Photobucket

Saturday, November 22, 2008

Klip Film Perang Salib - Salahudin

Ini adalah klip dari salah satu babak perang salib, dimana Salahudin Al Ayubi setelah mengalahkan pasukan salib, secara bijaksana membiarkan sisa pasukan beserta keluarganya keluar dari Yerusalem dengan aman. Klip serupa pernah saya tampilkan di blog ini, namun saat itu tanpa teks Indonesia. Untuk klip yang ini dengan teks Indonesia. Film ini berjudul Kingdom Of Heaven(2005), produksi 20th Century Fox, dan pemeran utamanya adalah Orlando Bloom.



Saat itu tahun 1187, Yerusalem dikuasai oleh penguasa Kristen, yang telah berdamai dengan pihak Muslim. Terdapat kesepakatan bahwa Yerusalem tetap bisa diziarahi oleh semua pihak secara aman. Namun, di pihak Kristen, terdapat beberapa tokoh saling beda pendapat mengenai pengelolaan kekuasaan Yerusalem. Perbedaan pendapat ini melahirkan tindakan yang tidak terkendali dari salah satu pihak Kristen yang menyebabkan terbunuhnya rombongan peziarah Muslim. Dengan adanya kejadian ini, maka gugurlah kesepakatan damai antara Kristen dan Muslim. Akhirnya Salahudin memimpin pasukan Muslim merebut kembali Yerusalem.

Seru. Rugi kalo nggak nonton sendiri...

baca selengkapnya...

Wednesday, November 12, 2008

Legiun Muslim di Kancah Eropa

Ada buku baru terbitan Bentang Pustaka, yang berisi profil para pemain sepakbola Muslim di Eropa. Bagi temen-temen yang suka kisah mualaf, sekaligus suka (nonton) sepakbola, pasti akan sangat menikmati buku ini.

Berikut ini adalah kutipan sinopsis dari situs bukukita.com, yang menjual buku tersebut secara online :

SINOPSIS BUKU - Legiun Muslim di Kancah Eropa
SEPAKBOLA adalah bahasa universal. Bahasa yang dipertontonkan lewat olah teknik, kekuatan fisik, serta keampuhan taktik dan strategi. Lebih dari itu, sepakbola adalah sebuah komunitas yang di dalamnya sarat pluralisme.

Dalam kamus lapangan hijau, ranah Eropa memang kental dengan sebutan surganya sepakbola. Sepakbola Eropa seolah tak mengenal batas. Pemain dari penjuru dunia berhak menginjakkan kaki dan unjuk kebolehan.

Serbuan legiun muslim di Eropa kini tak terelakkan di tengah berbagai sorotan. Klub-klub besar sekaligus tenar Eropa ramai-ramai mendatangkan pemain bertalenta tinggi. Jumlah pesepakbola muslim di Eropa pun meningkat secara signifikan. Kehadiran pemain muslim sedikit banyak telah mengubah warna sepakbola Eropa.

Kiprah legiun muslim di Eropa tak hanya didominasi pemain asal Afrika. Mereka justru muncul dari tanah Eropa sendiri, dari keturunan para imigrah hingga para mualaf. Mereka dengan mantap melangkah dan meyakini Islam sebagai panduan dan kunci sukses hidupnya. Mereka semua menjelma menjadi pemain kunci di lapangan hijau.

Buku ini akan mengajak Anda untuk mengenal lebih jauh tentang prestasi, kiprah di lapangan, keyakinannya terhadap Islam, serta pencitraan positif yang ditunjukkan para legiun muslim di jagat sepakbola Eropa. Buku ini juga akan menggugah inspirasi, karena sejatinya Islam itu bukan melemahkan, tetapi justru menguatkan kehidupan.

Selamat membaca

baca selengkapnya...

Saturday, November 8, 2008

Pendeta Yahudi Turki Terkemuka Memeluk Islam

Hidayatullah.com--Baru-baru ini Turki tengah mengalami sebuah sejarah besar dan fenomenal. Seorang pendeta Yahudi Turki terkemuka, Aaron Kohen, bersama keluarganya memutuskan diri mereka untuk memeluk agama Islam.

Harian Turki berbahasa Arab, Akhbaralaalam (5/11) mengabarkan, Kohin (45) dan keluarganya mengikrarkan keislaman mereka di hadapan mufti Istanbul, Syaikh Bey Oglu, sejak sebulan silam. Namun, mereka baru mengumumkannya ke khalayak luas pada awal bulan ini.

“Saya sangat menghormati ketiga agama samawi. Agama Islam adalah agama yang memeluk semuanya. Asas inti ketiga agama hadir dalam Al-Quran,” ujar Kohen, sebagaimana dikutip Harian Hürriyet.

Kohen juga mengatakan, bahwa ajaran dan syari'at agama Islam benar-benar memuat, melengkapi, dan menyempurnakan syari'at agama samawi sebelumnya, yaitu Yahudi dan Kristen. "Dalam kitab suci Al-Quran, sesungguhnya terkumpul ajaran-ajaran mulia agama-agama sebelumnya," tambah Kohin.

Terkait alasan mengapa Aaron Kohen memilih Islam, pendeta muda yang mengaku menghaiskan hampir 20 tahun di kehidupan sinagog Istanbul itu mengatakan, dirinya telah mengkaji secara mendalam antara akidah dan syari'ah Yahudi, Kristen, dan Islam.

"Dan saya memutuskan untuk memeluk Islam karena saya dan keluarga saya ingin mendapatkan kebahagiaan hidup sejati," tegasnya.

Kohen memeluk Islam bersama istrinya, Filori dan anaknya. Sikapnya berganti agama sempat mengundang kecaman. Bahkan untuk menebus keislamannya, Kohen harus menghadapi beberapa tantangan dari komunitas Yahudi nya terdulu.

"Saya banyak menerima kritik dan kecaman dari saudra-saudara Yahudi saya," ujar Kohen. “Saya tidak peduli akan reaksinya. “Kedamaian dalam hati saya jauh lebih penting bagi saya,” tambahnya.

Turki tercatat sebagai negara Muslim yang memiliki sejarah gemilang terkait hidup berdampingan dengan umat Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi mengalami pengusiran di Spanyol (abad ke-16 M), dan negara-negara Eropa menolak untuk menerima mereka, justru kekaiasran Islam Turki-Utsmani-lah yang dengan sukarela membukakan pintu untuk menolong mereka.
Hingga saat ini, populasi umat Yahudi di Turki terbilang signifikan. Di Istanbul saja, terdapat sekitar 200.000 pemeluk agama Yahudi. Yahudi Turki, sebagaimana yahudi-Yahudi yang hidup di negara-negara Muslim lainnya, disebut juga sebagai "Yahudi Timur". [akhbar/hurriyet/qantara/ atjeng/cha/www.hidayatullah.com]

kunjungi : www.hidayatullah.com

baca selengkapnya...

Tag der Offenen Moschee, Open House Masjid di Jerman

judul asli : Integrasi Muslim Jerman: Dari Dialog menuju Rahmatan lil’alamin

Hidayatullah.com--“Kamu pasti bersyukur sekali ya, punya Masjid di sini. Ada satu hal yang membuat kami iri kepada kalian, yaitu suasana ukhuwah (geschlossenheit) kalian begitu terasa saat aku masuk ke mesjid untuk pertama kali. Rasa persaudaraan ini yang sudah sejak lama hilang di kehidupan kami”, demikian komentar salah seorang warga non-muslim Jerman yang berkunjung ke Masjid Ali di Kostheim, sebuah kota yang terletak 30 km dari kota metropolitan Frankfurt.

Hari Jum’at, 3 Oktober 2008 lalu, sejumlah masjid di seluruh Jerman mengadakan acara ”Tag der Offenen Moschee” (Open House Masjid) secara serempak. Acara ini menjadi kegiatan rutin tahunan sejak 12 tahun dengan memanfaatkan momentum hari libur nasional Jerman dalam rangka memperingati Hari Persatuan Jerman, yang jatuh pada tanggal 3 Oktober.

Berbagai organisasi Islam yang mewakili 3,5 juta muslim di Jerman hari itu menyiapkan berbagai program guna menyambut warga setempat yang hendak berkunjung ke masjid. Termasuk Masjid Al Falah Berlin yang sebagian besar jamaah masjidnya berasal dari Indonesia dan Masjid Ali Kostheim yang dibangun oleh muslim pendatang dari Maroko.

Program Open House di Masjid Al Falah dimulai pada pukul 13:30 dengan memberi kesempatan kepada warga Jerman untuk mengikuti jalannya shalat Jum’at. Khotbah Jum’at yang dibawakan dalam bahasa Indonesia dan Jerman. Kemudian dilanjutkan dengan pengenalan kehidupan dan budaya muslim di Indonesia, melihat ruangan masjid dan dialog tentang Islam.

Hari itu halaman Masjid Ali juga nampak istimewa dengan dekorasi bernuansa Maroko guna menyambut warga Jerman setempat yang ingin mengenal Islam lebih lanjut. Tamu yang datang silih berganti memaksa panitia mengadakan program keliling masjid dalam beberapa kloter. Warga Jerman dari berbagai latar belakang, seperti jurnalis, aktifis gereja, tokoh pemuda dan masyarakat sangat antusias mengikuti shalat dan khotbah Jum’at yang di bawakan dalam bahasa Arab dan Jerman. Kemudian dilanjutkan dengan presentasi kegiatan jamaah masjid dan dialog tentang Islam.

Peran Penting Dialog Dalam Bermasyarakat
Dalam poster-poster yang terpajang di dinding masjid, Masjid Ali mencoba mengenang kembali perjalanan panjang proses pendirian sebuah Masjid di lingkungan yang sangat buta tentang Islam, bahkan cenderung negatif terhadap seorang muslim. Hampir 10 tahun lamanya kaum muslimin di kota Kostheim / Wiesbaden mencoba melakukan dialog terus-menerus dengan pemerintah dan masyarakat, hingga mereka mau menerima kehadiran sebuah bangunan masjid berkubah dilingkungan mereka pada tahun 2002.

”Terutama dimasa-masa serangan teror dan kasus karikatur nabi, banyak bermunculan tuduhan-tuduhan negatif terhadap Islam”, papar Nasri Said, Ketua Takmir Masjid Ali. ”Maka kita harus memberikan penjelasan, mengundang warga setempat untuk datang dan berdialog di masjid dalam suasana yang tenang”, lanjut Said.

Selain dialog dengan berbagai tokoh masyarakat, anggota jamaah masjid Ali juga diharapkan aktif di masyarakat dan mendukung proses integrasi Muslim di Jerman. Ibu rumah tangga mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman di masjid serta mendorong agar terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan wali murid di sekolah serta mengajukan diri untuk dipilih menjadi pengurus perwakilan wali murid.

Diluar itu kalangan muslimah juga secara rutin mengadakan dialog dengan anggota perempuan jamaah gereja setempat membahas berbagai persoalan dan menghapus rasa kecurigaan di antara mereka.

Program Open House Masjid diakhiri dengan bincang-bincang ringan di halaman masjid sambil menikmati kopi dan kue khas Maroko. Dalam obrolan terungkap, cukup banyak alasan untuk menghadiri acara Open House Masjid hari ini. Ada yang karena anaknya memeluk Islam, karena punya kenalan muslim, memiliki tetangga yang salah satu anaknya memeluk Islam, ada yang tertarik karena setiap kali membuka jendela flat rumahnya, terlihat kubah masjid yang indah dan lain sebagainya.

Seorang pengunjung merasa terharu menyaksikan ratusan muslim bersujud dengan penuh keimanan yang mendalam ketika shalat Jum’at. Dua orang pelajar dari Louise-Schroeder Scule Jerman menyempatkan hadir ke masjid untuk bertanya seputar posisi wanita dalam Islam untuk bahan proyek mereka di sekolah. ”Sebelumnya saya memiliki gambaran yang sangat berbeda, angker dan keras. Tetapi hari ini saya merasakan bahwa mereka sangat santun dan menyambut kami dengan penuh kehangatan,” komentar salah satu remaja putri tersebut. Seorang anak muda Jerman lain lagi komentarnya, ”Setelah saya mendengarkan khotbah Jum’at tadi, pandangan saya terhadap muslim telah berubah 180°. Kalau semua muslim melaksanakan ajaran Islam dengan benar, saya yakin dunia akan aman dan damai,”

Peran Sentral Masjid
Masjid masih termasuk sesuatu yang sangat langka di Jerman, meskipun dari waktu ke waktu semakin mudah untuk mendapatkan masjid di setiap kota. Selain itu perkembangan Islam sendiri di Jerman mengalami kemajuan yang luar biasa. Rata-rata 1000 warga negara keturunan Jerman memeluk Islam setiap tahunnya dan kebanyakan dari mereka adalah para profesional dan sarjana. Pemandangan berupa pelajar atau mahasiswa bule sedang shalat di masjid semakin menjadi hal yang biasa dan semakin marak.

Kehadiran masjid ditengah-tengah masyarakat seolah menjadi mercusuar yang mampu memancarkan cahaya Islam, sebagai pusat ilmu dan informasi penerangan. Menjadi pusat ibadah umat Islam, pendidikan Islam anak-anak dengan sekolah Al-Quran dan Bahasa Arab. Menjadi pusat belanja untuk memenuhi keperluan daging halal dan kebutuhan sehari-hari umat Islam. Menjadi Sport Club dan tempat bermain bagi anak-anak dan remaja muslim. Selain juga menjadi lembaga kursus bahasa dan bimbingan belajar.

Dengan adanya masjid pula, salah satu kewajiban muslim untuk mengenalkan Islam kepada yang lain menjadi lebih mudah. Banyak diantara orang Jerman yang memiliki kenalan Muslim, ingin diantar ke masjid. Dengan masuk langsung ke masjid dan mengikuti salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh masjid, semakin membuka pikiran mereka dan menghapuskan pandangan mereka selama ini yang salah terhadap Islam.

Pelan namun pasti, Islam mulai mendapatkan simpati dan masyarakat mulai merasa nyaman untuk hidup bersamanya. Seperti yang ditunjukkan oleh sebagian besar warga Jerman di kota Cologne yang membela dan mendukung proyek pendirian sebuah masjid besar di kota tersebut, ketika ditentang oleh sebuah partai berhaluan ekstrem kanan. [ Tieneke Ayuningrum. Ketua Kewanitaan Pusat Informasi dan Pelayanan PKS Jerman]

kunjungi : www.hidayatullah.com

baca selengkapnya...

Friday, November 7, 2008

Download Ebook Kristologi Gratis

Untuk rekan-rekan yang sering berinteraksi dengan teman-teman Nasrani, dan sering diajak diskusi mengenai Islam-Kristen, ada baiknya mengoleksi ebook Kristologi gratis yang ada di situs pakdenono.com. Silakan kunjungi http://www.pakdenono.com/home.htm lalu menuju ke bagian bawah halaman, dan temukan folder download christology ebook. Bagi rekan-rekan mualaf, saya yakin ebook ini juga sangat bermanfaat untuk memperkuat dan memantapkan keislamannya. Selamat mendownload ...

Type rest of the post here

baca selengkapnya...

Sunday, November 2, 2008

Pertanyaan Teologis Jameelah

Suatu sore di musim gugur terasa sejuk dan cerah. Aku yakin telah mengucapkan beberapa patah kata tentang Alquran kepada Jameelah ketika ia menyelaku, "Ayah, aku paham bahwa ketika menjadi seorang ateis, Ayah mempunyai pertanyaan-pertanyaan tentang Tuhan yang jawaban-jawabannya tak dapat Ayah temukan, dan bahwa Ayah baru menemukan jawaban-jawabannya setelah membaca Alquran. Tapi, aku masih belum mengerti apa yang membuat Ayah jadi seorang Muslim?"

"Apa maksudmu?" tanyaku seraya memperlambat langkah kami.

"Maksudku, meski Ayah tak mempunyai argumen-argumen lain yang menyanggah adanya Tuhan, tak berarti bahwa Dia ada."

"Sebuah pertanyaan yang amat jeli!" kataku dengan sesungging senyum kekaguman. " Aku tak pernah menduga kalimat itu akan keluar dari mulut seorang anak seusiamu!"

Penjelasan yang kemudian kusampaikan kepadanya tentang bagaimana aku masuk Islam serupa dengan uraian pada bab sebelumnya bagian "Jangan Menolak Bimbingan-Nya". Aku terangkan kepadanya bahwa setelah bersikap lebih terbuka terhadap kemungkinan adanya Tuhan, aku mulai memperoleh beberapa pengalaman spiritual yang intens selama membaca Alquran.

"Apa yang mendorong Ayah berpikir bahwa pengalaman-pengalaman itu berasal dari Allah?" tanyanya.

"Mula-mula aku tak mempercayai mereka," kataku. "Aku meragukan mereka, tetapi selanjutnya aku berpikir bahwa mereka memang benar. Tak berapa lama, aku tahu dari mana mereka berasal. Seolah-olah, aku senantiasa mengenal Tuhan, namun suatu saat aku mengalami semacam trauma spiritual dan kemudian melupakan mereka. Aku seperti baru sembuh dari amnesia [kehilangan daya ingat]. Kukira kita mempunyai rasa spiritual yang alamiah dan kuat tentang Tuhan, tetapi kita mengabaikan, menolak, atau tak memercayainya. Apakah kau dapat menangkap maksud perkataanku?"

"Ayah," Jameelah menatapku dengan matanya yang belok, cokelat, dan indah, "itulah hal paling dungu yang pernah kudengar."

"Mengapa kau mengatakannya demikian?" tanyaku dengan perasaan kecut.

"Sebab, aku tahu bahwa aku sama sekali tak mengetahui Tuhan," katanya. "Aku tak memiliki sara alamiah tentang Tuhan."

Kami terus bercakap-cakap. Aku merasa alangkah bodoh diriku yang coba memberikan penjelasan semacam itu. Sebetulnya, aku tak sepenuhnya menyadari masa transisiku dari penolakan, kemudian keraguan, dan menuju keyakinan; bagaimana mungkin aku menerangkan rasa itu kepada seorang bocah berumur sebelas tahun? Ia belum cukup umur dan belum mempunyai cukup pengalaman untuk memahami apa yang kukatakan. Sekalipun ia telah lebih dewasa, bagaimana ia bisa memahaminya padahal tak pernah mengalami hal yang sama? Apakah aku telah mengetahui Tuhan ketika seusianya; apakah aku memiliki kesadaran alamiah akan keberadaan-Nya? Yang kuingat hanyalah bahwa semasa kecil, aku biasa memohon kepada Tuhan untuk mengusir ayahku.

Lantas, terpikirkan olehku sesuatu yang lain. "Jameelah, apakah kauingat saat aku dibawa ambulan ke rumah sakit bulan Juli lalu?"

"Ya," jawabnya tampak bingung.

"Dan apakah kamu ingat bagaimana tubuhku dimasuki selang-selang dan dibantu tabung-tabung itu, dan kemudian mereka membawaku dengan sebuah usungan ke ambulan, dan aku tak dapat bergerak; aku gemetar dan sulit bernapas?"

"Ya," jawabnya dengan sedih.

"Dan kamu ingat bagaimana kamu berdiri di sampingku dan bertanya dengan suara bergetar apakah aku akan mati?"

"Ya," jawabnya dengan air mata yang mulai berlinang.

"Sesudah mereka membawaku ke rumah sakit, apakah kau pada siang atau malam itu berdoa kepada Tuhan agar ayahmu tak meninggal dan menjaganya tetap hidup? Apakah kau memohon pertolongan-Nya?"

"Ya," katanya sedikit jengkel dan ingin tahu mengapa aku terus mencecarnya.

"Apakah kau berdoa pada keesokan harinya?"

"Ya!" katanya seperti suara seorang saksi yang enggan berbicara dalam sebuah sidang pengadilan.

"Dan pada hari-hari berikutnya?"

"Ya!" jawabnya dengan suara yang sepertinya memintaku untuk berhenti mencecarnya.

"Siapa yang mengajarimu berdoa seperti itu? Siapa yang menyuruhmu berbicara dengan Tuhan?"

Ia diam sejenak, mungkin untuk memikirkan jawabannya.

"Ayah yang mengajariku cara berdoa seperti itu," jawabnya dengan nada kurang percaya diri.

"Maksudku bukan yang mengajari berdoa dalam bahasa Arab, tetapi siapa yang mendorongmu berbicara dengan Tuhan, berkomunikasi dengan-Nya secara pribadi? Apakah Ayah atau orang lain pernah mengajari agar kamu membayangkan dirimu berbicara dengan-Nya, agar kamu mencari kata-kata yang ingin kau ucapkan, dan kemudian Tuhan mendengarnya?"

"Tidak."

"Apakah Ayah atu orang lain pernah memberimu contoh bagaimana berbicara dengan Tuhan?"

"Tidak."

"Sungguh?"

"Ya!"

"Mungkin ibumu, atau salah satu nenkmu, atau salah seorang paman atau bibimu mengajari demikian?"

"Tidak!"

"Jadi siapa yang mengajarimu? Bagaimana kau tahu dan bisa langsung melakukannya begitu saja?"

"Tak ada seorangpun yang mengajariku!" tegasnya. "Aku tahu begitu saja!"
Mimik memelas di wajahnya membuatku berharap tak pernah melewati hari itu, sebab aku sama sekali tak ingin menyakitinya sedikit pun.

"Baiklah," kataku, "Mungkin kau memang mempunyai sebuah kesadaran alamiah tentang Tuhan -- mungkin begitulah cara kau mengetahui dan melakukannya. Dan, seperti itulah pengalamanku. Tiba-tiba saja aku tahu bahwa Tuhan mendatangiku lewat ayat-ayat Alquran dan peristiwa-peristiwa spiritual. Kesadaran alamiah tersebut membuatku mengetahui-Nya -- barangkali karena secara spiritual aku lama sekali tak sadarkan diri -- tetapi mendadak aku tahu begitu saja." [*]

Ditulis ulang dari Buku Aku Beriman, maka Aku Bertanya, Jeffrey Lang, Serambi, Jakarta, 2008

Kunjungi penerbit : SERAMBI

baca selengkapnya...

Akhirnya Kutemukan

Hampir setahun yang lalu saya beli buku kecil berjudul Satanic Finance, karya A. Riawan Amin. Ketika muncul isu krisis keuangan global ahir-akhir ini, saya mencoba membuka-buka lagi buku karya Dirut Bank Muamalat dan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia itu. Karena membacanya sambil melakukan perjalanan kesana-kemari, maka baru beberapa halaman dibaca, buku tersebut menghilang, entah ketlisut di mana. Kucari-cari tidak ketemu juga. Wah, ini nggak bisa dibiarkan, saya harus beli lagi.

Saya telepon ke Gramedia Malang, orang Gramedia bilang buku tersebut sudah tidak ada. Telepon ke Togamas Malang, sama, sudah nggak jual lagi. Saya kunjungi Gramedia Basuki Rahmat Surabaya, nggak ada juga. Togamas Surabaya, setali tiga uang. Wah, gimana nih. Padahal saya sedang penasaran betul mengenai topik bahasan sekitar sistem keuangan yang saat ini sedang digunakan oleh perbankan internasional, terlebih lagi masalah moneter, sektor riil, bank sentral, filosofi uang kertas, dll.

Saat lagi jalan-jalan di Matahari Pasar Besar Malang, Alhamdulillah akhirnya saya menemukan buku tersebut di Toko Buku Kurnia Agung, yang berada satu lantai dengan Matahari. Wow, lega sekali rasanya. Bagi yang masih penasaran dengan topik-topik yang saya sebut di atas, kayaknya perlu baca buku ini deh ... Selamat berburu.

baca selengkapnya...

Saturday, November 1, 2008

Ayesha,Tertarik Islam Karena Jilbab

Hidayatullah.com-- Namanya Ayesha Islam. Dia dilahirkan di Polandia, tapi besar di Denmark dan Swedia. Jadi, bisa dikatakan telah mengenal dunia internasional sejak kecil. Perjalanannya menuju Islam dimulai tahun 1995 saat masih di Swedia. Di sanalah Ayesha berjumpa dengan muslim asal Lebanon . Meskipun mereka itu tidak begitu agamis, bahkan mereka tak pernah menceritakan pada Ayesha apa itu Islam, namun mereka cukup punya kesan mendalam dalam perjalanannya menuju Islam.

“Karena dengan merekalah saya pertamakali berada dalam lingkungan muslim,” katanya. Dalam sebuah parade di AS dia berpapasan dengan beberapa wanita berjilbab yang juga ikut menonton pawai tersebut. Itulah awal dari semuanya. Selepas pertemuan itu Ayesha rajin mengikuti pengajian dan akhirnya bersyahadah. Berikut kisah lengkapnya.

Hidup ini merupakan perjalanan dan kematian bagian dari perjalanan itu sendiri. (Ayesha Islam, 2005)

“Untuk beberapa alasan saya selalu merasa bisa menjadi diri sendiri kala berkumpul dengan orang-orang Islam kendati pada saat yang sama saya dianggap asing oleh warga di sekitar tempat tinggal. Begitupun saya berupaya untuk tetap mengikuti gaya hidup mereka, meskipun sebenarnya saya sendiri tidak suka. Misalnya, saya tidak pernah mengenakan pakaian ketat, tidak suka pakai make up, atau ikut-ikutan ke bar, minum-minuman keras. Sejak kecil saya hanya punya keinginan jika sudah besar ingin berkeluarga, lalu memiliki anak dan hidup tentram bahagia dalam kesederhanaan. Hanya itu. Simpel saja,” tutur Ayesha tentang gaya hidupnya.

Namun ketika memasuki usia 18 tahun, tiba-tiba dia punya keinginan jadi psikolog. Karena cita-cita itu pula Ayesha terbang ke AS, untuk ketigakalinya, di tahun 2001. Disana dia belajar ilmu kesehatan mental dan psikologi kriminal. Satu hari dia berada di tengah-tengah kota Manhattan, tepatnya di sekitar America Avenue .

“Saat itu saya sedang dalam perjalanan ke gereja Swedia untuk mengikuti satu pelajaran. Untuk mencapai gereja itu biasanya saya jalan kaki dari 5th Avenue ke 48th Street. Tapi hari itu, tepatnya 19 Juni 2005, saya putuskan untuk melintasi kawasan America Avenue untuk menikmati suasana keramaian yang sedang digelar disitu,” kenangnya.

“Ternyata sedang ada parade atau pawai internasional disana. Saya berpapasan dengan beberapa wanita berjilbab yang juga ikut nonton. Serta merta saya dekati mereka seraya mengatakan saya tertarik belaar Islam. Itulah awal dari semuanya. Selepas pertemuan itu Ayesha rajin mengikuti pengajian dengan beberapa muslim Yaman,” kata Ayesha lagi.

Ayesha mulai mengumpulkan buku-buku Islam dan juga mengenakan jilbab. Jilbab, ketika itu hanya dia pakai ketika berada di kereta bawah tanah. “Seorang muslim asal Maroko menghadiahi saya film “The Message” yang berkisah tentang perjuangan Rasulullah SAW. Film ini sangat mempengaruhi kehidupan saya,” sebut Ayesha. Dia bahkan mulai mencoba ikut puasa selama Ramadhan.

Muslimah Maroko itu juga menerangkan tentang ucapan khusus kala seseorang mau masuk Islam. Ayesha bahkan mulai “mendakwahi” orang-orang terdekat kendati belum bersyahadah. “Saya bilang pada orang-orang, sekali Anda mengetuk pintu Islam, maka Anda pasti tak ingin keluar lagi karena agama ini punya ideologi dan cara hidup yang begitu indah,” tukasnya.

“Saya benar-benar butuh perubahan identitas yang drastis. Saya bahkan mengubah sendiri nama menjadi Laila di saat merayakan ultah ke-30. Di usia itu pula saya menerima Islam dan menjadi seorang muslim,” kenang Ayesha lagi yang bersyahadah pertengahan 2005 silam.

Teman-teman dan anggota keluarganya sangat ingin mendengar tentang perubahan yang muncul dari dirinya. Tapi di saat Ayesha mulai bercerita tentang Islam, mereka pada menyingkir pergi dan tak mau lagi mendengarkan apa itu Islam. “Tak apa-apa, mereka tak mau dengar. Justru saya jadi ingin tahu hingga mencari-cari kira-kira cerita apa yang mereka suka dari Islam,” kenang Ayesha.

“Lucu sebenarnya, padahal tak ada yang berubah dari saya. Saya masih orang yang sama dan pribadi juga tak berubah. Saya masih menyintai siapa saja. Saya masih suka berbagi pengalaman dengan kalangan mana saja tanpa membeda-bedakan status. Begitu juga sekarang, saya merasakan nikmatnya Islam. Karena itu saya musti ceritakan juga kepada orang lain. Berbagi makanan yang nikmat bagi jiwa. Persis seperti kita sharing info tentang makanan enak di suatu restoran ataupun buku bagus bagi rekan sejawat dan keluarga kita. Simpel kan ,” terang Ayesha lagi.

Ayesha sejak lama suka berkirim email dengan teman-temannya. Hingga mereka itu persis seperti saudara sendiri. Tapi kemudian mereka seperti menjaga jarak.

“Mereka menjauhi saya karena takut tersentuh “makanan” yang nikmat ini. Dengan kata lain, mereka tak percaya dengan pilihan hidup saya yang baru itu,” kisah dia.

Adapun anggota keluarganya juga mulai jengah dengan keislamannya itu. “Ibu pun sangat peduli dengan apa yang dikatakan orang lain. Saya dikatakan jelek dan berjalan terlalu jauh. Tapi jika saya ngambek dan menyembunyikan diri di kamar, dia masih masih mau mendengar tentang Islam. Namun anggota keluarga yang lain merasa malu karena keislaman saya,” kata Ayesha.

Pola pikir Ayesha makin hari makin berubah. Dia mulai realistis dengan hidup, makin peduli dan respek terhadap sesama, menerima dirinya sendiri sebagai bagian dari masyarakat banyak, tidak egois dan perubahan-perubahan positif lainnya.

Dia berupaya dekat dengan Allah dan mengkondisikan dirinya seolah-olah senantiasa diawasi oleh-Nya. “Ini sangat membantu saya untuk selalu berperilaku baik dan ingat dengan tujuan hidup sebenarnya,” aku dia.

“Dulu saya paling sulit dan gengsi mengatakan "tidak", tapi sekarang saya berani bilang "tidak" jika saya tidak bisa mengerjakan sesuatu hal. Jujur pada diri sendiri, itulah yang saya peroleh dalam Islam. Dengan begitu kita akan makin kenal dengan diri kita sendiri. Kita akan makin respek, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.

Lebih dari itu, Islam membuat saya kembali “hidup” di dunia ini, persis baru pertama dilahirkan,” terangnya lagi.

“Sejujurnya, saya dulu tak merasakan kenikmatan dalam hidup. Saya, semasih kecil, merasa asing di dunia ini. Sebabnya, saya lahir di luar nikah. Orang tua saya menyebut, kehadiran saya di luar perencanaan. Hingga saat ini saya tak punya seseorang yang bisa dipanggil sebagai ayah,” tandasnya.

“Tapi kini saya tahu itu bukan sebuah hal yang patut disesali. Allah adalah Maha Pencipta. Allah Maha tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Bukanlah kesalahan Allah hingga melahirkan saya dengan cara seperti itu. Hingga saya tak punya ayah biologi. Hingga saya terlahir dari orantua non-muslim. Allah maha bijaksana,” katanya penuh keikhlasan.

Kini Ayesha merasa enjoy dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya. Kemanapun dia pergi, tak ada rasa takut dan malu. “Saya kini merasa bebas seperti burung yang bebas terbang tanpa ada rasa takut jatuh. Begitu pula saya dengan pakaian ini. Saya juga rasakan kenikmatan ketika shalat,” ungkap Ayesha yang kembali menekuni studinya di bidang psikologi dengan tetap berjilbab.

Dia bahkan mengaku tak ragu jika satu ketika musti kehilangan rumah tempat tinggalnya alias diusir dari rumahnya sendiri. “Islam membuat saya makin kuat,” kata Ayesha yang mulai fokus dengan studi dan berharap bisa menikah segera serta memilih bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga. Wallahu alam bisshawab. [Zulkarnain Jalil/www.hidayatullah.com]

baca selengkapnya...