Photobucket

Sunday, February 11, 2007

Kita Tidak Pernah Tahu

Sesungguhnya, masing-masing dari kita tidak pernah tahu dengan persis kebenaran akan pernyataan ilmiah bahwa bulan adalah benda langit yang mengitari bumi. Begitu pula dengan pernyataan para astronom bahwa matahari adalah pusat tata surya, di mana delapan planet (Pluto barusan disepakati oleh astronom bukan sebagai planet) anggota tata surya – termasuk bumi -- mengelilingi matahari itu. Lalu kita tahu dari mana ?

Ya, kita tahu dari kata orang. Kita tahu dari para ilmuwan dan peneliti. Kita tahu dari buku-buku referensi ilmiah tentang angkasa dan tata surya. Apakah para ilmuwan dan peneliti tersebut melihat dengan persis bahwa delapan planet itu mengelilingi matahari ? Saya yakin, mereka belum pernah ada satupun yang dengan persis, dengan mata kepala sendiri, menyaksikan berputarnya delapan planet mengelilingi matahari. Karena, untuk bisa membuktikan secara tepat seperti itu, pengamat harus berada di suatu titik di angkasa, di luar sistem tata surya kita (transendens), diam di situ, lalu melakukan pengamatan terhadap pergerakan planet-planet anggota tata surya mengelilingi matahari, selama 164,8 tahun. Mengapa selama itu ? Karena selama itulah planet terluar tata surya kita, Neptunus, menghabiskan satu putaran mengelilingi matahari. Setelah proses pengamatan ini, barulah pengamat atau ilmuwan tadi yakin benar, dengan mata kepala sendiri, tentang eksistensi tatasurya kita.

Apakah selama ini pengamatan seperti itu pernah dilakukan ilmuwan ? Tidak. Mereka sekedar mengambil kesimpulan dari pengamatan berpuluh-puluh tahun terhadap pergerakan benda-benda langit yang tampak dari bumi. Ya...., sekali lagi, mereka sekedar mengambil kesimpulan, dari pengamatan terhadap tanda-tanda, ayat-ayat Allah di alam semesta, yang teramati dari bumi. Mengapa mereka bisa yakin terhadap kesimpulan itu ? Karena mereka menggunakan akalnya. Satu fakta telah kita saksikan, bahwa untuk membuktikan keberadaan sesuatu, kita tidak perlu tahu dengan mata kepala sendiri secara utuh sesuatu itu. Kita bisa menyimpulkan dari gejala-gejala, dan tanda-tanda yang bisa kita lihat dan rasakan.

Saya rasa, begitu pulalah manusia memahami keberadaan Sang Pencipta, Sang Pengatur, Sang Maha Kuasa, Allah SWT. Sangat naiflah orang-orang yang mengira bahwa tidak ada Tuhan, karena dia tidak bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri keberadaan Tuhan. Kalau kita kembali ke persoalan tatasurya di atas, mengapa kita kita tidak pernah bisa mengamati sistem tata surya dengan utuh ? Jawabannya adalah karena sistem tata surya itu dimensinya terlalu besar untuk diamati oleh seorang manusia, baik secara dimensi ruang maupun waktu. Justru manusia itu sendiri berada di dalam sistem tata surya itu sendiri. Gunung akan tampak sosoknya yang megah saat kita melihat dari kejauhan. Saat kita berada di puncak gunung itu, bentuk gunung itu tidak lagi terlihat, karena kita berada tepat di atasnya.

Begitu pula ketika kita bertanya, mengapa kita tidak pernah tahu dengan persis keberadaan Tuhan. Jawabannnya karena eksistensi Tuhan itu memiliki dimensi yang jauh lebih besar daripada yang mampu diamati oleh manusia. Bahkan kita hanya sekedar makhluk kecil ciptan-Nya. Dia tidak bisa diserupakan dengan apapun. Karena bila manusia ingin menyerupakan/mengumpamakan sesuatu, pastilah dengan sesuatu yang pernah diketahuinya, atau yang pernah terekam oleh semesta pengetahuannya. Padahal, pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas, banyak ilmu yang sampai saat ini masih belum diketahui dan menjadi misteri bagi manusia. Seperti ketika mengamati tatasurya, kita hanya mampu untuk mengamati tanda-tanda, gejala-gejala, Ayat-ayat Kauniyah yang mampu kita amati, yang mau tidak mau membawa kita kepada kesimpulan mengenai keberadaan Tuhan.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS2:164)

Mengenai penyerupaan Tuhan dengan sesuatu, saya jadi ingat ajaran kaum Nasrani. Saya sangat prihatin dengan keyakinan kaum Nasrani bahwa Tuhan telah mewujud kepada sosok manusia Yesus, yang kemudian keyakinan itu sangat dibanggakannya, bahwa merekalah satu-satunya penganut Agama Ibrahim yang memiliki Tuhan yang bisa menemui umatnya.

Para ilmuwan penganut teori evolusi Darwin, mengira bahwa kejadian-kejadian di alam semesta ini terjadi secara kebetulan, tanpa campur tangan Tuhan. Kebetulan dahulu terjadi reaksi biologi dan kimia, yang melahirkan makhluk hidup bersel satu. Lalu kebetulan, lingkungan hidup memiliki kondisi yang memungkinkan makhluk bersel satu tersebut bermutasi, menggandakan selnya, sehingga menjadi makhluk bersel banyak. Kebetulan, lingkungan makhluk bersel banyak itu memicu terjadinya seleksi alam, sehingga hanya makhluk bersel banyak dengan bentuk tertentu saja yang mampu bertahan hidup dan bereproduksi. Demikian seterusnya, serba kebetulan, hingga jadilah manusia dan alam sekitarnya seperti yang terlihat saat ini.

Sekarang kita kembali ke diri kita sendiri. Maukah kita dianggap terlahir ke dunia ini karena hanya kebetulan ? Wah, kalau kebetulan, berarti kelahiran kita tidak diinginkan dong sama orang tua kita, alias kecelakaan. Kita terlahir, pasti didahului dengan niat dan kehendak dari dua orang tua kita. Keberadaan orang tua kita pun pasti didahului oleh kehendak kakek dan nenek kita. Semua yang ada, pasti didahului oleh kehendak, bukan kebetulan. Kalau kita runut, kehendak-kehendak itu akan berawal dari kehendak Yang Maha Kuasa.

Bila kita mengikuti teori kebetulan, kita akan berada pada samudera kebetulan yang sangat luas :

Kebetulan kita punya dua mata, kiri dan kanan, sehingga kita memiliki kemampuan paralaks, yang membuat kita bisa menaksir jarak (jauh/dekat) benda yang kita pandang, dan benda yang kita lihat menjadi tampak lebih berdimensi 3.

Kebetulan kita memiliki dua telinga, stereo, sehingga kita bisa menaksir jarak dan posisi sumber suara terhadap diri kita.

Kebetulan jantung kita berdenyut, tanpa bisa kita kendalikan, sehingga distribusi darah, oksigen, dan zat-zat makanan dalam tubuh bisa terlaksana.

Kebetulan tuba falopii, saluran telur dalam organ reproduksi wanita, memiliki bulu-bulu lembut, yang bergerak harmonis, sehingga telur yang telah dibuahi sperma, dapat bergerak menuju rahim.

Kebetulan, komposisi udara yang kita hirup sangat pas, tidak terlalu banyak O2, sehingga benda-benda menjadi sangat mudah terbakar.

Kebetulan terdapat banyak tanaman dan hewan, yang bisa dikonsumsi sebagai makanan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya.

Kebetulan kita berjenis laki-laki dan perempuan, sehingga manusia bisa saling mengasihi dan menurunkan generasi.

Kebetulan bumi berotasi pada porosnya dengan kecepatan yang sesuai, tidak terlalu lambat, sehingga sisi bumi yang terkena sinar matahari menjadi terbakar, atau terlalu cepat, sehingga benda-benda di permukaan bumi mudah melayang karena gaya sentrifugal.

Dan Anda bisa melanjutkan lagi kebetulan-kebetulan lain yang jumlahnya tak terhingga ...

Tidaklah mungkin segala sesuatu terjadi secara kebetulan dan sia-sia.

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. 3:191)

Wallahu a'lam

Ket. gambar : diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tata_surya

1 comment:

EnDah Rezeki said...

Benar. Segala penciptaan ini bukanlah suatu kebetulan melainkan kehendakNya.Hanya orang yang tidak berpikir yang menganggap bahwa ini merupakan suatu kebetulan saja. Kembalikan saja cara berpikir mereka, apakah mereka memberi argumen karna 'kebetulan' juga dan bukan untuk menyatakan suatu kebenaran?.