Muslim berada di mana-mana di China, dan masjid dapat ditemukan dengan mudah pada masa Dinasti Yuan. Kota-kota utama saat ini, sepanjang pantai tenggara China dan Grand Jinghang Canal, dan Beijing dan Xi’an adalah tempat-tempat di mana Muslim dari Asia Tengah terkonsentrasi pada masa Dinasti Yuan.

Banyak masjid kuno dan makam-makam yang dibangun oleh para Muslim pendahulu, terawat dengan baik hingga saat ini. Pemerintahan Yuan mengadopsi kebijakan toleransi terhadap kaum Muslim, dan Muslim memberikan sumbangan besar kepada negara sebagai imbalannya. Mereka merupakan ahli terkemuka di bidang astronomi, penanggalan, pengobatan, dan arsitektur. Zheng He (Ceng Ho, amanah), seorang navigator pada masa Dinasti Ming, berlayar tujuh kali menyeberangi Lautan India, dan mengirimkan utusan-utusan ke tanah suci Mekkah, dan menggambar peta tanah suci. Semua ini membuktikan bahwa pada masa Dinasti Yuan, Islam telah disebarkan pada sekala yang relatif besar, dan Islam dengan karakteristik China juga terbentuk saat itu. Komunitas-komunitas Muslim dengan masjid sebagai pusatnya mulai muncul di kota-kota dan dusun-dusun.

Sejak akhir masa Dinasti Ming hingga awal masa Dinasti Qing, Islam berkembang lebih jauh di China. Di samping Bangsa Hui, beberapa kelompok minoritas lainnya juga menerima Islam sebagai agama mereka selama periode ini. Sejak itu, Muslim China mulai memperhatikan pengembangan pendidikan Islam. Pada masa kekuasaan Kaisar Jiajing dari Dinasti Ming, Hu Dengzhou (1522-1597), seorang Sarjana terpelajar Muslim dari Provinsi Shaanxi memulai suatu bentuk baru pendidikan Islam yang disebut dengan Jingtangjiaoyu, yang memajukan pendidikan dan budaya Islam di China. Jingtangjiaoyu dimaksudkan untuk membuka sekolah di masjid, untuk menyediakan pendidikan Islam yang sistematis. Dengan berjalannya waktu, sistem ini berkembang menjadi sistem pendidikan Islam yang matang, terbagi menjadi tingkat dasar, menengah, dan tinggi.

Dalam periode ini, muncul perkembangan dakwah yang ditandai dengan penulisan dan penerjemahan kitab-kitab. Oleh karena itu, periode ini oleh para ahli sejarah disebut dengan Fase Pengukuhan pendidikan Islam China. Banyak sarjana Muslim pada masa Dinasti Ming dan Qing, seperti Wang Daiyu (c. 1560-1660), Ma Zhu (1640-1711), Liu Zhi (c. 1655-1745), Jin Tianzhu (1736-1795), dan Ma Fuchu (1794-1847), dikenal sebagai sarjana-sarjana yang tidak hanya menguasai pengetahuan tinggi pada keempat agama (Islam, Conficianisme, Taoisme, dan Budaisme), tetapi juga menguasai dua bahasa, China dan Arab. Mereka menggunakan ajaran Confician untuk menguraikan kitab-kitab Islam, dan menulis serta menerjemahkan beberapa karya tulis. Mereka menggunakan konsep filosofi China kuno untuk menjelaskan prinsip-prinsip Islam. Jadi, sistem filosofi Islam China secara perlahan terbentuk.

Islam menyebar ke wilayah Xinjiang di abad 10 hingga 11. Cara masyarakat di suatu tempat menerima Islam, berbeda dengan cara masyarakat di tempat lainnya menerima Islam. Pertama masuk Islam dahulu. Kemudian mereka men-syiarkan Islam kepada masyarakat dan menjadikan agama nasional mereka.

Proses pembentukan Republik Rakyat China, diikuti dengan penerapan kebijakan kebebasan beragama yang diterapkan secara penuh. Kehidupan beragama Muslim China juga dijamin penuh. Terdapat sepuluh kelompok minoritas di China yang menganut Islam yaitu Hui, Uygur, Kazakh, Uzbek, Kyrgyz, Tajik, Tatar, Dongxiang, Sala, dan Bao’an, yang berjumlah 20 juta jiwa. Saat ini terdapat 35.000 buah masjid dan 45.000 imam di China. Muslim di China berhaluan Suni, mengikuti Mazhab Hanafi.

baca selengkapnya...

Wednesday, June 2, 2010

Lagu Kebangsaan Israel

Pas lihat TVOne, dengar komentar Pak Mahendradata saat menanggapi tragedi kapal Mavi Marmara yang diserang pasukan Israel. Katanya," Nggak usah jauh-jauh, kalo ingin tahu jalan pikiran bangsa Israel, dengarkan saja lagu kebangsaanya..." Kira-kira begitu yang saya tangkap saat itu. Nah berikut ini adalah teks terjemahan Bahasa Inggris dari lagu kebangsaan Israel :

Hatikva - English Lyrics

As long as deep in the heart,
The soul of a Jew yearns,
And forward to the East
To Zion, an eye looks
Our hope will not be lost,
The hope of two thousand years,
To be a free nation in our land,
The land of Zion and Jerusalem.

sumber : http://www.science.co.il/israel-anthem.asp

baca selengkapnya...

Sunday, May 30, 2010

Sholat Jumat di Masjid Niujie Beijing

Jumat, hari pertama di Beijing, tak kusangka kalo kami akan di-ampirkan-kan ke Masjid Niujie. Sesuai jadwal, mestinya kami akan mampir ke masjid ini pada Hari Minggu nanti. Tapi Bu Fuji, pemandu perjalanan kami yang non-muslim, ingin agar kami sempat merasakan Sholat Jumat di Masjid yang berada di barat daya Forbiden City ini. Alhamdulillah, betul-betul kesempatan yang tak terduga.

Begitu memasuki gerbang masjid, sudah terdengar suara khutbah berbahasa China. Wah, semoga tidak terlambat ikut sholat, karena aku masih harus ke kamar kecil dan ambil air wudlu. Apalagi baju tebal, berlapis, berkaos tangan, dan berkaos kaki ini pasti akan memperpanjang waktu wudlu. Untunglah hingga selesai wudlu khutbah belum selesai. Aku kemudian segera masuk ke Masjid. Jacket tebal kulipat dan kutaruh di sela-sela rak sepatu di dekat pintu masuk. Lalu kutunaikan Sholat Takhiatul Masjid, sholat sunat kitika memasuki masjid. Selesai sholat, aku duduk bersama jamaah lain untuk mendengarkan khutbah. Di arah dalam dalam, dekat mihrab, terlihat ada ustadz muda belia yang sedang duduk di semacam panggung untuk berkhutbah. Di sela-sela khutbah itu, sempat aku mengambil gambar video dengan handycam.

Aku jadi bingung, setelah khutbah selesai, para jamaah melakukan sholat sendiri-sendiri, dua rakaat, dan diulang beberapa kali. Haduh, ini sholat apa ya ? Apalagi dikerjakan setelah Khutbah Jumat. Di antara rasa bingung itu Aku duduk saja, tidak ikut sholat, menunggu kejelasan duduk perkaranya. Tak lama kemudian aku baru paham, ternyata yang kusangka Khutbah Jumat tadi adalah semacam ceramah pengajian sebelum ritual khutbah dan Sholat Jumat dimulai. Karena kemudian kulihat seorang syaikh berjalan menuju mimbar, mengucapkan salam, lalu muadzin mengumandangkan adzan. Alhamdulillah, ternyata ritual Jumatan baru akan dimulai. Jadi kami bisa mengikuti versi lengkap dari rangkaian Sholat Jumat di Masjid kuno dan bersejarah ini.

Lafal adzan yang dikumandangkan muadzin sama persis dengan yang biasa terdengar di Indonesia, menandakan bahwa Islam di Beijing berhaluan sunni. Tidak terdengar lafal "Hayya 'ala khoirul 'amal", sebagaimana adzan di Iran yang berhaluan syiah. Setelah adzan, khatib menyampaikan khutbah dalam Bahasa Arab yang cukup fasih. Khutbah tidak berlangsung lama, sekitar limabelas menit saja untuk dua khutbah. Yang agak berbeda adalah ketika dikumandangkan Iqomat menjelang sholat. Lafal Iqomat, terdengar seperti lantunan adzan, dengan jumlah bacaan yang sama persis dengan adzan, namun disisipi kalimat "Qodqomatisshollah" dua kali.

Sholat berlangsung dengan khidmat. Ketika makmum sholat harus mengamini bacaan Al Fathihah imam, aku sempat kecelik. Aku sudah bersiap-siap dengan ucapan "amin" yang bersemangat, namun ternyata jamaah di situ mengamini dengan suara pelan dan pendek, sebagaimana "amin" di Masjid Nabawi Madinah. Jadi suara "amin"-nya tidak se-gayeng di Indonesia.

Ketika duduk di akhir rakaat ke-dua, kulihat orang-orang Beijing yang duduk didepanku melakukan duduk iftirosy, yaitu duduk dengan kaki kiri diduduki oleh pantat kiri, tidak duduk tawarruk, dimana kaki kiri menyilang di bawah kaki kanan. Ini sama persis dengan orang-orang Mekkah yang sholat di Masjidil Haram. Dan akhirnya, selesai salam orang-orang berzikir sendiri-sendiri dengan suara yang tak terdengar. Tidak ada bacaan Tasbih, Hamdallah, dan Takbir yang dipimpin oleh Imam.

Selesai Sholat Jumat, aku bersama beberapa teman menyempatkan diri berfoto dengan latar belakang arah dalam masjid. Subhanallah... puas banget rasanya, bisa Sholat Jumat di Masjid Niujie. Beberapa hari lalu aku hanya bisa melihat masjid ini melalui Youtube. Tapi hari ini betul-betul berada di dalam Masjid Niujie, berkumpul dengan Saudara-saudara seiman di Beijing, dan mengikuti rangakaian Sholat Jumat dari awal hingga akhir, Alhamdulillah...

baca selengkapnya...

Sunday, January 10, 2010

Muto-san, Pemuda Introvert yang Bersyahadat

“Ketika masih muda, Muto-san adalah pemuda yang sederhana, cenderung pendiam, dan introvert,” ujar Dewi (istrinya, amanahland). Di sebuah festival kampus, tahun 1998 ia bertemu Muto Takanobu-san. Muto-san dengan tekun menulis notulen semua hasil perbincangan rekan-rekan peserta dalam rapat festival kampus saat itu. Tanpa banyak bicara dan berkomentar. ”Pendiam habis !” ujar Dewi lagi.

Setelah pertemuan itu, mereka sering bertemu di klub pecinta alam yang sama-sama kami masuki. Banyak medan mereka tempuh bersama dalam klub pecinta alam. Yang membuat Muto-san mengetahui bahwa mahasiswa luar negeri, yang beragama Islam, tidak bisa mengkonsumsi makanan tanpa mengetahui isi bahan makanan itu (kehalalannya).

Lewat pengalaman di pecinta alam, akhirnya Muto-san juga mengetahui jelas makanan yang bisa dikonsumsi oleh mahasiswa muslim. Yang akhirnya bila acara makan malam bersama diadakan, semua bahan makanan halal dari mahasiswa muslimlah yang dipakai. Kemudian tugas-tugas kuliah pun bagai menjadi jembatan bagi Muto-san mengenal Islam. Pertukaran bahasa di mana mahasiswa Indonesia lebih piawai dengan Bahasa Inggris menyebabkan Muto-san banyak bertanya tentang bahasa tersebut kepada mereka. Sebaliknya urusan Bahasa Jepang, Muto-san adalah tempat bertanya para mahasiswa Indonesia. Pokoknya bagai simbiosis mutualisme alias saling membutuhkan.

Suatu hari, di tengah suasana belajar bersama dan berdiskusi tugas kuliah, Muto-san bertanya tentang Islam, kelihatannya sambil lalu tanpa serius. Ia menanyakan, ”Kenapa sih Tuhan orang Islam itu tidak terlihat ?” Pertanyaan itu cukup membuat teman-teman muslim kaget. Sedikit tak siap untuk menjawab yang pas untuk saat itu.

“Tuhan orang Islam itu adalah Yang Maha Pencipta. Tidak sama dengan makhluk seperti kita. Dia memang tidak bisa dilihat, tapi kami bisa mengetahui keberadaa-Nya dengan mengetahui sifat-sifat-Nya,” ujar mahasiswa muslim. Jawaban kaget itu diucap dalam Bahasa Jepang yang masih minim.

“Wah, lebih asyik kalau Tuhannya orang Kristen, atau Buddha dong ya ! Penganut Kristen jelas berdoa dengan menggunakan salib. Bagi penganut Buddha menyembah patung Buddha. Saya pikir itu lebih gampang dimengerti dan kita juga lebih khusyuk bila berdoa dan bisa melihat yang kita sembah,” jawab Muto-san dengan percaya diri, seakan pasti benar.

Dengan sekuat jiwa dan raga, para mahasiswa muslim dan Dewi, yang juga ada di tengah mereka, menjawab serentak, “Sifat-sifat Tuhan itu tidak sama dengan makhluk ataupun zat-zat yang diciptakan-Nya. Tuhan itu satu, Dia kekal, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Tuhan orang Islam itu tidak tidur, tidak mati.”

Dan Muto-san tetap gigih mengatakan, “Bila ada tanda yang terlihat, tersentuh, dan ada bentuk bahwa itu ‘Kamisama: Tuhan’ pasti akan lebih mudah menjalankan ibadah.”
Setelah berkutat saling menjawab dan berargumentasi tiga jam lamanya, Muto-san tampaknya lelah dan berujar, “Oke, saya mengerti sekarang, masuk akal juga ya Tuhan orang Islam itu…,” sambil ia berlalu begitu saja. Tinggallah berpuluh mata menatap kepergiannya dengan rasa bingung. Melongo! Itulah kata yang tepat bagi posisi mereka saat itu.

Pada pertemuan selanjutnya, mereka tak lagi membahas pertanyaan Muto-san, karena ia juga tidak menceritakan atau bertanya tentang Tuhan lagi. Pada ujian akhir semester selesai, para mahasiswa kembali ke aktivitas masing-masing, dan kadang-kadang mereka pergi hiking bersama teman-teman pecinta alam yang lain.

Maret tahun 1999, dua teman Jepang dari klub pecinta alam yang kembali dari Indonesia, menceritakan keindahan alam Indonesia. Akhirnya, Muto-san ingin pula berkunjung ke Indonesia. Pada tahun 2000 Muto-san menapakkan kaki ke bumi Indonesia yang membawanya pula mengenal Tuhan, Allah Yang Esa, tak berbentuk dari bahan batu atau kayu dan tak terlihat kasat mata.

Muto-san berlibur ke Indonesia pada musim semi selama satu bulan. Ia berkunjung ke tiga keluarga teman Indonesianya yang telah disepakati oleh grup muslim Indonesia, agar menyambut dan memperkenalkan keindahan alam Indonesia, sesuai dengan hobi para pecinta alam itu. Salah satu keluarga yang dikunjungi adalah keluarga Dewi. Kebetulan ayah Dewi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa di Temanggung, dengan senang hati memperkenalkan keindahan Yogyakarta dan Temanggung.

Muto-san datang dua hari sebelum lebaran haji tahun itu. Di hari selanjutnya seluruh keluarga Dewi berpuasa. Muto-san pun ikut berpuasa 9 Dzulhjjah tahun itu. Dan pada tanggal 10 Dzulhijjah, di hari shalat Idul Adha tiba, keluarga Dewi bermaksud meminta Muto-san untuk menunggu sendirian di rumah. Tetapi dengan spontan Muto-san menolak, sambil berkata, “Tolong bawa saya ke tempat shalat, saya tidak akan mengganggu.”

Di lapangan desa, tentu saja semua orang banyak yang memandang heran atas kehadiran seorang pemuda Jepang masuk ke dalam barisan shalat. Dan semua orang di desa pun bertanya kepada Bapak Kepala Desa, “Pak, orang Jepang itu mau apa ?” Bapak Kepala Desa itu menjawab, “Oh, dia belum pernah lihat orang shalat Id, pingin lihat saja kok.”

Ketika shalat akan dilaksanakan, Bapak Kepala Desa itu meminta Muto-san untuk masuk ke bagian paling kanan shaf pertama. Dan selepas shalat Id, semua laki-laki di desa kami menyalami Muto-san. Sepulang dari shalat Id, tiba-tiba Muto-san menginterupsi anggota keluarga yang sedang bersiap untuk makan pagi Lebaran, dengan berkata, “Maaf… saya ingin menyampaikan sesuatu… Saya ingin masuk Islam.”

Seluruh anggota keluarga Dewi tertawa. Adik Dewi menyeletuk, “Nggak usahlah… jadi muslim itu ‘tidak enak’ lho. Kamu harus shalat lima waktu, harus puasa, dan menjalankan semua ibadah yang tidak pernah kamu kerjakan sebelumnya.”
Tak disangka Muto-san menjawab dengan mantap, “Saya sudah siap, saya akan shalat, saya bisa berpuasa, dan semua aturan Islam saya akan jalankan.”

“Termasuk disunat ?” ujar adik Dewi menembak langsung. Muto-san seketika terperanjat, sambil meminta beberapa waktu untuk berpikir. Keluarga Dewi tidak menganggap hal itu serius. Jadi semua santai dan bersenda gurau saja di meja makan. Apalagi saat itu hari raya. Makanan lezat hari raya terhidang, lebih menjadi pusat perhatian keluarga.

Matahari mulai turun kemerah-merahan, tanda waktu petang menjelang. Muto-san kembali membawa berita, “Saya siap menjadi muslim. Tidak masalah saya disunat, saya sudah mantap ingin menjadi muslim !” ucapnya tegas.

Akhirnya semua keluarga diam terpaku, dan mulai memperhatikan keseriusan mimik Muto-san. Hanya rasa bangga dan haru menggelayut di dada-dada keluarga itu. Allah memang Maha Besar. Benar, Islam tidak pernah memaksa orang untuk memeluknya. Seperti firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah 256).

Tiga hari setelah Muto mengutarakan niatnya untuk menjadi muslim, keluarga besar Dewi membawanya ke Masjid Syuhada, Yogyakarta, untuk bersyahadat di sana. Kebetulan hari itu ada pengajian mingguan. Setelah pengajian selesai, disaksikan oleh seluruh peserta pengajian, Muto-san pun mengikrarkan dirinya menjadi seorang muslim. Dua hari kemudian Muto-san dikhitan. Dalam kehidupan baru sebagai muslim, Muto-san memulai tahap belajarnya dari cara berwudhu, gerakan shalat, dan bacaan shalat, juga tata cara beribadah dalam kehidupan sehari-hari. Meniru anggota keluarga Bapak Kepala Desa itu.

Sumber : Hikari No Michi, Takanobu Muto dkk, Lingkar Pena, Jakarta, 2009

baca selengkapnya...