Di Sekitar Masjidil Haram (kisah 11)
Waktu yang paling tepat untuk jalan-jalan di sekitar masjid adalah pagi hari setelah dhuha. Biasanya aku dan istri masih berada di dalam masjid selepas sholat shubuh, untuk thowaf, atau sekedar melihat keajaiban thowaf, hingga mendekati dhuha. Begitu langit berubah sedikit terang, aku dan istri keluar masjid.
Masjid dikelilingi oleh tempat-tempat yang menarik, mulai dari hotel mewah, hotel sederhana, deretan toko cenderamata, toko buku, minimarket, restoran, warung makan, dll. Biasanya, keluar masjid selepas dhuha, aku dan istri masuk ke lantai 1 Hilton, yang berada di depan pintu King Abdul Azis. Di sana sudah ada beberapa counter makanan yang buka. Favorit kami adalah teh susu dan roti, yang dijual di bagian belakang dari lantai 1 Hilton.
Di situ kami biasanya memesan 2 gelas teh susu, roti keju, dan donat, total harganya sekitar 10 real. Lalu kami menuju tempat duduk yang berada di tepi koridor luas, yang memisahkan dua kelompok lift hotel. Pintu lift berada di balik lorong tempat kami duduk, sehingga hanya dari situ hanya terlihat tabung-tabung lift yang terbuat dari kaca, naik turun mengantar pengunjung hotel.
Kami sangat menikmati sarapan pagi di tempat itu. Banyak orang lain, baik perorangan, berduaan, maupun keluarga yang juga menikmati sarapan bersama kami. Kira-kira setengah jam kami di situ, duduk-duduk menikmati sarapan, sambil ngobrol dengan istri mengenai pengalaman-pengalaman special kemarin. Atau kadang sekedar mengomentari dan mengambil pelajaran dari orang-orang yang kelihatan di sekitar kami.
Di lantai 1 Hilton juga terdapat toko buku, yang menjual buku-buku berbahasa Arab, Inggris, Perancis, Turki, Indonesia, d.l.l. Lalu ada supermarket Bin Dawood, yang isinya cukup lengkap dan selalu ramai oleh pengunjung. Kebanyakan kasir Bin Dawood adalah anak-anak muda dari Indonesia. Tidak ketinggalan ada juga Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di sana. Kami pernah menarik uang tunai di sana. Semula kami ragu, apakah ATM-nya bisa kami gunakan, karena display halaman depannya berbahasa Arab. Tetapi ternyata setelah kami coba, ada pilihan Bahasa Inggrisnya. Ada lagi toko cinderamata, yang cukup tinggi memasang harga di banderolnya. Mungkin dua kali lipat dari harga yang ada di toko di luar Hilton. Yang paling banyak adalah toko parfum. Tetapi kami belum pernah masuk ke sana. Kami memilih beli parfum di pasar seng saja, untuk oleh-oleh.
Pasar seng, adalah gerombolan toko cinderamata yang terletak di sebelah utara Masjidil Haram. Tepatnya di sebelah utara (agak sedikit ke timur) dari ujung Marwa. Ternyata tidak banyak seng di sana. Mungkin dahulu, ketika toko-toko masih sederhana, banyak yang beratap seng, sehingga disebut pasar seng. Ini adalah salah satu tempat ideal untuk membeli cinderamata, mulai dari cincin, kalung, tasbih, jam tangan, sajadah, pakaian, kurma, celak, siwak, parfum, d.l.l. Tapi memang, kita harus pandai menawar harga. Yah, seperti layaknya pasar di Indonesia.
Suasana di sana selalu ramai, setiap hari, mulai pagi hingga malam hari. Namun, setiap datang waktu sholat, pemilik toko langsung menutup tokonya dengan kain atau sekedar penyekat, dan mengusir para pembeli. Lalu mereka sholat ke masjid atau sholat berjamaah sendiri bersama pelayannya di tokonya sendiri. Perilaku ini juga terjadi di toko-toko lain di luar pasar seng. Betapa hebatnya kalau di negeri kita juga berlaku hal seperti itu. Masyarakat betul-betul memiliki komitmen yang sangat kuat untuk menjalankan sholat fardhu secara berjamaah lima kali sehari. Tidak ada alasan apapun bagi kita untuk melewatkan sholat fardhu secara berjamaah di masjid.
Di pasar seng, pembeli cukup ramai, sehingga penjual kadang cukup kewalahan untuk melayani pembeli. Karena saking ramainya, pepatah ‘pembeli adalah raja’ tidak berlaku di sana. Kadang terjadi, pembeli yang menawar harga terlalu rendah, langsung diusir oleh pemilik toko. Sesuatu hal yang membuat kita terperangah. Tetapi di toko lain, yang kondisinya lagi sepi pengunjung, para pemilik tokonya melakukan upaya pendekatan yang cukup unik kepada pembeli. Beberapa kali aku pernah mengalami rayuan dari pelayan toko (penjual dan pelayan toko di sana semuanya laki-laki). Dielus-elusnya jenggotku yang tumbuh alakadarnya ini, lalu dipeluk sebagaimana layaknya seorang sahabat, kemudian dia tawarkan barang-barang dagangannya. Suatu malam, ketika aku lewat di depan suatu toko bersama istriku, tiba-tiba aku dipeluk dari belakang oleh salah satu pemilik toko, lalu dia mengajak aku untuk melihat tokonya. Karena waktu itu sudah cukup malam, aku bermaksud menolak tawarannya dengan tetap melangkahkan kakiku. Namun ternyata pelukannya semakin kuat. Orang-orang lain dan pelayan-pelayan toko lain yang menyaksikan kejadian itu tersenyum-senyum dan tertawa-tawa. Karena upayaku untuk meronta tidak berhasil, aku spontan mengucapkan kalimat ta’awudz dengan cukup keras A’udzubillahi minassyaiton nirrojim ...’, Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Kontan pelukannya langsung dilepas. Orang-orang di sekelilingku tampak cekikikan mentertawakan kami. Kulihat, orang yang barusan memelukku menyeringai dengan senyum dongkol. “Gile… ana disamakan dengan syaiton”, begitu mungkin gerutu hatinya.
Sehabis kejadian itu, aku merasa bersalah. Sepertinya aku telah mengucapkan ta’awudz untuk sesuatu yang tidak semestinya, bahkan membuat orang lain tertawa. Rasanya aku telah mempermainkan salah satu kalimat yang agung itu. Perasaanku tambah nggak karuan saat kusadari bahwa kalimat itu kuucapkan di dalam kawasan tanah haram, di samping masjidil haram lagi. Ya Allah, balasan apa yang akan Kau timpakan kepadaku atas tindakanku yang sembrono ini. Sesampainya di hotel di mana aku menginap, segera kuambil air wudhu, lalu kulakukan sholat taubat dua rakaat. Aku mohon ampun kepada Allah.
No comments:
Post a Comment