Muslim Tionghoa di Indonesia
Kesejahteraan hidup, menurut sejarah menjadi alasan awal hijrahnya Muslim Tionghoa ke Indonesia. Jadi, alasannya bukan bermaksud untuk menyebarkan Islam. Begitu pula dengan maksud kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Indonesia pada abad ke-15. Cheng Ho adalah seorang pemimpin pertama Islam asal Cina yang datang ke Asia Tenggara. Ia bersama anak buahnya yang juga beragama Islam, datang untuk melakukan perdagangan dan diplomasi guna mempererat hubungan Cina dengan negara-negara Asia-Afrika.
Beberapa literatur mencatat, anak buah Cheng Ho, yakni Ma Huan dan Guo Chong Li, sangat mahir berbafasa Arab dan Persia. Sementara Ha San adalah seorang ulama. Meski tujuan awalnya bukan menyebarkan Islam, namun proses asimilasi membuat banyak penduduk dari wilayah-wilayah yang mereka singahi akhirnya memeluk Islam. Etnis Tionghoa berperan besar dalam menyebarkan agama Islam di nusantara. Beberapa sumber mencatat bahwa beberapa wali dari Wali Songo, yang berperan penting menyebarkan Islam di Jawa, memiliki darah Tionghoa.
Jadi pembauran Muslim Tionghoa dan pribumi sebenarnya telah terjadi. Namun akhirnya menjadi terpecah tatkala Belanda datang dan mengembangkan politik pecah belah (devide et impera). Politik ini membagi penduduk menjadi tiga golongan, yakni Eropa, Timur asing (Tionghoa, India, Arab), dan pribumi/inlanders (yang mayoritas Muslim). Belanda tampaknya memang takut melihat Tionghoa dan Muslim bersatu, maka dibuatlah peraturan-peraturan yang bisa memisahkan dua golongan ini. Maka pada abad ke-18 Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang Tionghoa masuk Islam dan melarang kaum Muslim pribumi menikah dengan Tionghoa. Peraturan-peraturan produk kolonial itu kian menjauhkan Tionghoa dari pribumi.
Untuk mempersatukan Muslim Tionghoa dengan Muslim Indonesia, Muslim Tionghoa dengan etnis Tionghoa, dan etnis Tionghoa dengan pribumi di Indonesia, mana H. Isa Idris memprakarsai pembentukan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 14 April 1961 di Jakarta. Namun pada tahun 1972, atas desakan Kejaksaan Agung, yang menilai Islam adalah agama universal, sehingga tidak ada istilah Islam Tionghoa atau Islam lainnya, maka PITI berubah menjadi Pembina Iman Tauhid Islam. PITI kembali menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia setelah ditetapkan dalam rapat pimpinan organisasi pada Mei 2000.
Tidak ada data resmi mengenai jumlah Muslim Tionghoa di Indonesia. PITI, sebagai organisasi yang menaungi kaum Muslim Tionghoa tidak pernah mendata berapa tepatnya jumlah Muslim Tionghoa di Indonesia. Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PITI, H.S. Willy Pangestu mengungkapkan, pendataan mengenai jumlah Muslim Tionghoa di Indonesia tidak diperlukan, karena menimbulkan kesan dikotak-kotakkan antara Muslim Tionghoa dengan Muslim pribumi. "Lgipula kami merasa sebagai orang Indonesia. Mengapa harus ada sebutan Muslim Tionghoa, padahal tidak ada sebutan Muslim Jawa, dan sebagainya," jelas Willy.
Berbicara soal kesan pengelompokan antara Tionghoa dan pribumi memang menimbulkan kesan ada kesenjangan hubungan antara keduanya. Tak heran, karena disadari atau tidak, masyarakat masih memiliki stereotipe tertentu atas etnis Tionghoa. Bahwa mereka umumnya kaya, cenderung mengeksklusifkan diri, pelit, etnosentris, dan apatis.
Mengingat masih adanya masalah kebangsaan antar etnis, maka PITI, lanjut Willy, memiliki misi menjadi mediator. "PITI yangsudah merasa tak ada masalah lagi dengan penduduk asli yang mayoritas Muslim, memiliki tugas ntuk mensosialisasikan Islam pada Tionghoa non Muslim. Sosialisasi penting dilakukan untuk membenahi kekeliruan persepsiyang telah tertanam kuat dalam benak kedua belah pihak. Seperti, anggapan etnis Tionghoa itu eksklusif, pedagang, orang kaya, padahal persepsi itu tidak sepenuhnya benar," ungkap Willy. Sementara Tionghoa non muslim memiliki stigma bahwa Islam atau pribumi itu kelas bawah, sehingga orang Tionghoa tidak perlu bergaul dengan pribumi. Willy berpendapat, Belanda dengan politik devide et impera-nya berperan kuat menanamkan persepsi tersebut di benak orang Indonesia. Indoktrinasi itu memang sengaja dibuat Belanda untuk merusak bangsa Indonesia.
Willy berharap kehadiran PITI bisa membuat jalinan komunikasi dengan Tionghoa non muslim lebih mudah. Kesamaan karakter antara Muslim Tionghoa dan Tionghoa non muslim diharapkan dapat menciptakan komunikasi yang lebih bebas. Dengan demikian, kesalahan persepsi antara pribumi dan Tionghoa non muslim dapat dibenahi.
Membicarakan syiar Islam di kalangan etnis Tionghoa tidak afdhol bila tak mengupas Yayasan Haji Karim Oei (YHKO). Karim Oei adalah seorang tokoh Islam keturunan Tionghoa yang terkenal akrab dengan tokoh-tokoh bangsa seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Selain dikenal sebagai Muslim yang taat menjalankan syariat Islam, ia juga pengusaha sukses yang ikut mendirikan Bank Central Asia (BCA).
Yayasan yang berdiri tahun 1991 ini didirikan oleh tokoh pembauran H. Junus Jahya untuk mengenang Karim Oei. YHKO Jakarta terletak di sebuah RUKO berlantai empat di Jalan Lautze 87-89 Pasar Baru, di mana lantai bawah RUKO difungsikan sebagai masjid (Masjid Lautze). Beragam aktivitas dilakukan di sini, seperti pengajian rutin setiap Hari Minggu (terbuka untuk masyarakat umum), bedah kajian agama, terapi kesehatan mental, kursus Mandarin, serta mengislamkan para muallaf.
disalin dari : Majalah Alia, no. 08 tahun IV, Feb 2007
Baca juga :
1. Prof. Dr. Hembing tentang Laks. Cheng Ho : http://mualaf.com/modules.php?name=News&file=article&sid=142
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Cheng_Ho
3. Blog Muslim Tionghoa : http://iccsg.wordpress.com/2006/12/20/dampak-pengakuan-keislaman-cheng-ho/
4. http://jadul.blogspot.com/2006/08/tionghoa-dan-islam.html
5. http://abdullah-ubaid.blogspot.com/2007/02/menimba-islam-dari-negeri-tirai-bambu.html
6. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0805/03/0107.htm
No comments:
Post a Comment