Photobucket

Saturday, January 20, 2007

Pertemuan Pertama (kisah 3)

Azan shubuh sudah terdengar, dan kunci kamar belum kami dapatkan. Kami masih sabar menunggu di lorong lantai 13. Belum ada satupun dari kami yang dapat kamar dan bisa berwudlu. Spontan kami bertayamum dan segera membentuk shaf untuk mengerjakan Sholat Shubuh berjamaah. Kyai Jazuli, 78 tahun, bertindak sebagai imam. Ada yang lucu, di akhir rakaat dua, tanpa salam, Pak Jazuli beranjak berdiri melanjutkan rakaat ke tiga. Kontan kami pun mengoreksi tindakan imam dengan ucapan “Subhanallah …”. Pak Yai segera duduk kembali, lalu mengucapkan salam. Kemudian beliau menoleh ke arahku sambil bertanya, “Lho, ini tadi sholat isya apa shubuh, sih ?” Kujawab, “Sholat Shubuh, Yai”. “Astaghfirullah …”, sesalnya.


Dari hasil pembagian kamar, aku tinggal dengan tiga ustadz di kamar 1323, yaitu Ustadz Amrizal (Ketua KBIH, Pembimbing I), Ustadz Chusnul Hadi (Pembimbing II), dan Ustadz KH Ahmad Jazuli Hanafi (Ayah Pak Chusnul). Wah, kelas berat semua. Aku bisa memanfaatkan untuk banyak tanya soal spiritual nih, pikirku begitu.

Pak Amrizal mengomando kami untuk bersiap seperlunya, karena jam 08.00 akan segera berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan umrah. Aku segera gosok gigi dan berwudlu. Memang agak ribet berwudlu dengan pakaian ihram. Belum terbiasa aja mungkin. Kulihat bercak-bercak kecoklatan masih erat menempel di kain ihram bawah, bekas ketumpahan air teh istriku saat di pesawat. Kata ustadz, aku tidak perlu ganti ihram, karena air teh bukan najis.

Dengan langkah yang cepat kami berjalan menyusuri Jalan Ummul Quro yang menanjak menuju masjidil haram. Dari setiap tarikan nafas, memang terasa di rongga hidung bahwa udara yang kuhirup begitu kering. Untunglah masker kain tak lupa kubawa. Talbiyah senantiasa kami kumandangkan di sepanjang jalan. Beberapa kelompok orang berpapasan dengan kami, memandang kami dengan tatapan mata yang memberi semangat. “Ayo, segeralah kamu menuju baitullah, di sana ada yang menanti kedatanganmu”, mungkin begitu yang ingin dikatakan oleh bahasa matanya.


Setelah melewati jalan layang, jalan yang kami lalui mulai menurun. Dan di ujung jalan, di bawah sana, sebentuk bangunan berwarna abu-abu dengan beberapa menara nampak dengan jelas. Inikah Masjidil Haram ? Hampir tak percaya aku, akhirnya aku bisa berkunjung ke rumahmu ini Ya Allah. Memang sangat megah bangunan ini. Auranya begitu kuat memancar. Namun, gedung-gedung dan hotel yang menjulang di sekitarnya seolah tak memberi hormat kepada bangunan suci itu, bahkan tampak menenggelamkannya. Di sebelah kanan, tampak hotel Dar Al Tawhid yang angkuh. Di balik gedung itu tampak puncak Hilton yang sombong. Yang paling tinggi adalah gedung dengan alat-alat derek yang masih nongkrong di puncaknya. Konon itu adalah proyek kerajaan Arab Saudi untuk penginapan jamaah haji. Dan kabarnya pemerintah Indonesia telah teken kontrak untuk menitipkan sebagian besar jamaah hajinya di situ suatu saat nanti bila telah jadi.

Dari jalan yang menurun, tampak orang masih menyemut di halaman masjid, berlalu lalang dengan berbagai arah. Beberapa menit kemudian, kami telah bergabung dengan lalu lalang manusia itu, menyusuri halaman masjid yang berlantai marmer putih, menuju pintu 24, Babussalaam. Dari arah itulah Nabi mencontohkan kita untuk memasuki masjid saat umrah haji. Tepat lurus di depan pintu 24, Ustadz Amrizal menghentikan rombongan, kemudian mempersilakan jamaah yang batal wudlunya, atau yang memang mau ke toilet, untuk menuju toilet yang berada di ujung sisi luar halaman masjid.


Setelah semua siap, Pak Am segera memimpin kami memasuki pintu masjid. Hati berdebar, inilah pertama kali aku masuk rumah suci utama umat Islam. Pintu 24 di awali dengan suatu tangga naik, karena jalan masuk masjid ini menyeberang di atas lintasan Sa’i di antara Shofa dan Marwa. Fokus perhatian dan pandangan mata kami tertuju ke arah pusat masjid, ke arah bangunan ka’bah yan berselimut kiswah warna hitam. Saat menyeberang di atas lintasan Sa’i, ka’bah belum terlihat utuh, karena tertutupi tiang-tiang masjid. Semakin dekat, langkah kami semakin cepat, seperti tak sabar, ingin segera bertemu. Subhanallah … Sekarang ka’bah nampak jelas, utuh, dan kokoh berdiri di suatu lembah pelataran Thowaf. Dikerumuni oleh ribuan orang yang sedang ber-thowaf, berkeliling di sekitarnya dengan arah berlawanan dengan arah jarun jam, bila dilihat dari atas. Suatu pemandangan yang menggetarkan. Inilah qiblat umat manusia di bumi, ke arah mana wajah ini dihadapkan ketika melakukan sholat. Terdengar isak tangis teman-teman saat pertemuan pertama dengan ka’bah ini. Kutoleh istriku, air matanya deras sekali mengalir dari matanya yang kemerahan, sambil keluar lantunan tasbih dari mulutnya. Astaghfirullah … Ya Allah, kenapakah aku ini ? Butakah hatiku ini ? Hampir semua orang menangis saat pertama kali melihat ka’bah. Mangapa aku tidak ? Aku hanya sampai pada level tergetar dan terkagum-kagum, dan mata ini tetap kokoh menahan air mata untuk keluar.

Dengan barisan yang masih utuh, kami menuruni tangga menuju ke pelataran thowaf, bergabung dengan ribuan orang lainnya yang berdesak-desakan. Kami langsung bertemu dengan Maqam Ibrahim, sebuah batu berstempel telapak kaki Nabi Ibrahim, yang dahulu digunakan sebagai alas berdiri sang Nabi saat meletakkan batu-batu untuk membangun ka’bah. Saat ini Maqam Ibrahim dilindungi oleh suatu kurungan kaca berkerangka logam keemasan. Jaraknya sekitar 10 meter di depan ka’bah. Kami hanya melewatinya saja, melingkari ka’bah, membentuk tiga perempat lingkaran hingga sampai ke Hajar Aswad, suatu batu surga yang diletakkan di pojok ka’bah. Dari sudut inilah sesungguhnya thowaf kami baru akan dimulai.

Bismillahi Allahu Akbar, tangan kanan kulambaikan ke arah Hajar Aswad, sebagai isyarat pengganti sunnah mencium batu itu. Apabila memungkinkan, sebaiknya setiap putaran thowaf dilakukan dengan mencium hajar aswad. Namun karena begitu banyak orang berdesakan bernafsu untuk menciumnya, di sekitar batu itu tercipta semacam medan gerakan manusia dengan gelombang yang sangat tinggi, yang seolah susah untuk ditembus. Dalam hati kupendam dendam, suatu saat nanti, aku harus bisa menciumnya, Insya Allah. Aku berhitung di dalam hati, kami berada di Mekkah selama tiga puluh hari, sedangkan puncak acara haji berada di awal bulan. Jadi, kupikir paska haji nanti kami masih punya waktu banyak, dan para jamaah haji akan berangsur-angsur pulang ke negara masing-masing, sehingga masjid menjadi makin sepi. Saat itulah aku akan mendatangi hajar aswad.


Dengan langkah yang lambat dan pendek-pendek, kami mengikuti aliran manusia, berserah diri, ikhlas menjalankan hukum Allah. Hati dan pikiran selalu kutambatkan kepada Sang Pencipta. Segala dzikir dan doa kupanjatkan. Istriku kulindungi di depanku. Kupegang kedua pangkal lengannya dengan kedua tanganku. Aku setengah memeluk. Kadang, kalau situasi semakin sesak, kedua tanganku menegang ke samping kiri dan kanan badan istriku, bersiap melindungi dari desakan jamaah lain.

Rasanya banyak sekali potongan-potongan rekaman pengalaman selama thowaf yang ingin kuceritakan di sini. Tetapi cerita akan terlalu lama berputar-putar di sekitar ka’bah. Masih banyak kesempatan cerita tentang thowaf, karena selama di mekah, memang tiada hari tanpa thowaf. Oke, kita percepat kalo begitu …


Dengan gelang karet kami menandai tiap putaran thowaf. Setiap akhir putaran, yaitu setiap kami melewati sudut hajar aswad, kupindahkan karet dari pergelangan tangan kiri ke tangan kanan. Setelah karet ke-7 berpindah ke tangan kiri, Pak Am yang berada di posisi paling depan, mengangkat tangan kanannya, memberi kode kami agar menepi, menuju arah tempat sholat sunat thowaf. Cukup sulit menembus arus thowaf yang begitu padat. Untuk memudahkannya, kami masih harus berjalan mengikuti arah thowaf, namun sambil sedikit demi sedikit menepi. Nah, persis seperti teorinya Apollo 11 saat mau meninggalkan bumi menuju ke bulan. Dia harus berthowaf dulu mengelilingi bumi, sambil menjauh, untuk menembus tarikan gravitasi bumi. Subhanallah

Sesuai dengan yang dicontohkan saat latihan manasik, aku dan istri mengambil tempat sholat di sebelah luar maqam Ibrahim, berdesakan dengan ratusan jamaah lain yang juga baru lepas dari ritual thowaf. Kucarikan tempat terlebih dulu buat istriku, setelah itu, aku mengambil tempat agak ke depan dan mulai sholat. Walaupun tidak lurus benar, ketika aku sholat, maqam Ibrahim dan ka’bah berada di arah depanku. Aku bisa mengira, arah hadapku saat itu adalah barat, karena saat itu masih jam 10-an pagi, dan bayang-bayang badanku rebah di depanku. Aku sempat membasahi lantai marmer dengan beberapa tetes airmata saat sujud.


Usai sholat dan memanjatkan doa, aku dan istri beranjak ke arah belakang, menuju kran air zam-zam yang berderet rapi dan selalu dikerumuni orang yang mau mengambil air. Kuambil sebuah disposable cup dari cup dispenser di samping kran, lalu kukucurkan zam-zam ke gelas plastik dengan cara memencet tombol kran. Kemudian dengan berdiri menghadap ka’bah, kuteguk zam-zam dingin itu. Rasanya cukup mengejutkan, sungguh menyegarkan, dan ada kesan gurih, sepertinya mengandung mineral dan vitamin yang sangat tinggi. Baru pertama kali itu aku mengenal rasa air seperti itu. Memang di Indonesia (tepatnya di Malang) aku pernah minum zam-zam saat silaturahmi ke orang yang baru pulang hajian, tapi rasanya amat beda. Mungkin karena dulu minumnya cuma seteguk saja, sementara di sini berteguk-teguk. Allahumma inni as aluka ‘ilman nafi’an wa rizqoan wa si’an wa shifaan minkulli daa’. Ya Allah aku memohon ilmu yang bermanfaat, rizki yang luas, dan kesembuhan dari segala penyakit. Begitu doa setelah minum air zam-zam yang kuucapkan. Gelas plastik kubuang di tempat sampah di dekatku.

Pak Am menunjuk ke suatu arah sambil menginstruksikan kepada kami agar segera berkumpul di dekat Safa, untuk mempersiapkan diri ke ritual umrah berikutnya, yaitu Sa’i. Sementara itu Pak Am masih akan menunggu teman-teman lain yang masih menyelesaikan sholat sunat thowaf. Rombongan kecil dari kami yang sudah selesai minum zam-zam segera menyambut instruksi itu. Kami berjalan menaiki beberapa anak tangga meninggalkan pelataran thowaf menuju ujung kanan lintasan sa’i. Namun ternyata, jumlah orang yang begitu banyak dan arus manusia yang begitu kuat, tidak memberi kesempatan kepada kami untuk berhenti di suatu tempat dan menunggu kawan-kawan yang lain. Tanpa terasa beberapa dari kami sudah memasuki lintasan sa’i yang di dalamnya terdapat arus manusia yang kuat menuju bukit Safa. Oke, berarti acara sa’i kali ini akan kulakukan tanpa pembimbing. Aku dan istri tampak tak ragu-ragu untuk melangkah menaiki tanjakan di Safa. Alhamdulillah, kami mengikuti latihan manasik dengan cukup disiplin saat di Malang, sehingga cukup pede pula untuk melakukan sa’i tanpa keberadaan pembimbing. Inna shofa wal marwa min sa’airillah …kami mengucapkan doa menaiki bukit Safa.


Karena padatnya orang, saat berada di Safa cukup repot bagiku untuk mengarahkan wajah dan badan ke arah ka’bah untuk berdoa. Di bukit kecil Safa banyak orang berhenti dan berdoa, bahkan ada yang naik ke lereng dan puncaknya, sementara arus dari lintasan sa’i tak terbendung. Dengan istri tetap berada di depanku, aku terus berdoa sambil terhanyut oleh arus. Begitu jalan menurun dan lepas dari Safa, jalan melonggar, dan kamipun mempercepat langkah.
Orang-orang memiliki kecepatan yang bervariasi dalam berjalan. Ada yang berkelompok, dan ada pula yang sendirian. Dengan kondisi pinggang yang terasa pegal pada setiap langkah, aku agak heran dengan kecepatan berjalan istriku. Mau tak mau aku harus mengimbangi langkahnya. Dengan berjalan cepat dan diselingi manuver zigzag, kami menyalip kelompok-kelompok kecil maupun orang yang berjalan dengan santai. Santainya mereka berjalan disebabkan oleh beberapa hal. Ada yang memang karena sudah sepuh, ada yang karena mempertahankan keutuhan kelompok, dan ada pula yang karena konstentrasinya terpecah dengan buku doa yang harus dia baca sambil berjalan.

Lintasan sa’i ini, saat ini merupakan bagian dari masjid, dengan panjang sekitar 400 meter. Ujung lintasan, yaitu Safa dan Marwa, menanjak dengan ketinggian sekitar 5 meteran. Beberapa jembatan penyeberangan melintas silang di atas lintasan sa’i, diperuntukkan bagi jamaah yang memasuki masjid dari pintu timur. Di tengah lintasan, dekat Safa, terdapat segmen sepanjang sekitar 50 meter yang awal dan akhirnya ditandai dengan lampu hijau. Di antara dua lampu itu kami, laki-laki, disunnahkan untuk berlari-lari kecil. Kalau diamati, dari keseluruhan lintasan sa’i yang panjang, segmen pendek itu merupakan area yang terdekat dengan ka’bah.

Di tengah trip ke-5 dari 7 trip, jam kotak di atas lintasan sa’i menunjukkan angka 12.10. Sementara display di atas jam itu terbaca running text yang menginformasikan waktu dhuhur jatuh pada jam 12.25. Berarti tinggal tersisa 15 menit lagi untuk menyelesaikan dua setengah trip sebelum azan dhuhur dikumandangkan. Sebetulnya boleh saja, ritual sa’i yang belum selesai terpotong oleh sholat dhuhur. Sesudah sholat dilakukan, sa’i bisa dilanjutkan. Tapi karena kulihat istriku kondisinya begitu fit, aku ajak dia mempercepat langkah. Konsekuensinya, pinggangku semakin terasa cekot-cekot.

Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikan sa’i sebelum masuk dhuhur. Di ujung Marwa, pintu keluar dipenuhi orang yang sedang bertahalul, yaitu memotong beberapa helai rambut dengan gunting. Belum sempat bertahalul, azan sudah berkumandang. Aku segera mengajak istri dan beberapa ibu-ibu untuk segera mencari tempat sholat. Bisa dibayangkan, ribuan orang yang ada di area itu pasti harus berebut dan berdesakan untuk mendapatkan kavling sholat jamaah dhuhur. Kami mendapat tempat di luar masjid yang tidak beratap di dekat Marwa. Tanpa alas sajadah, kami menyempatkan sholat rawatib 2 rakaat. Tak lama kemudian, iqamat segera dikumandangkan. Yaa Allah, inilah sholat fardhu pertamaku di masjidil haram. Begitu imam mengangkat takbir, suasana menjadi sunyi, dan orang-orang begitu khusuk memulai sholat. Yang terdengar hanya sayup-sayup suara derau AC masjid dan kicau burung yang beterbangan di atas kami. Sengatan matahari yang semula tak terasa, kini mulai merambat di punggung dan kepala. Namun panasnya punggung dan kepala itu tersiram oleh sejuknya berjamaah di masjidil haram. Subhanallah


Selepas dhuhur baru kami bisa bertahalul. Terdengar kabar dari Pak Chusnul bahwa Pak Am menyuruh kami yang sudah bertahalul langsung pulang terlebih dahulu ke hotel. Oke deh kalo gitu, kuajak istri dan ibu-ibu yang lain mengambil sandal di yang tadi ketika masuk masjid kami letakkan dekat pintu masuk Basbussalaam. Alhamdulillah, aku dan istri bisa menemukenali sandal kami. Beberapa ibu-ibu ada yang mengeluh kehilangan sandalnya. Mungkin sandalnya terjatuh dari rak dan akhirnya disweeping oleh petugas cleaning service masjid. Di dekat kami terlihat seorang ­petugas kebersihan masjid dengan gerobak dorong penuh dengan sandal. Aku ingin mencari sandal ibu-ibu yang barangkali sudah dimasukkan ke gerobak dorong, tetapi petugas berwajah timur tengah dan berjenggot lebat itu melarangku dengan cara mengibas-ngibaskan kedua tangannya, sambil mengucapkan beberapa patah kata yang tak kumengerti. Kami mengalah, akhirnya kami pulang ke hotel dengan beberapa teman yang tidak beralas kaki.
Selesai umrah, kami sudah diperbolehkan melepas ihram, berganti dengan pakaian bebas. Pada akhir umrah kami bertahalul, berarti larangan yang semula berlaku saat mengenakan kain ihram, setelah tahalul menjadi dihalalkan. Asyiik …

No comments: