Photobucket

Sunday, July 22, 2007

Ingin Melihat Tuhan

Ini Bab Kedua dari buku Gene Netto (mualaf) "Mencari Tuhan, Menemukan Allah" yang sedang ditulisnya. Insya Allah sebentar lagi terbit.

Saya dibesarkan di sebuah negara yang penuh dengan orang Kristen. Hampir semua teman saya di sekolah beragama Kristen. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bisa dikatakan “Kristen KTP” yaitu, mereka mengakui agamanya tetapi tidak ke gereja dan tidak membaca Al Kitab. Di antara anak–anak yang lain ada yang merasa sebagai orang ateis dan ada juga orang agnostik.

Orang ateis tidak percaya pada Tuhan sama sekali. Banyak dari mereka yang mengikuti ajaran evolusi Charles Darwin dengan menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Keberadaan manusia di bumi ini dianggap suatu kebetulan saja.

Artinya agnostik itu adalah orang yang tidak mau menyatakan Tuhan itu ada dan juga tidak mau menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Mereka adalah orang yang sedang menunggu bukti bahwa Tuhan ada. Kalau mereka mendapatkan bukti, mereka akan percaya. Untuk sementara, karena tidak ada bukti yang memuaskan, mereka diam saja dan tidak mengikuti suatu agama yang tertentu. Kalau orang tersebut dinamakan ateis, mereka tidak akan setuju karena orang ateis merasa yakin bahwa Tuhan tidak ada, padahal orang agnostik belum siap menyatakan Tuhan tidak ada.

Pada saat saya masih muda, saya merasa cukup yakin bahwa Tuhan tidak ada, tetapi sebenarnya saya terbuka untuk menerima bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan kalau memang ada. Saya banyak bertanya-tanya tentang agama yang saya ketahui, yaitu agama Katolik. Pertanyaan-pertanyaan saya itu tidak terjawab dengan baik dan hal itu membuat saya lebih bingung lagi. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa untuk tidak percaya kepada Tuhan.

Pada saat saya bertanya, jawaban yang diberikan tidak masuk akal. Atau jawaban yang diberikan kurang lengkap menurut saya dan setelah mendapatkan jawaban tersebut, justru pertanyaan baru akan muncul dan pertanyaan baru inilah juga tidak dijawab dengan baik. Pada saat saya memaksa untuk bertanya terus kepada nenek saya, saya diancam: “Kalau Paus tahu kamu bertanya-tanya tentang agama, kamu bisa dikeluarkan dari agama Katolik dan kamu akan masuk neraka. Percaya saja pada pastor. Tidak usah banyak bertanya!” Ternyata Paus berhak untuk menyatakan bahwa saya bukan orang Katolik lagi karena saya bertanya tentang agama. Dan semua orang yang menentang Paus bisa dikeluarkan dari agama Katolik dan oleh karena itu pasti akan masuk neraka. Menakutkan sekali!

Setelah terjadi suatu kejadian, misalnya wafatnya seorang anak manis dalam kecelakaan mobil, seringkali saya mendengarkan orang dewasa menyatakan bawa hal itu harus diterima dengan pasrah. Caranya adalah dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya, kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, jadi kita anggap saja Tuhan misterius dan tidak perlu banyak bertanya. Tetapi, kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal kepada kita? Tentu saja kita akan menggunakan akal itu untuk memikirkan Tuhan dan juga agama-Nya. Seharusnya ada ajaran dasar di dalam agama yang masuk akal.

Kalau memang ada Tuhan, untuk apa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia lalu membuat agama tersebut sulit dipahami secara akal? Sebagai manusia yang biasa, kita pasti akan meneliti agama dari Tuhan itu dengan menggunakan akal yang Dia berikan kepada kita. Justru tidak masuk akal kalau ada Tuhan yang menciptakan mahluk bernama manusia, memberi akal kepada mereka, kemudian memberi mereka suatu agama yang tidak masuk akal bagi mereka. Akal yang diberikan Tuhan itu pasti akan digunakan untuk menganalisa agama tersebut. Bagaimana bisa lain? Supaya ajaran agama itu tidak hilang, maka harus disampaikan kepada generasi yang berikut. Bagaimana seseorang bisa menyampaikan agama itu kepada anak-anaknya kalau dia sendiri tidak sanggup memahaminya?

Sebagai umpamaan, apakah mungkin seorang guru fisika bisa mengajar fisika kepada murid-muridnya padahal guru itu sendiri tidak mengerti fisika? Bayangkan kalau semua guru fisika meyampaikan ajaran yang tidak masuk akal kepada murid-muridnya di SMA. Pada saat murid-murid mendengarkan ilmu yang tidak masuk akal, mereka akan bertanya-tanya. Bagaimana kalau jawaban dari sang guru adalah “Ya, fisika memang misterius”. Kalau ditanya-tanya lagi muridnya diberi suatu ancaman: “Kalau kamu tidak berhenti bertanya-tanya tentang fisika, kamu akan dikeluarkan dari kelas ini dan secara automatis tidak bisa lulus dari sekolah! Percaya sajalah pada guru. Jangan bertanya lagi!”

Ajaran seperti apakah yang tidak kuat menahan pertanyaan dari seorang anak kecil? Saya yakin bahwa Tuhan Semesta Alam akan kuat dan akan sanggup memberi jawaban bila ditanyai oleh hamba-Nya. Kenyataan bahwa ada agama yang sepertinya tidak kuat untuk menahan pertanyaan dari seorang anak kecil itu membuat saya berfikir bahwa agama itu tidak mungkin berasal dari Tuhan Semesta Alam!

Sebagai seorang anak, saya merasa susah percaya kepada Tuhan karena saya tidak bisa melihat-Nya. Barangkali ada orang lain yang mempunyai perasaan yang sama dan bertanya tentang adanya atau tidak adanya seorang Tuhan yang tidak menampakkan diri dan tidak pernah terlihat. Banyak orang Kristen menjelaskan segala hal yang berkaitan Tuhan (seperti halnya Tuhan tidak nampak) dengan mengatakan bahwa Tuhan itu misterius dan kita tidak bisa mengerti apa yang Dia lakukan atau apa yang Dia kehendaki. Akan tetapi kalau Tuhan tidak mau menampakkan diri kepada kita, kenapa kita harus menanggap perkara itu misterius? Kalau kita menganalisa dengan akal yang sehat, maka justru wajar kalau kita bisa menemukan sebuah alasan yang bisa diterima oleh akal yang memberi “bukti” bahwa tidak nampaknya Tuhan itu adalah hal yang baik yang justru merupakan rahmat bagi kita.

[Skipped : Kisah Pertemuan Nabi Musa, Nabi Adam, dan Iblis dengan Allah. Dilanjutkan dengan Hadits mengenai pengampunan terhadap manusia yang telah membunuh 100 orang]

Sekarang saya mau bertanya: kenapa seorang manusia yang membunuh 100 orang yang lain bisa mendapatkan pengampunan atas dosanya? Pengampunan berarti dia tidak akan dihukum atas dosa tersebut. Padahal dua orang (Adam dan Hawa) yang hanya makan satu buah tetap dihukum. Dan satu mahluk yang hanya membantah tidak diampuni dosanya, dan tetap dihukum. Yang jelas si pembunuh itu belum sempat bertaubat (secara formal), karena dia sedang mencari sebuah tempat di mana taubatnya akan diterima. Akan tetapi, dia sangat mengharapkan ampunan dari Allah. Nabi Adam (as.) memang bertaubat dan taubatnya diterima, akan tetapi dia masih kena hukuman. Iblis tidak bertaubat dan sepertinya tidak ingin bertaubat. Dia kena hukuman yang paling keras dari tiga kasus ini.

Tuhan Tidak Nampak
Saya mau bertanya tentang kenapa Nabi Adam (as.) dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu: si pembunuh itu tidak memiliki bukti bawah Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah berbicara dengan Tuhan seperti yang dilakukan oleh Nabi Adam (as.) dan Iblis. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan didasarkan keimanan yang berarti dia percaya walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan). Secara teoretis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan penglihatan matanya, tetapi teori ini bisa diragukan oleh karena ayat yang terkutip di atas, di mana Nabi Musa (as.) minta izin untuk melihat Allah, tetapi pada saat Allah menampakkan diri di belakang sebuah gunung, maka gunung meletus dan Nabi Musa (as.) jatuh pingsan (lihat Surah A’raaf, QS. 7:143). Kalau Nabi Musa tidak sanggup melihat Allah, maka kita bisa berargumentasi bahwa seharusnya Nabi Adam (as.) dan Iblis juga tidak sanggup. Teori ini juga bisa diragukan karena ada sebuah hadiths yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad (s.a.w.) tidak pernah melihat Allah swt.:

Diriwayatkan oleh Masruq:
Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: Wahai Abu A’ishah, ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah. Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: Dia yang menganggap bahwa Muhammad (s.a.w.) melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah… (Sahih Muslim No. 259)

Kalau Nabi Musa (as.) dan Nabi Muhammad (s.a.w.) tidak pernah melihat Allah dengan matanya, maka sangat wajar kalau kita berasumsi bahwa mahluk terlaknat seperti Iblis juga tidak bisa melihat-Nya. Didasarkan informasi ini, kita bisa beranggapan bahwa sangat kecil kemungkinan Nabi Adam (as.) dan Iblis melihat Allah. Akan tetapi, yang jelas sekali adalah mereka berbicara dengan Allah. Di Surah Al-A’raf (QS. 7:22-23), Nabi Adam (as.) berbicara dengan Allah untuk mohon mapun kepada-Nya setelah ditegur. Juga di Surah Al-A’raf (QS. 7:11-16) ada adialog antara Allah swt. dan Iblis. Tentang bagaimana caranya mereka berdialog dengan Allah swt., kita tidak bisa tahu. Apakah mereka mendengar “Suara Allah” dalam bentuk aslinya? Atau apakah mereka mendengar suatu “suara” di dalam hatinya? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak bisa diketahui dan juga tidak penting bagi kita. Yang penting adalah ayat-ayat ini membuktikan ada sebuah dialog antara Allah dengan Nabi Adam (as.), Iblis, Nabi Musa (as.) dan Nabi Muhammad (s.a.w.).

Oleh karena mereka pernah berdialog langsung dengan Allah swt., maka sangat jelas bahwa mereka tidak percaya kepada Allah didasarkan keyakinan atau keimanan saja. Mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti yang nyata bagi mereka (suara Allah) yang membuktikan bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada dan bukan sebuah rekayasa atau khayalan orang lain.

Sebaliknya, kita, seperti si pembunuh tadi, tidak bisa melihat Allah dan tidak pula bisa berbicara dengan-Nya. Berarti kita, sama seperti si pembunuh, harus percaya kepada Allah swt. dan percaya pada ampunan Allah didasarkan keimanan dan bukan karena ada bukti nyata di depan mata kita bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi kita bahwa dosa-dosa kita akan diampuni. Nabi Adam (as.) dan Iblis hanya melakukan satu kesalahan masing-masing. Dan hukumannya sangat berat bagi mereka. Seorang pembunuh melakukan dosa besar berkali-kali dan dosanya diampuni. Berarti kalau seandinya kita melakukan banyak dosa, termasuk dosa-dosa besar, maka kita sangat bisa mengharapkan pengampunan dari Allah. Kenapa? Karena kita percaya kepada Allah tanpa bukti konkret bahwa Allah memang ada. Kita percaya disebabkan keimanan dan bukan karena pernah berdialog langsung dengan-Nya.

Bayangkan kalau kita bisa melihat Allah setiap hari. Sebagai contoh, pada setiap pagi kita bangun, kita buka jendela dan bisa langsung melihat Allah sedang duduk di atas sebuah kursi besar yang melayang di udara. Setiap orang pada saat memandang Allah merasa bahwa Mata Allah membidiknya. Ke mana saja kita pergi di dunia ini, Allah nampak dan terasa Mata Allah mengikuti semua jejak kita! Pada saat kita mau bertindak, kita mendengarkan Suara Allah yang menegur kita dan memberikan kita sebuah peringatan tentang hukum Allah. Setiap hari kita bisa melihat Allah di mana-mana dan mendengarkan suara-Nya.

Kalau keadaan kita seperti itu, maka kita akan berada dalam posisi yang sama dengan Nabi Adam (as.). Kita yakin bahwa Allah ada karena kita mendapatkan bukti nyata. Dan kalau kita hidup dalam keadaan seperti itu, maka wajar kalau peraturan keras yang digunakan untuk Nabi Adam (as.) dan Iblis berlaku bagi kita: sekali berbuat salah, kena hukuman berat! Atau seperti Iblis: sekali berbuat salah, lalu berdebat dengan Allah dan tidak mau bertaubat, maka kena hukuman yang paling berat – dikutuk sepanjang masa dan dijamin masuk neraka!

Apakah anda mau melihat Allah? Atau mendengarkan suara-Nya? Saya tidak mau. Waktu masih anak kecil saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan adalah nyata. Tetapi sekarang, saya sudah tidak mau melihat Allah pada saat masih hidup di dunia ini. Kalau seandainya keinginan saya dari waktu kecil terwujud, maka saya sudah pernah melihat Allah (setelah dia menampakkan diri) dan saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk kategori Nabi Adam (as.) dan Iblis – sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya memang melakukan dosa terus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Berarti kalau saya masuk kategori Nabi Adam (as.) maka saya sudah pasti kena hukuman berat disebabkan dosa-dosa tersebut.

Hukuman untuk Nabi Adam (as.) sangat berat; Nabi diturunkan dari sorga. Hukuman apa yang setimpal untuk saya? Sulit dibayangkan hukuman yang bisa menimpa saya di dunia ini kalau Allah menghendaki langsung menghukum saya. Dan setelah melakukan sebuah dosa, belum tentu saya akan langsung bertaubat seperti halnya Nabi Adam (as.). Bisa jadi saya lebih mirip Iblis dan berusaha untuk berprotes dan membela diri terhadap Allah. Kalau memang itu yang terjadi, berarti ada risiko hukuman bagi saya lebih mirip hukumannya Iblis daripada hukumannya Nabi Adam (as.). Waduh!

Memang setiap hari, kita semua sibuk mengumpulkan dosa, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Sekali berbohong. Sekali mengingkari janji. Sekali mengambil sesuatu tanpa hak. Sekali memfitnah orang. Berapa banyak dosa yang terkumpul setiap hari secara tidak terasa? Maukah anda melihat Tuhan dengan imbalan kena hukuman berat setelah satu kali melakukan dosa? Saya tidak mau!

Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam (as.) dan Iblis dengan kasus si pembunuh 100 orang, maka menjadi jelas bahwa kita lebih mungkin mendapatkan ampunan dari Allah kalau kita belum pernah melihat-Nya dan belum pernah mendengarkan suara-Nya. Sepertinya, Allah lebih siap mengampuni orang yang hanya percaya kepada-Nya daripada orang yang yakin bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah maka orang itu sudah mengetahui kebesaran dan keesaan Allah. Orang itu sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak menuruti perintah Allah. Bagi kita yang belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, masih diperbolehkan mengeluarkan alasan-alasan kita: saya lupa, saya sibuk, uang saya kurang, saya belum bisa, lagi hujan, besok saja, nanti malam dan seterusnya. Dan kita mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita: Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Surah Az Zumar, QS. 39:53)

Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, sangsinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah sayangi kita, Dia tidak menampakkan diri kepada kita. Dan dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa diampuni dengan lebih mudah.

Kunjungi :
1. Blog Mr. Gene Netto
2. Bab I, Saya

No comments: