Photobucket

Tuesday, February 27, 2007

Mencari Makna di Balik Dunia Tak Bermakna

Tulisan berikut ini merupakan kisah ke-dua dari empat belas kisah mualaf Amerika, yang disalin ke dalam blog amanah ini. Diambil dari buku Bulan Sabit di Atas patung Liberty, terbitan Mizania, Januari 2007.

Kisah dari Nuh Ha Mim Keller

Lahir pada 1954 di daerah pertanian di sebelah barat laut Amerika Serikat, aku dibesarkan dalam sebuah keluarga religius sebagai penganut Katolik Roma. Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu serta-merta menimbulkan persoalan, dalam akidah maupun amal.

Salah satu penyebabnya adalah sering terjadinya perubahan dalam liturgi dan ritual Katolik terutama sejak Konsisi Vatikan II pada 1963 yang menimbulkan prasangka kaum awam bahwa gereja tak memiliki pedoman yang baku. Bagi kalangan dalam, hal itu menunjukkan kelenturan dan relevansi liturgikal, tetapi bagi kalangan kaum Katolik awam, mereka seakan meraba dalam gelap. Tuhan tidak berubah, demikian pula kebutuhan jiwa manusia, dan tak ada wahyu baru dari langit. Akan tetapi, kitalah yang berada dalam perubahan, minggu demi minggu, tahun ke tahun, dengan menambah, mengurangi, mengubah Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris, akhirnya membawa-bawa gitar dan musik rakyat. Para pendeta hanya menjelaskan ketika kaum awam menggelengkan kepala mereka. Pencarian terhadap relevansi membuat sebagian orang menjadi yakin bahwa pada mulanya Alkitab yang asli tak sebanyak yang sekarang.

Alasan kedua adalah sejumlah persoalan doktrinal, misalnya doktrin Trinitas, yang tak seorangpun di dalam sejarah dunia, baik pendeta maupun kaum awam, mampu memberikan penjelasan yang meyakinkan. Persoalan itu dianggap terselesaikan dengan sendirinya (setidaknya bagi pikiran kaum awam) oleh semacam komite ketuhanan komite, yang berbagi kekuasaan antara Tuhan Bapa, penguasa dunia dari langit; anak-Nya Yesus Kristus, penyelamat umat manusia di bumi; dan Roh Kudus yang digambarkan sebagai seekor merpati putih dan muncul dengan peran kecil. Aku pernah ingin menjalin persahabatan hanya dengan salah satu dari ketiganya, agar dia dapat menangani urusanku dengan yang lain, dan demi tujuan itu, aku terkadang dengan tekun berdoa kepada yang satu ini, dan terkadang kepaa yang itu; tetapi dua lainnya selalu saja susah dihilangkan.

Akhirnya, kuputuskan bahwa Tuhan Bapa menjadi wakil atas dua lainnya, dan ini menimbulkan persoalan yang sangat besar di jalan agama Katolikku – ketuhanan Yesus, Di samping itu, perenunganku menyimpulkan bahwa sifat manusia sangatlah berbeda dengan sifat Tuhan dalam segala hal : manusia bersifat terbatas, Tuhan bersifat mutlak dan tak terbatas. Bahwa Yesus adalah Tuhan, merupakan sesuatu yang tak dapat kuingat apakah aku pernah sungguh-sungguh meyakininya atau tidak, baik pada masa kecilku atau sesudahnya.

Hal yang meragukan lainnya adalah gereja menjual “saham” dan “obligasi” pada hari kiamat yang disebut sebagai “penyertaan modal”. Lakukan ini dan itu dan selama bertahun-tahun niscaya hukuman Anda di neraka akan dihapuskan. Jelas sekali ini kemudian dianggap sesat oleh Martin Luther pada awal era Reformasi.

Berupaya Membaca Injil
Aku juga ingat pernah memiliki keinginan untuk membaca kitab suci dalam bentuk buku yang dapat memberikan petunjuk. Aku memperoleh Injil pada Hari Natal, edisi luks, tetapi saat membacanya, aku pun tahu bahwa ia bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup. Baru kemudian aku benar-benar tahu bagaimana orang-orang Kristen mengatasi kesulitan ini dalam praktik – kaum Protestan dengan menciptakan berbagai teologi, menekankan teks sekte mereka sendiri dan mengabaikan yang lain; kaum Katolik dengan mengabaikan semuanya, kecuali bagian kecil yang disebutkan dalam liturgi mereka. Tampak ada sesuatu yang hilang dalam sebuah kitab suci hingga tak dapat dibaca secara utuh dan integral.

Di samping itu, ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnyan Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermenetik modern kaum Kristen sendiri. Untuk memahami teologi kontemporer, kubaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus, karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Dia kritikus teks yang ahli bahasa asli Injil dan telah melakukan penelitian bertahun-tahun atas teks tersebut. Jeremias akhirnya setuju denga teolog Jerman, Rudolph Bultmann, bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Artinya, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian aru secara meyakinkan. Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya ?

Yang kini tersisa pada Injil hanyalah pengakuan bahwa ia merupakan catatan kebenaran yang bercampur-baur dengan fiksi, rekaan yang dinisbahkan kepada Kristus oleh para pengikutnya, yang dengan sendirinya saling bertentangan satu sama lain, misalnya siapakah Yesus sebenanya, dan apa yang diajarkannya ? Jika para teolog seperti Jeremian dapat memastikan diri mereka sendiri bahwa di bawah bayang-bayang adanya bagian-bagian yang ditambahkan pada Perjanjian Baru, ada sesuatu yang disebut Yesus historis dan risalahnya, bagaimana orang awam dapat menemukannya ataumengetahuinya, dan bagaimana hal itu dapat ditemukan ?

Mencari Filsafat
Aku belajar filsafat di universitas, dan filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaran – Apa yang Anda maksudkan ? Dan Bagaimana Anda tahu ? Ketika aku mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agamaku, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Barat – yakni mencari makna di balik dunia tak bermakna.

… lompat…

Enggan Menghormati Al-Quran
Pada masa inilah kubaca terjemahan awal Al-Quran yang denganenggan kuhormati (dengan cadangan sikap agnostic) kemurniannya, yang ia menyajikan konsep-konsep fundamental tersebut. Bahkan jika ada kesalahan di sana (menurutku saat itu), maka hal itu tidak mungkin ada ekspresi agama yang lebih penting daripada Islam. Sebagai sebuah karya biasa, terjemahan itu (kemungkinnan karya Sales) tak terlalu menggugah dan bertentangan dengan spirit Al-Quran itu sendiri, sementara aku tahu kitab aslinya yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia. Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya.

…lompat… (Pindah ke Univ. Chicago, Ikut berlayar ke Alaska, Bercerita tentang Filsafat)

Belajar Bahasa Arab di Kairo
Aku mulai belajar bahasa Arab di Chicago, dan setelah mempelajari tata bahasa selama satu tahun dengan nilai yang baik, kuputuskan untuk menutupi kekuranganku dengan mempelajari langsung bahasa itu selama satu tahun di Kairo. Selain itu, hasrat untuk merasakan ufuk baru telah menarikku, dan sesudah musim melaut yang ketiga, aku pergi ke Timur Tengah.

Di Mesir, kutemukan sesuatu yang menurutku benar-benar membawaku kepada Islam, yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Aku bertemu dengan banyak Muslim di Mesir, yang baik dan yang buruk. Tetapi sedikit atau banyak, mereka semua dipengaruhi oleh ajaran Kitab Suci dan hal semacam ini belum pernah kusaksikan di manapun. Kira-kira lima belas tahun telah berlalu sejak itu, dan aku tak dapat mengingat semuanya, atau bahkan sebagian besar darinya, tetapi mungkin beberapa yang dapat kuingat akan menjelaskan kesan yang ditimbulkannya.

Kenangan tentang Kaum Muslim
Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas, tempat yang biasa kulewati. Aku mendekati orang itu dan dia tengah bersembahyang di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air. Aku akan lewat di depan orang itu, tetapi tiba-tiba kuurungkan dan aku pun memutar berjalan di belakangnya, karena tak ingin mengusiknya. Ketika menyaksikan hal itu beberapa saat sebelum meneruskan langkahku, aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku, apalagi pendapatku mengenai dirinya atau agamanya. Menurut pikiranku, ada sesuatu yang sulit dilepaskan dari hal itu, yang sekaligus asing pula bagi orang yang berasal dari Barat : bersembahyang di depan umum jelas merupakan satu-satunya hal yang masih dianggap tabu.

Ada seorang siswa SLTP yang mengucapkan salam kepadaku di dekat Khan Al-Khalili. Karena aku agak pandai berbahasa Arab dan dia agak pandai berbahasa Inggris serta karena dia ingin bercerita kepadaku tentang agama Islam, dia pun berjalan bersamaku beberapa kilometer jauhnya melewati kota kecil ke Giza. Dia menjelaskan semampunya. Ketika kami berpisah, kurasa dia mengucapkan doa agar aku menjadi Muslim.

Aku punya seorang teman dari Yaman yang tinggal di Kairo. Atas permintaanku, dia dating membawakan Al-Quran untuk membantuku belajar bahasa Arab. Aku tak memiliki meja. Yang ada hanya kursi untuk membaca di kamar hotelku dan sudah menjadi kebiasaanku meletakkan buku-buku di atas lantai. Ketika kuletakkan Al-Quran di dekat buku-buku lainnya, dia dengan tenang membungkuk dan mengangkatnya, karena memuliakannya. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya.

Aku pernah bertemu dengan seorang perempuan ketika berjalan di sebelah sepeda pada sebuah jalan tanah di arah berlawanan dengan Sungai Nil dari Luxor. Keadaan tubuhku berdebu dengan pakaian agak kusut. Dia seorang perempuan tua yang mengenakan pakaian hitam yang menutupi tubuhnya dari kepala hingga ke ujung kaki. Dia menyusulku, dan tanpa mengucapkan sepatah kata atau melihat ke arahku, dia secara amat tiba-tiba menjejalkan uang logam ke tanganku. Karena aku sangat terkejut, uang logam itu pun jatuh dari tanganku. Ketika aku memungutnya, dia telah bergegas pergi. Karena dia mengira aku orang miskin, meski jelas non-Muslim, dia memberiku uang tanpa pamrih – yang ada hanya antara dia dan Tuhannya. Perilaku ini membuatku sering berpikir tentang agama Islam, karena tak ada yang mendorongnya untuk berbuat demikian kecuali Islam.

Banyak hal lain yang kualami selama berbulan-bulan aku tinggal di Mesir untuk belajar bahasa Arab. Aku selalu berpikir bahwa seorang manusia haruslah beragama, dan aku lebih terkesan pada pebfaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim, mulianya tujuan dan lapangnya jiwa, daripada pengaruh agama lain atau bahkan pengaruh ateisme terhadap para pengikutnya. Kaum Muslim tampaknya berbuat lebih banyak daripada kita.

Sebenarnya aga Kristen memiliki hal-hal yang baik, tetapi agaknya hal itu telah bercampur dengan kepalsuan dan aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna. Pertanyaan pertama yang pernah kita hafal sejak awal katekismus kita adalah, ”Mengapa engkau diciptakan ?” Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut adalah, “Untuk mengenal, mencintai, dan mengabdi kepada Tuhan.” Ketika kurenungkan hal itu disekelilingku, kusadari bahwa Islam menyempurnakan jalan yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi Muslim
Ketika seorang teman di Kairo bertanya kepadaku, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim ?” kusadari bahwa Allah SWT telah menciptakan di dalam diriku tekad untuk menjadi bagian dari agama ini. Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tindakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah, dan pada akhirnya, inilah yang telah mengantarkanku kepada agama Islam di Kairo pada 1977.

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. (QS Al-Hadid : 16-17)

Islam Kontemporer
Menurutku, nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideology dunia. Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap Negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya di dalam haru biru kehancuran peradaban Islam pada abad ketiga belas akibat serbuan bangsa Mongol, yang menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlangsung selama berabad-abad. Menurutku, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.

No comments: