Photobucket

Sunday, November 2, 2008

Pertanyaan Teologis Jameelah

Suatu sore di musim gugur terasa sejuk dan cerah. Aku yakin telah mengucapkan beberapa patah kata tentang Alquran kepada Jameelah ketika ia menyelaku, "Ayah, aku paham bahwa ketika menjadi seorang ateis, Ayah mempunyai pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang jawaban-jawabannya tak dapat Ayah temukan, dan bahwa Ayah baru menemukan jawaban-jawabannya setelah membaca Alquran. Tapi, aku masih belum mengerti apa yang membuat Ayah jadi seorang Muslim?"

"Apa maksudmu?" tanyaku seraya memperlambat langkah kami.

"Maksudku, meski Ayah tak mempunyai argumen-argumen lain yang menyanggah adanya Tuhan, tak berarti bahwa Dia ada."

"Sebuah pertanyaan yang amat jeli!" kataku dengan sesungging senyum kekaguman. " Aku tak pernah menduga kalimat itu akan keluar dari mulut seorang anak seusiamu!"

Penjelasan yang kemudian kusampaikan kepadanya tentang bagaimana aku masuk Islam serupa dengan uraian pada bab sebelumnya bagian "Jangan Menolak Bimbingan-Nya". Aku terangkan kepadanya bahwa setelah bersikap lebih terbuka terhadap kemungkinan adanya Tuhan, aku mulai memperoleh beberapa pengalaman spiritual yang intens selama membaca Alquran.

"Apa yang mendorong Ayah berpikir bahwa pengalaman-pengalaman itu berasal dari Allah?" tanyanya.

"Mula-mula aku tak mempercayai mereka," kataku. "Aku meragukan mereka, tetapi selanjutnya aku berpikir bahwa mereka memang benar. Tak berapa lama, aku tahu dari mana mereka berasal. Seolah-olah, aku senantiasa mengenal Tuhan, namun suatu saat aku mengalami semacam trauma spiritual dan kemudian melupakan mereka. Aku seperti baru sembuh dari amnesia [kehilangan daya ingat]. Kukira kita mempunyai rasa spiritual yang alamiah dan kuat tentang Tuhan, tetapi kita mengabaikan, menolak, atau tak memercayainya. Apakah kau dapat menangkap maksud perkataanku?"

"Ayah," Jameelah menatapku dengan matanya yang belok, cokelat, dan indah, "itulah hal paling dungu yang pernah kudengar."

"Mengapa kau mengatakannya demikian?" tanyaku dengan perasaan kecut.

"Sebab, aku tahu bahwa aku sama sekali tak mengetahui Tuhan," katanya. "Aku tak memiliki sara alamiah tentang Tuhan."

Kami terus bercakap-cakap. Aku merasa alangkah bodoh diriku yang coba memberikan penjelasan semacam itu. Sebetulnya, aku tak sepenuhnya menyadari masa transisiku dari penolakan, kemudian keraguan, dan menuju keyakinan; bagaimana mungkin aku menerangkan rasa itu kepada seorang bocah berumur sebelas tahun? Ia belum cukup umur dan belum mempunyai cukup pengalaman untuk memahami apa yang kukatakan. Sekalipun ia telah lebih dewasa, bagaimana ia bisa memahaminya padahal tak pernah mengalami hal yang sama? Apakah aku telah mengetahui Tuhan ketika seusianya; apakah aku memiliki kesadaran alamiah akan keberadaan-Nya? Yang kuingat hanyalah bahwa semasa kecil, aku biasa memohon kepada Tuhan untuk mengusir ayahku.

Lantas, terpikirkan olehku sesuatu yang lain. "Jameelah, apakah kauingat saat aku dibawa ambulan ke rumah sakit bulan Juli lalu?"

"Ya," jawabnya tampak bingung.

"Dan apakah kamu ingat bagaimana tubuhku dimasuki selang-selang dan dibantu tabung-tabung itu, dan kemudian mereka membawaku dengan sebuah usungan ke ambulan, dan aku tak dapat bergerak; aku gemetar dan sulit bernapas?"

"Ya," jawabnya dengan sedih.

"Dan kamu ingat bagaimana kamu berdiri di sampingku dan bertanya dengan suara bergetar apakah aku akan mati?"

"Ya," jawabnya dengan air mata yang mulai berlinang.

"Sesudah mereka membawaku ke rumah sakit, apakah kau pada siang atau malam itu berdoa kepada Tuhan agar ayahmu tak meninggal dan menjaganya tetap hidup? Apakah kau memohon pertolongan-Nya?"

"Ya," katanya sedikit jengkel dan ingin tahu mengapa aku terus mencecarnya.

"Apakah kau berdoa pada keesokan harinya?"

"Ya!" katanya seperti suara seorang saksi yang enggan berbicara dalam sebuah sidang pengadilan.

"Dan pada hari-hari berikutnya?"

"Ya!" jawabnya dengan suara yang sepertinya memintaku untuk berhenti mencecarnya.

"Siapa yang mengajarimu berdoa seperti itu? Siapa yang menyuruhmu berbicara dengan Tuhan?"

Ia diam sejenak, mungkin untuk memikirkan jawabannya.

"Ayah yang mengajariku cara berdoa seperti itu," jawabnya dengan nada kurang percaya diri.

"Maksudku bukan yang mengajari berdoa dalam bahasa Arab, tetapi siapa yang mendorongmu berbicara dengan Tuhan, berkomunikasi dengan-Nya secara pribadi? Apakah Ayah atau orang lain pernah mengajari agar kamu membayangkan dirimu berbicara dengan-Nya, agar kamu mencari kata-kata yang ingin kau ucapkan, dan kemudian Tuhan mendengarnya?"

"Tidak."

"Apakah Ayah atu orang lain pernah memberimu contoh bagaimana berbicara dengan Tuhan?"

"Tidak."

"Sungguh?"

"Ya!"

"Mungkin ibumu, atau salah satu nenkmu, atau salah seorang paman atau bibimu mengajari demikian?"

"Tidak!"

"Jadi siapa yang mengajarimu? Bagaimana kau tahu dan bisa langsung melakukannya begitu saja?"

"Tak ada seorangpun yang mengajariku!" tegasnya. "Aku tahu begitu saja!"
Mimik memelas di wajahnya membuatku berharap tak pernah melewati hari itu, sebab aku sama sekali tak ingin menyakitinya sedikit pun.

"Baiklah," kataku, "Mungkin kau memang mempunyai sebuah kesadaran alamiah tentang Tuhan -- mungkin begitulah cara kau mengetahui dan melakukannya. Dan, seperti itulah pengalamanku. Tiba-tiba saja aku tahu bahwa Tuhan mendatangiku lewat ayat-ayat Alquran dan peristiwa-peristiwa spiritual. Kesadaran alamiah tersebut membuatku mengetahui-Nya -- barangkali karena secara spiritual aku lama sekali tak sadarkan diri -- tetapi mendadak aku tahu begitu saja." [*]

Ditulis ulang dari Buku Aku Beriman, maka Aku Bertanya, Jeffrey Lang, Serambi, Jakarta, 2008

Kunjungi penerbit : SERAMBI

1 comment:

Tommi Marsetio said...

Subhanallah...

Memang, jika ALLAH SWT menghendaki untuk memberi hidayah, maka terbukalah hati, akal dan seluruh tubuh manusia untuk menerima nur-Nya...

Salam kenal mas...