Photobucket

Tuesday, May 17, 2011

Kisah Sebuah Sandal

Dalam sholat dua rokaat inipun hatiku masih gelisah, hingga tidak bisa khusu'. Pikiranku terusik, sepertinya thowaf yang barusan kami lakukan tadi baru enam putaran mengelilingi Kakbah. Langsung saja, setelah salam di akhir Sholat, aku konfirmasikan keraguanku ini ke ustadz Anis. Beberapa rekan yang lain juga ikut nimbrung ke hadapan ustadz. Tapi beliau menjawab dengan yakin bahwa Thowaf kami sudah lengkap tujuh putaran. Tidak puas dengan jawaban ustadz Anis, kemudian aku alihkan pandangan ke Pak Mochtar, mantan dekan sebuah perguruan tinggi di Malang, ternyata beliau juga menunjukkan gurat keraguan yang sama di wajahnya. "Saya hitung tadi juga baru enam putaran Ustadz", kata beliau. Tak kalah hebohnya, Si Umi, Ibu juragan ikan juga menyampaikan pendapatnya kepada Ustadz Anis bahwa thowafnya kurang satu putaran.

Demi mendengar itu semua, ustadz pun terdiam sesaat. Lalu, dengan cepat beliau memutuskan,"Baik, kita tambah lagi satu putaran, kita mulai dari Hajar Aswad." Seluruh anggota "geng" pun patuh mengikuti Ustadz Anis menuju titik awal thowaf, Hajar Aswad, kecuali saya dan istri. Ups, itulah kesalahan saya. Saya pikir, saya kan sudah sampai di Maqom Ibrahim, mestinya tinggal melanjutkan sisa putaran dari situ saja. Seperti halnya bila kita batal wudlu saat thowaf atau sa'i, setelah berwudlu kembali, kita melanjutkan thowaf atau sa'i dari mana kita batal. Begitu pikirku, dan begitulah yang aku lakukan.

Singkat cerita, thowaf sudah dilengkapi dengan satu putaran lagi, dilanjutkan dengan sa'i di antara Shofa - Marwa hingga akhirnya bertahalul. Setelah semuanya selesai, ternyata masih ada sedikit perasaan mengganjal di hati, kenapa tadi nggak ikut memulai putaran terakhir Thowaf dari Hajar Aswad. Ah, sudahlah. Hari sudah malam, kami serombongan yang berjumlah sepuluh orang ditambah dua pembimbing itu pun sepakat untuk menuju pintu keluar masjid.

Haduh, sandalku yang sebelah kok nggak ketemu ya. Rak sandal dari kayu bercat putih setinggi lutut itu sudah kusisir berkali-kali, namun hanya sandal sebelah kiri yang kutemukan. Teman-teman yang lain bahkan ikut mencari keberadaan sang sandal jepit "eiger" warna hitam itu, di rak-rak sebelahnya. Dan hasilnya..., nihil. Akhirnya, sandal itu pun dinyatakan hilang sebelah. Sebagai kenang-kenangan, sandalku yang sebelah kiri tetap aku bawa pulang.

Keluar dari Masjidil Haram, hanya aku yang tidak beralas kaki, sementara yang lain bersandal lengkap. Berjalan menuju hotel yang berjarak sekitar 300 meter, telapak kaki ini cukup tersiksa juga rasanya menginjak kerikil-kerikil jalanan. Baru kira-kira 100 meteran berjalan, terpaksa kami mampir di sebuah toko untuk beli sandal. Walaupun busa sandal jepitnya sangat lunak, tak apalah, yang penting bisa untuk sekedar melindungi telapak kaki.

Sekitar jam 24.00, kami baru masuk ke hotel dan langsung menuju ke kamar masing-masing. Capek sekali rasanya, siang tadi rombongan kami mengadakan perjalanan dengan bus dari Madinah ke Mekah, malamnya umroh di Masjidil Haram, yang disertai dengan "kemelut" thowaf yang kurang satu putaran. Oh ya, tentang sandal yang hilang, ternyata tidak bisa dianggap remeh. Peristiwa itu menyihirku perlahan-lahan, memunculkan kerisauan yang tak terelakkan. Bayangkan, putaran terakhir thowaf bersama istri rasanya tidak sempurna. Lalu, setelahnya, sandalku hilang satu, sebelah kanan. Inikah sebuah pertanda, bahwa thowafku memang kurang satu? Dan menjadi sia-sialah perjalanan ibadahku bila ritual wajib ini tidak sah. Astaghfirullah...

Semula aku berniat mau berkonsultasi ke Ustadz Anis mengenai perihalku ini. Tapi segera aku urungkan, mengingat permasalahanku terjadi karena ketidakpatuhanku terhadap beliau saat diminta memulai thowaf dari Hajar Aswad. Aku lihat jam, saat ini di Indonesia mendekati jam 5 pagi. Pikirku, sudah pantaslah untuk menelepon seorang ustadz pada kondisi "darurat" seperti ini. Kuraih HP, lalu kutelepon Ustadz Khusnul di Malang, kusampaikan kisah "tragedi" thowaf yang barusan kualami. Kutanyakan kepada beliau, apakah kami perlu mengulang umroh besok. Hal yang paling merisaukan adalah bahwa saat melengkapi thowaf, aku bersama istri tidak memulai putaran dari Hajar Aswad. Tapi jawaban dari Ustadz Khusnul cukup menenangkan. Kata beliau, umroh tidak perlu diulang, nggak papa. Nanti diperbanyak thowaf sunat saja.

Masih belum puas, kutelepon Ustadz Amrizal yang ada di Malang juga. Kata beliau, memang kalo menambah putaran yang kurang harus dimulai dari Hajar Aswad. Tapi nggak apa-apa, umroh tidak perlu diulang. Sama dengan Pak Khusnul, Ustadz Amrizal menyarankan kami untuk memperbanyak thowaf sunat saja, ditambah dengan membayar dam, memberikan sedekah kepada fakir miskin.

Tak kusangka, ternyata perasaan gelisahku tetap tidak mau pergi. Fokus masalah menjadi mengarah ke sandal. Lho ? Kalo thowaf dianggap lengkap, mengapa sandalnya mesti hilang satu ? Kadang-kadang hal kecil tidak bisa dianggap sepele di tanah haram. Baik, gini aja, aku tekadkan untuk istirahat dengan tenang malam ini. Kita lihat saja nanti pas Sholat Shubuh di masjid, aku akan mencari sandal "tambatan hatiku" yang hilang itu. Kalo aku bisa menemukannya, berarti "case closed", umroh tidak perlu diulang. Kalo sampe tidak ditemukan, aku harus mengulang umroh.. Walah, kalo bingung begini mestinya Sholat istikharoh, bukannya mengundi dengan sandal :-) . Tapi itulah sekilas yang terbersit di pikiranku.

Pagi-pagi, begitu masuk masjid, aku langsung menyerbu rak sandal dimana kemarin aku kehilangan dia, dengan harap-harap cemas. Tidak membutuhkan waktu yang lama, pandangan pertama pada rak itu langsung membuat "plong". Sesosok sandal sebelah kanan berwarna hitam sudah menunggu di situ. Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga. Ke mana saja sandal ini semalam, padahal kemarin satu regu pencari sudah sibuk menyapu rak ini dan sekitarnya. Lega banget rasanya, rasa tidak tenang pun langsung hilang. Dan saat perjalanan pulang dari Sholat Shubuh, ketika mengetahui sandalku telah ditemukan, Pak Mochtar mengatakan,"Mas, sandal itu nggak mau pisah sama sampeyan. Sampeyan harus jaga dia sampai kapanpun..." Begitu katanya, dengan raut muka yang dibuat serius.*** [Dari umroh tahun 2008]

baca selengkapnya...