Photobucket

Wednesday, January 24, 2007

Masjidil Haram & Thowaf (kisah 6)

Masjidil Haram benar-benar memiliki pesona dan daya tarik yang sangat kuat. Setiap aku tertarik dan masuk ke dalamnya, selalu kutemui rasa damai yang sangat mendalam. Bagai terperangkap dalam dimensi yang menyejukkan, rasanya ingin berlama-lama, tak ingin segera keluar dari dalamnya. Melihat orang-orang yang duduk beriktikaf dengan tenang, atau khusuk mengerjakan sholat, atau konsentrasi membaca Al Quran, jelas sangat terasa, semua begitu menginti, pendekatan menuju kepada satu dzat, Allah pencipta semesta.

Dan ketika melihat ka’bah, yang sepanjang hari dan malam selalui dikerumuni manusia, jiwa ini menjadi benar-benar semakin tertawan ke dalam sensasi spiritual yang tak terlukiskan. Bayangkan, setiap usai sholat wajib berjamaah di Masjidil Haram, aku dan istri selalu mencari tempat yang strategis di tepi pelataran thowaf, untuk berlama-lama memandang ka’bah, menjadi saksi atas thowafnya ribuan orang jamaah, yang bersungguh-sungguh ikhlas berputar tujuh kali, mengelilingi ka’bah, untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Begitu anggunnya, gagahnya, kokohnya, dia berada di tengah-tengah. Di sanalah, ditumpahkan segala pinta kepada Allah Yang Maha Pemurah. Ya, karena di sana terdapat Multazam dan Hijir Ismail, tempat yang konon, bila kita berdoa di dalamnya, Insya Allah akan dikabulkan.

Pernah, selepas sholat shubuh, aku dan istri asyik memandang ka’bah dari salah satu jalan menurun, atau tepatnya jalan untuk kursi roda, yang menghubungkan bagian masjid yang beratap, dengan pelataran thowaf. Di sampingku terlihat seorang Ibu berwajah Hindi, badannya agak subur dan tinggi, berumur lima puluhan. Dia pun seperti kami, sedang termenung, asyik menikmati pemandangan thowaf. Melihat kami berdua, rupanya dia penasaran, dan akhirnya dengan bahasa inggris yang lumayan fasih, mengajak berkenalan kami. Pertama menanyakan nama, asal negara, umur, lalu status perkawinan kami, pekerjaan, d.l.l. Dia juga memperkenalkan diri, namanya Bu Soraya Ikban, seorang Profesor Ilmu Sosial dan Bahasa Inggris dari Pakistan. Dia berhaji bersama suaminya, Prof. Muhammad Ikban.

Dia terkesan dengan orang-orang Indonesia, yang masih muda-muda dan bersemangat untuk berhaji. Katanya, di Pakistan, orang harus menunggu sampai tua dulu, baru kemudian pergi berhaji. Dia berniat, setelah pulang haji nanti, ingin menganjurkan anak-anaknya untuk segera berhaji saja semasa masih muda. Mengetahui kami belum dikaruniai momongan, dia tersenyum, dan memberi dukungan kepada kami untuk bersabar dan selalu berdoa. Bahkan beliau mendoakan kami mendapatkan anak kembar. Amin, amin, Ya Robbal Alamin.

Mengomentari pemandangan orang-orang yang sedang berthowaf di ka’bah, beliau berkata, yang dalam bahasa indonesianya kurang lebih, "Bagaimanapun upayanya, Goerge Bush tidak mungkin memecah belah Muslim. Lihatlah, umat Islam di setiap negara memang berbeda-beda, tetapi Allah-lah yang menjaga persatuannya, melalui haji dan ka’bah ini. " Dia tampak begitu terkesima dengan fenomena thowaf ini. Setelah sekitar 20 menit ngobrol, aku dan istri mohon diri untuk melakukan thowaf.

No comments: