Islam menurut Karen Armstrong
Karen Armstrong (belum jadi mualaf-andi) pengarang The Battle for God, Jerusalem, Islam; A Sort History, Through the Narrow Gatte, menyajikan tinjauan yang padat tentang perkembangan politik dan religius dari agama yang selalu disalahpahami ini. Dimulai dari Muhammad Saw., pembaru dan nabi spiritual sejati, Armstrong menguraikan sebuah agama dan sebuah imperium yang tidak mudah didefinisikan ini. Berikut ini wawancara Brian Buya (BB) dari Amazon.com dengan Karen Armstrong (KA) via telepon tentang agama monoteis ini, yang dimuat di bagian akhir buku Karen Armstrong, Sejarah Tuhan terbitan mizan.
BB: Tanpa mengisahkan kembali seluruh autobiografi Anda, Through the Narrow Gatte, dapatkah Anda bercerita ringkas bagaimana seorang mantan biarawati Katolik seperti Anda menjadi tertarik dengan sejarah Islam?
KA: Waktu itu saya pergi ke Yerusalem untuk membuat suatu film dokumenter tentang Paulus dan sejarah-awal Kristen, yang kemudian ditayangkan pada 1984. di Yerusalem itu saya menjumpai tiga agama monoteis terbesar: Kristen Ortodoks Yunani (yang sudah banyak dilupakan di Barat sendiri), Yahudi, dan Islam (yang nyaris asing sama sekali bagi saya). Saya kemudian menyadari, betapapun saya memiliki latar belakang keagamaan yang kuat, saya tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang ketiga agama ini. Saya juga sadar betapa pandangan keagamaan saya sangat sempit dan picik. Di Yerusalem, tentu saja, keterkaitan antara agama Ibrahim ini, begitu juga perseteruan di antara ketiganya, sedemikian jelas. Sejak saat itu, saya berupaya mempelajari ketiga agama monoteis ini secara bersama-sama.
BB: Dalam buku Anda terdahulu (Sejarah Tuhan-peny.), Anda melakukan upaya pengkajian ini dengan penuh semangat. Apakah menurut Anda seorang pemeluk satu agma tertentu belajar dari agama-agma yang lain?
KA: Saya pikir, anugrah terbesar pada abad ke-20 ini adlah bahwa kita dapat belajar untuk pertama kalinya dalm sejarah tentang kedalaman (makna) agam lain. Hingga abad ke-20, kita pernah mendengar dari para pengelana berbagai kisah tentang agama-agama yang ganjil dan menakjubkan di berbagai bagian dunia yang kita kenal. Namun, pada abad ke-20-lah, berkat kemajuan komunikasi dan penguasaan bahasa, kita mulai memahami agama dan semangat keagamaam yang mendasari ritus, doktrin, dan praktik keagamaan. Dan menurut saya, inilah yang mengubah sam sekali pandangan kita terhadap agama. Kita tidak akan prnah lagi memandang agama kita atau pun agama lain dengan cara yang sama.
BB: Apakah Anda mellihat sisi kelembutan dan keindahan dari setiap agama, terutama Islam, telah di publikasikan oleh media arus utama?
KA: Tidak. Terhadap Islam, khususnya, media sering bersikap sangat kasar, terutama di Barat.Sementara orang-orang Barat dapat menyambut dengan baik agama Hindu dan Buddha, mereka masih saja memperlihatkan kebencian kepada Islam. Sikap permusuhan ini telah begitu merasuk di dalam kebudayan Barat. Ini dapat di runut kembali ke masa Peranng Salib,suatu masa ketika Barat mulai menemukan jati dirinya pada abad ke-11 dan ke-12. Para tentara Salib telah membantai ribuan orang-orang Yahudi dan Muslim, dan sejak itu, Yahudi dan Muslim di pandang oleh Kristen Barat di Eropa sebagai musuh terhadap peradaban yang bermoral.
Ya, pandangan kita tentang bahaya anti-Semitisme(baca: Yahudui-penerj) memang berubah sama sekali selama Perang Dunia II, Tetapi Islam masih terus dipandang secara stereotip. Barat terus memendam prasangka lama( terhadap Islam). Mereka mengatakan bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama kekerasan yang disebarluaskan dengan pedang. Itulah mitos yang terus dipropogandakan ketika orang-orang Kristen di Barat memaklumkan perang suci yang tak beralasan, brutal, dan kasar terhadap orang-orang Muslim di Timur Dekat. Potret stereotip tentang Islam ini sering lahir dari kecemasan tersembunyi terhadap perilaku Barat itu sendiri, yang kemudian dialihkan dan diarahkan kepada Islam. Pada Abad Pertengahan, Barat mencela kaum Muslim karena memberi kemerdekaan yang terlalu besar kepada kaum perempuan. Kini, orang-orang Barat berusaha membebaskan diri dari kekangan masa lalu Kristen, dan membalik sama sekali stereotip lama itu.
BB: Dalam buku ini, Anda mengatakan bahwa Barat memelihara “ mitos tentang intoleransi Islam yang fanatik “. Dan salah satu tema buku Anda adalah egalitarianisme, toleransi, komunitas-spiritual Al-Quran, dan imperium-awal Islam.
KA: Memang, pada kenyataannya Islam memiliki catatan yang jauh lebih baik dalam hal toleransi dibandingkan dengan Kristen Barat. Islam selalu mampu mengakomodasi tradisi agama lain. Al-Quran merupakan dokumen yang pluralistik. Muhammad Saw. Tidak pernah mengajak orang-orang Yahudi dan Kristen untuk masuk Islam, kecuali jika mereka sendiri menghendakinya, karena mereka itu toh telah memiliki wahyu yang sah bagi diri mereka. Mereka itu termasuk Ahli kitab, yang memegang wahyu terdahulu, dan wahyu itu adalah kebenaran ( dari Tuhan). Muhammad Saw. Mengatakan bahwa dia membawa agama sejati Tuhan kepada orang-orang Arab karena mereka belum memiliki rasul-rasul sebelumnya. Jadi, yang ingin saya tunjukkan di dalam buku ini adalah bahwa egalitarianisme, spiritualitas yang mendalam, dan kepedulian pada keadilan sosial merupakan tujuan tertinggi dalam spiritualitas Islam. Pesan utama Al-Quran adalah bahwa kita tidak boleh hanya menguntungkan diri sendiri, tetapi harus membagi-bagikan kekayaan secara merata, membangun masyarakat yang berkeadilan dan bermoral, serta memperlakukan kaum miskin dan kaum lemah secara terhormat. Al-Quran tidak banyak berbicara tentang doktrin-doktrin semacam trinitas atau inkarnasi. Al-Quran tidak mengajak ke arah spekulasi teologis. Di sisi lain, Anda tidak bisa hanya berhenti menunjukkan minat terhadap agama Islam. Anda juga berhadapan dengan realitas politik dalam sejarahnya, mengkaji hubungan timbal balik antara keyakinan dan praktik keagamaan, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keyakinan dan praktik politik.
Ya, sejak abad ke-18, Barat telah melakukan hal besar dengan memisahkan agama dan politik. Bagi orang Islam, politik adalah serupa dengan sakramen bagi orang Kristen. Di situlah Anda dapat menyaksikan kerja Tuhan di dunia. Islam memiliki semangat spiritual yang tegas tentang keesaan Tuhan. Akibatnya, mereka ingin menghadirkan keesaan itu dalam kehidupan mereka sendiri, dengan menjalani kehidupan sehingga seluruhnya menjadi keesaan mutlak. Itu teori yang ideal. Namun, kaum Muslim menemukan kenyataan-seperti juga setiap orang lain-bahwa politik sering menjadi permainan yang sangat kotor, dan sangatlah sulit mengusung gagasan suci ke dalam realitas politik.
Demikian juga, saya tunjukkan di dalam buku ini bahwa mayoritas Sunni dan minoritas Syiah memiliki keyakinan dan politik yang berbeda dalam praktiknya. Dan baru sekarang inilah, di dunia modern, ketika dihadapkan pada tantangan sekularisme Barat, muncul berbagai pendapat tentang negara Islam. Tantangan yang dihadapi kaum Muslim adalah bagaimana mempraktikan gagasan ideal Al-Quran tentang masyarakat adil, yang mencerminkan tatanan Ilahi di atas bumi, pada zaman modern. Keutuhan sosial merupkan salah satu simbol utama kaum Muslim, cara kaum Muslim mempraktikkan hal-hal yang ilahiah. Orang Muslim akan merasa disakiti jika ia menyaksikan masyarakat atau negara Muslim diperlakukan secara sewenang-wenag, atau jatuh dalam praktik korupsi,depotisme, atau tirani. Demikian juga, orang Kristen akan merasakan hal yang sama jika ia melihat seseorang menghina alkitab.
BB: saya baca dalam buku Anda bahwa dari titik berangkat retrospektif itu, Anda mampu memetakan keniscayaan sejarah, misalnya bagaimana imperium yang agraris akan runtuh secara tak terelakkan, atau bagaimana keruntuhan sekular akan membawa pada kebangkitan-kembali agama. Saya heran bagaimana Anda mencoba–berspekulasi mengingat kondisi Islam dewasa ini—tentang apa yang akan terjadi.
KA : Memang sulit mengatakan dengan pasti apa yang akan terjadi, karena islam bukanlah agama monolitik. Ia merupakan agama yang sangat kompleks. Di Amerika orang kadang-kadang heran mendengar bahwa ada muslim yang bukan Arab, bahwa Khomeini orang Persia atau orang Arya. Ada Muslim di Pakistan, Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Semua ini mempunyai problem yang sangat berbeda. Masing-masing sangat mirip dengan agama-agama besar dunia lainnya pada modern, suatu masa ketika agama-agama konvensional menghadapi berbagai masalah.
Tentu saja, Islam pun mempunyai kelompok fundamentalis; begitu juga setiap agama besar didunia.ada Buddha fundamentalis, Konfusianis fundamentalis, Hindu fundamentalis, Kristen fundamentalis, Yahudi fundamentalis. Fundamentalisme, seperti yang saya tulis dalam buku terakhir saya, merupakan suatu fenomena yang selalu muncul didalam setiap agama besar dunia.
Tentu saja, fundamentalisme tidaklah mewakili Islam secara keseluruhan, meskipun ia sering menjadi kepala berita (headline) di media. Ada juga kaum cendekiawan yang menurut saya, beberapa cirinya adalah mereka menganggap tidak harus menciptakan masyarakat Muslim. Namun, mereka pun tidak mendukung gagasan negara sekular, dan berupaya membangun bentuk modernisme Islam tersendiri. Saya pikir ini langkah penting bagi kaum Muslim karena—seperti yang saya tunjukkan dalam buku ini—selama berabad-abad Islam, seperti juga agama lain, tetap mempertahankan nilai-nilai moral dibagian inti ajarannya, nilai-nilai seperti keadilan, egalitarianisme, dan posisi-penting hukum—hal-hal yang juga ditemukan dalam tradisi Yahudi-Kristen. Islam membantu umat manusia dan memberi manusia suatu bentuk yang dapat digunakan untuk menumbuh kembangkan kepekaan moral. Oleh karena itu, Islam perlu terus memainkan fungsinya, terus kuat dan hidup. Jika tidak kita semua akan ikut menderita.
Kunjungi juga : www.mizan.com
No comments:
Post a Comment