Photobucket

Sunday, July 22, 2007

Ingin Melihat Tuhan

Ini Bab Kedua dari buku Gene Netto (mualaf) "Mencari Tuhan, Menemukan Allah" yang sedang ditulisnya. Insya Allah sebentar lagi terbit.

Saya dibesarkan di sebuah negara yang penuh dengan orang Kristen. Hampir semua teman saya di sekolah beragama Kristen. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka bisa dikatakan “Kristen KTP” yaitu, mereka mengakui agamanya tetapi tidak ke gereja dan tidak membaca Al Kitab. Di antara anak–anak yang lain ada yang merasa sebagai orang ateis dan ada juga orang agnostik.

Orang ateis tidak percaya pada Tuhan sama sekali. Banyak dari mereka yang mengikuti ajaran evolusi Charles Darwin dengan menyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Keberadaan manusia di bumi ini dianggap suatu kebetulan saja.

Artinya agnostik itu adalah orang yang tidak mau menyatakan Tuhan itu ada dan juga tidak mau menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada. Mereka adalah orang yang sedang menunggu bukti bahwa Tuhan ada. Kalau mereka mendapatkan bukti, mereka akan percaya. Untuk sementara, karena tidak ada bukti yang memuaskan, mereka diam saja dan tidak mengikuti suatu agama yang tertentu. Kalau orang tersebut dinamakan ateis, mereka tidak akan setuju karena orang ateis merasa yakin bahwa Tuhan tidak ada, padahal orang agnostik belum siap menyatakan Tuhan tidak ada.

Pada saat saya masih muda, saya merasa cukup yakin bahwa Tuhan tidak ada, tetapi sebenarnya saya terbuka untuk menerima bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan kalau memang ada. Saya banyak bertanya-tanya tentang agama yang saya ketahui, yaitu agama Katolik. Pertanyaan-pertanyaan saya itu tidak terjawab dengan baik dan hal itu membuat saya lebih bingung lagi. Karena tidak ada bukti yang memuaskan, maka saya merasa terpaksa untuk tidak percaya kepada Tuhan.

Pada saat saya bertanya, jawaban yang diberikan tidak masuk akal. Atau jawaban yang diberikan kurang lengkap menurut saya dan setelah mendapatkan jawaban tersebut, justru pertanyaan baru akan muncul dan pertanyaan baru inilah juga tidak dijawab dengan baik. Pada saat saya memaksa untuk bertanya terus kepada nenek saya, saya diancam: “Kalau Paus tahu kamu bertanya-tanya tentang agama, kamu bisa dikeluarkan dari agama Katolik dan kamu akan masuk neraka. Percaya saja pada pastor. Tidak usah banyak bertanya!” Ternyata Paus berhak untuk menyatakan bahwa saya bukan orang Katolik lagi karena saya bertanya tentang agama. Dan semua orang yang menentang Paus bisa dikeluarkan dari agama Katolik dan oleh karena itu pasti akan masuk neraka. Menakutkan sekali!

Setelah terjadi suatu kejadian, misalnya wafatnya seorang anak manis dalam kecelakaan mobil, seringkali saya mendengarkan orang dewasa menyatakan bawa hal itu harus diterima dengan pasrah. Caranya adalah dengan mengucapkan “God works in mysterious ways” (Tuhan bertindak dengan cara yang misterius), yang artinya, kita tidak mungkin bisa memahami apa yang dilakukan oleh Tuhan, jadi kita anggap saja Tuhan misterius dan tidak perlu banyak bertanya. Tetapi, kalau Tuhan memang misterius, kenapa Dia memberikan akal kepada kita? Tentu saja kita akan menggunakan akal itu untuk memikirkan Tuhan dan juga agama-Nya. Seharusnya ada ajaran dasar di dalam agama yang masuk akal.

Kalau memang ada Tuhan, untuk apa Dia memberi ajaran-ajaran agama kepada manusia lalu membuat agama tersebut sulit dipahami secara akal? Sebagai manusia yang biasa, kita pasti akan meneliti agama dari Tuhan itu dengan menggunakan akal yang Dia berikan kepada kita. Justru tidak masuk akal kalau ada Tuhan yang menciptakan mahluk bernama manusia, memberi akal kepada mereka, kemudian memberi mereka suatu agama yang tidak masuk akal bagi mereka. Akal yang diberikan Tuhan itu pasti akan digunakan untuk menganalisa agama tersebut. Bagaimana bisa lain? Supaya ajaran agama itu tidak hilang, maka harus disampaikan kepada generasi yang berikut. Bagaimana seseorang bisa menyampaikan agama itu kepada anak-anaknya kalau dia sendiri tidak sanggup memahaminya?

Sebagai umpamaan, apakah mungkin seorang guru fisika bisa mengajar fisika kepada murid-muridnya padahal guru itu sendiri tidak mengerti fisika? Bayangkan kalau semua guru fisika meyampaikan ajaran yang tidak masuk akal kepada murid-muridnya di SMA. Pada saat murid-murid mendengarkan ilmu yang tidak masuk akal, mereka akan bertanya-tanya. Bagaimana kalau jawaban dari sang guru adalah “Ya, fisika memang misterius”. Kalau ditanya-tanya lagi muridnya diberi suatu ancaman: “Kalau kamu tidak berhenti bertanya-tanya tentang fisika, kamu akan dikeluarkan dari kelas ini dan secara automatis tidak bisa lulus dari sekolah! Percaya sajalah pada guru. Jangan bertanya lagi!”

Ajaran seperti apakah yang tidak kuat menahan pertanyaan dari seorang anak kecil? Saya yakin bahwa Tuhan Semesta Alam akan kuat dan akan sanggup memberi jawaban bila ditanyai oleh hamba-Nya. Kenyataan bahwa ada agama yang sepertinya tidak kuat untuk menahan pertanyaan dari seorang anak kecil itu membuat saya berfikir bahwa agama itu tidak mungkin berasal dari Tuhan Semesta Alam!

Sebagai seorang anak, saya merasa susah percaya kepada Tuhan karena saya tidak bisa melihat-Nya. Barangkali ada orang lain yang mempunyai perasaan yang sama dan bertanya tentang adanya atau tidak adanya seorang Tuhan yang tidak menampakkan diri dan tidak pernah terlihat. Banyak orang Kristen menjelaskan segala hal yang berkaitan Tuhan (seperti halnya Tuhan tidak nampak) dengan mengatakan bahwa Tuhan itu misterius dan kita tidak bisa mengerti apa yang Dia lakukan atau apa yang Dia kehendaki. Akan tetapi kalau Tuhan tidak mau menampakkan diri kepada kita, kenapa kita harus menanggap perkara itu misterius? Kalau kita menganalisa dengan akal yang sehat, maka justru wajar kalau kita bisa menemukan sebuah alasan yang bisa diterima oleh akal yang memberi “bukti” bahwa tidak nampaknya Tuhan itu adalah hal yang baik yang justru merupakan rahmat bagi kita.

[Skipped : Kisah Pertemuan Nabi Musa, Nabi Adam, dan Iblis dengan Allah. Dilanjutkan dengan Hadits mengenai pengampunan terhadap manusia yang telah membunuh 100 orang]

Sekarang saya mau bertanya: kenapa seorang manusia yang membunuh 100 orang yang lain bisa mendapatkan pengampunan atas dosanya? Pengampunan berarti dia tidak akan dihukum atas dosa tersebut. Padahal dua orang (Adam dan Hawa) yang hanya makan satu buah tetap dihukum. Dan satu mahluk yang hanya membantah tidak diampuni dosanya, dan tetap dihukum. Yang jelas si pembunuh itu belum sempat bertaubat (secara formal), karena dia sedang mencari sebuah tempat di mana taubatnya akan diterima. Akan tetapi, dia sangat mengharapkan ampunan dari Allah. Nabi Adam (as.) memang bertaubat dan taubatnya diterima, akan tetapi dia masih kena hukuman. Iblis tidak bertaubat dan sepertinya tidak ingin bertaubat. Dia kena hukuman yang paling keras dari tiga kasus ini.

Tuhan Tidak Nampak
Saya mau bertanya tentang kenapa Nabi Adam (as.) dihukum, Iblis dihukum, tetapi seorang pembunuh yang telah membunuh 100 orang tidak dihukum? Perbedaannya hanya satu: si pembunuh itu tidak memiliki bukti bawah Tuhan benar-benar ada! Dia tidak pernah berbicara dengan Tuhan seperti yang dilakukan oleh Nabi Adam (as.) dan Iblis. Pembunuh itu percaya kepada Tuhan didasarkan keimanan yang berarti dia percaya walaupun tidak melihat (dan tentu saja tidak bicara dengan Tuhan). Secara teoretis, kita bisa berargumentasi bahwa ada kemungkinan Adam dan Iblis melihat Allah dengan penglihatan matanya, tetapi teori ini bisa diragukan oleh karena ayat yang terkutip di atas, di mana Nabi Musa (as.) minta izin untuk melihat Allah, tetapi pada saat Allah menampakkan diri di belakang sebuah gunung, maka gunung meletus dan Nabi Musa (as.) jatuh pingsan (lihat Surah A’raaf, QS. 7:143). Kalau Nabi Musa tidak sanggup melihat Allah, maka kita bisa berargumentasi bahwa seharusnya Nabi Adam (as.) dan Iblis juga tidak sanggup. Teori ini juga bisa diragukan karena ada sebuah hadiths yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad (s.a.w.) tidak pernah melihat Allah swt.:

Diriwayatkan oleh Masruq:
Saya sedang istirahat di rumah A’ishah ketika dia mengatakan: Wahai Abu A’ishah, ada tiga perkara yang, bilamana ada seseorang yang membenarkannya, maka dia telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah. Saya bertanya apakah tiga perkara itu. Dia menyatakan: Dia yang menganggap bahwa Muhammad (s.a.w.) melihat Tuhannya (dengan penglihatan matanya) telah berbuat kebohongan terbesar terhadap Allah… (Sahih Muslim No. 259)

Kalau Nabi Musa (as.) dan Nabi Muhammad (s.a.w.) tidak pernah melihat Allah dengan matanya, maka sangat wajar kalau kita berasumsi bahwa mahluk terlaknat seperti Iblis juga tidak bisa melihat-Nya. Didasarkan informasi ini, kita bisa beranggapan bahwa sangat kecil kemungkinan Nabi Adam (as.) dan Iblis melihat Allah. Akan tetapi, yang jelas sekali adalah mereka berbicara dengan Allah. Di Surah Al-A’raf (QS. 7:22-23), Nabi Adam (as.) berbicara dengan Allah untuk mohon mapun kepada-Nya setelah ditegur. Juga di Surah Al-A’raf (QS. 7:11-16) ada adialog antara Allah swt. dan Iblis. Tentang bagaimana caranya mereka berdialog dengan Allah swt., kita tidak bisa tahu. Apakah mereka mendengar “Suara Allah” dalam bentuk aslinya? Atau apakah mereka mendengar suatu “suara” di dalam hatinya? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak bisa diketahui dan juga tidak penting bagi kita. Yang penting adalah ayat-ayat ini membuktikan ada sebuah dialog antara Allah dengan Nabi Adam (as.), Iblis, Nabi Musa (as.) dan Nabi Muhammad (s.a.w.).

Oleh karena mereka pernah berdialog langsung dengan Allah swt., maka sangat jelas bahwa mereka tidak percaya kepada Allah didasarkan keyakinan atau keimanan saja. Mereka percaya kepada Allah karena mereka telah mendapatkan bukti yang nyata bagi mereka (suara Allah) yang membuktikan bahwa Allah Yang Maha Esa memang ada dan bukan sebuah rekayasa atau khayalan orang lain.

Sebaliknya, kita, seperti si pembunuh tadi, tidak bisa melihat Allah dan tidak pula bisa berbicara dengan-Nya. Berarti kita, sama seperti si pembunuh, harus percaya kepada Allah swt. dan percaya pada ampunan Allah didasarkan keimanan dan bukan karena ada bukti nyata di depan mata kita bahwa Allah memang ada. Hal ini membuka kemungkinan dan kesempatan yang lebih besar bagi kita bahwa dosa-dosa kita akan diampuni. Nabi Adam (as.) dan Iblis hanya melakukan satu kesalahan masing-masing. Dan hukumannya sangat berat bagi mereka. Seorang pembunuh melakukan dosa besar berkali-kali dan dosanya diampuni. Berarti kalau seandinya kita melakukan banyak dosa, termasuk dosa-dosa besar, maka kita sangat bisa mengharapkan pengampunan dari Allah. Kenapa? Karena kita percaya kepada Allah tanpa bukti konkret bahwa Allah memang ada. Kita percaya disebabkan keimanan dan bukan karena pernah berdialog langsung dengan-Nya.

Bayangkan kalau kita bisa melihat Allah setiap hari. Sebagai contoh, pada setiap pagi kita bangun, kita buka jendela dan bisa langsung melihat Allah sedang duduk di atas sebuah kursi besar yang melayang di udara. Setiap orang pada saat memandang Allah merasa bahwa Mata Allah membidiknya. Ke mana saja kita pergi di dunia ini, Allah nampak dan terasa Mata Allah mengikuti semua jejak kita! Pada saat kita mau bertindak, kita mendengarkan Suara Allah yang menegur kita dan memberikan kita sebuah peringatan tentang hukum Allah. Setiap hari kita bisa melihat Allah di mana-mana dan mendengarkan suara-Nya.

Kalau keadaan kita seperti itu, maka kita akan berada dalam posisi yang sama dengan Nabi Adam (as.). Kita yakin bahwa Allah ada karena kita mendapatkan bukti nyata. Dan kalau kita hidup dalam keadaan seperti itu, maka wajar kalau peraturan keras yang digunakan untuk Nabi Adam (as.) dan Iblis berlaku bagi kita: sekali berbuat salah, kena hukuman berat! Atau seperti Iblis: sekali berbuat salah, lalu berdebat dengan Allah dan tidak mau bertaubat, maka kena hukuman yang paling berat – dikutuk sepanjang masa dan dijamin masuk neraka!

Apakah anda mau melihat Allah? Atau mendengarkan suara-Nya? Saya tidak mau. Waktu masih anak kecil saya ingin sekali melihat Tuhan sebagai bukti bahwa Tuhan adalah nyata. Tetapi sekarang, saya sudah tidak mau melihat Allah pada saat masih hidup di dunia ini. Kalau seandainya keinginan saya dari waktu kecil terwujud, maka saya sudah pernah melihat Allah (setelah dia menampakkan diri) dan saya sudah menjadi seorang manusia yang masuk kategori Nabi Adam (as.) dan Iblis – sekali berbuat salah, langsung kena hukuman berat. Sebagai seorang manusia biasa, saya memang melakukan dosa terus, dan dosa saya bertambah setiap saat, tanpa terasa. Berarti kalau saya masuk kategori Nabi Adam (as.) maka saya sudah pasti kena hukuman berat disebabkan dosa-dosa tersebut.

Hukuman untuk Nabi Adam (as.) sangat berat; Nabi diturunkan dari sorga. Hukuman apa yang setimpal untuk saya? Sulit dibayangkan hukuman yang bisa menimpa saya di dunia ini kalau Allah menghendaki langsung menghukum saya. Dan setelah melakukan sebuah dosa, belum tentu saya akan langsung bertaubat seperti halnya Nabi Adam (as.). Bisa jadi saya lebih mirip Iblis dan berusaha untuk berprotes dan membela diri terhadap Allah. Kalau memang itu yang terjadi, berarti ada risiko hukuman bagi saya lebih mirip hukumannya Iblis daripada hukumannya Nabi Adam (as.). Waduh!

Memang setiap hari, kita semua sibuk mengumpulkan dosa, tetapi berapa banyak dari kita yang bertaubat setiap hari? Sekali berbohong. Sekali mengingkari janji. Sekali mengambil sesuatu tanpa hak. Sekali memfitnah orang. Berapa banyak dosa yang terkumpul setiap hari secara tidak terasa? Maukah anda melihat Tuhan dengan imbalan kena hukuman berat setelah satu kali melakukan dosa? Saya tidak mau!

Kalau kita membandingkan kasus Nabi Adam (as.) dan Iblis dengan kasus si pembunuh 100 orang, maka menjadi jelas bahwa kita lebih mungkin mendapatkan ampunan dari Allah kalau kita belum pernah melihat-Nya dan belum pernah mendengarkan suara-Nya. Sepertinya, Allah lebih siap mengampuni orang yang hanya percaya kepada-Nya daripada orang yang yakin bahwa Allah benar-benar ada (karena pernah mendapatkan bukti nyata). Kalau ada seseorang yang pernah berbicara dengan Allah maka orang itu sudah mengetahui kebesaran dan keesaan Allah. Orang itu sudah tidak ada alasan lagi untuk tidak menuruti perintah Allah. Bagi kita yang belum pernah melihat Allah atau mendengarkan suara-Nya, masih diperbolehkan mengeluarkan alasan-alasan kita: saya lupa, saya sibuk, uang saya kurang, saya belum bisa, lagi hujan, besok saja, nanti malam dan seterusnya. Dan kita mendapatkan pengampunan yang tidak terbatas di sisi Tuhan kita: Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

53. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Surah Az Zumar, QS. 39:53)

Kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat Allah merupakan suatu nikmat dan rahmat besar bagi kita sebagai manusia biasa yang banyak berbuat dosa setiap hari. Sebab, kalau kita bisa melihat Allah, sangsinya akan sangat berat. Barangkali kesempatan kita untuk berbuat dosa hanya satu kali saja, dan setelah itu kita akan dihukum dengan hukuman yang terasa sangat berat bagi kita. Justru karena Allah sayangi kita, Dia tidak menampakkan diri kepada kita. Dan dengan demikian, dosa kita yang sungguh banyak bisa diampuni dengan lebih mudah.

Kunjungi :
1. Blog Mr. Gene Netto
2. Bab I, Saya

baca selengkapnya...

Saturday, July 21, 2007

Keunggulan Spiritualitas Orang Timur (?)

Uni Eropa (UE) menetapkan 6 Juli 2007 ini sebagai tanggal dimulainya pelarangan terbang di Eropa bagi 51 maskapai penerbangan Indonesia, hingga tiga bulan mendatang. Suatu pukulan telak bagi dunia penerbangan komersial kita. Sebagian besar masyarakat, tampaknya menganggap wajar dan memaklumi penetapan ini, dan sebagian kecil lainnya menganggap sebagai suatu keputusan politis yang tidak adil. (Ungkapan Pendapat di BBC)

Dari dahulu memang terbukti bahwa orang-orang Barat sangat peduli dengan segala macam prosedur, entah itu prosedur kerja, prosedur keselamatan kerja, dan lain-lain. Hingga akhirnya sertifikasi untuk beberapa standar prosedur pun dipercaya kesahihannya bila dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Barat. Kepedulian terhadap prosedur ini juga tercermin pada kedisiplinan mereka terhadap peraturan-peraturan. Antrian yang rapi, lalu lintas yang teratur, tingkat pelanggaran yang rendah, dan lain-lain.


Bandingkan dengan kepedulian orang-orang timur mengenai hal yang sama. Sering kita rasakan kurang jelasnya aturan-aturan. Kita sering melihat kekacauan kondisi angkutan kereta api di India atau Pakistan, tentunya di Indonesia juga. Bagaimana juga kesan-kesan 'negatif' jamaah haji Indonesia terhadap kondisi lalu lintas di Mekkah saat berhaji. Lalu, adakah hal itu semata-mata merupakan suatu kelemahan orang Timur, khususnya kaum Muslim ? Mungkin ya, dan ... mungkin juga tidak.

Telah jamak diketahui bahwa angin sekulerisme bertiup dari Barat. Bahkan akhir-akhir ini, imbas semangat sekuler ini membuat kepercayaan masyarakat Barat terhadap gereja semakin luntur saja. Mereka tidak begitu mengakui campur tangan Tuhan dalam beberapa segi kehidupan. Mereka justru memuja-muja akal pikiran dan kecerdasan manusia, sebagai hal yang menyebabkan manusia mampu mencapai peradaban yang maju seperti sekarang ini. Dan memang seperti itulah kenyataannya, kemajuan teknologi dan peradaban memang kebanyakan didasari oleh kecerdasan manusia dan kecintaan manusia terhadap dunia.

Karena mereka mengabaikan campur tangan Tuhan, maka mereka menganggap segala sesuatu yang didapat dalam kehidupannya, adalah murni akibat usahanya sendiri. Meyakini akan prinsip ini, maka mereka menjadi sangat peduli dengan apa yang namanya prosedur. Prosedur yang baik, aman, dan selamat, akan menghasilkan sesuatu yang baik, aman, dan selamat pula. Apabila terjadi sesuatu hasil yang buruk, harus ada seseorang yang dijadikan kambing hitam untuk dipersalahklan sebagai penyebab hasil buruk yang terjadi.

Bagaimana dengan orang Timur ? Mereka (atau kita ?) sangat meyakini adanya campur tangan Tuhan dalam setiap kejadian. Kita tidak harus menunjuk seseorang sebagai orang yang bersalah, yang menjadi penyebab terjadinya suatu kecelakaan. Kita meyakini bahwa sesuatu terjadi karena memang sudah tertulis dalam suratan takdir harus terjadi seperti itu. Sehingga kecelakaan-kecelakaan yang terjadi secara bertubi-tubi pun, dianggap sebagai sesuatu yang memang seharusnya terjadi.

Jadi, apakah kemudian berarti ketidakpedulian kita terhadap keselamatan angkutan dan penerbangan adalah bukti keunggulan spiritualitas kita dibanding orang Barat ? (Lho, kok jadi gini ya ..? ).

Ada sebuah hadits Nabi yang di Barat cukup terkenal. Mereka mengatakannya sebagai pepatah kuno dari Arab, yang kurang lebih berbunyi: Kamu boleh menyerahkan urusannya pada Tuhan, tapi tambatkan dulu untamu. Setidaknya saya sudah dua kali mendengar narator suatu film dokumenter Barat di televisi yang menyitir "kata bijak" itu. Pepatah tersebut sebenarnya berasal dari Hadits At-Tirmidzi. Seorang sahabat menemui Nabi Saw di masjid tanpa terlebih dahulu menambatkan untanya. Ketika Nabi Saw. menanyakan hal tersebut, dia menjawab, "Aku telah bertawakkal kepada Allah”. Nabi Saw. meluruskan kekeliruannya tentang arti tawakkal dengan bersabda: إعقلها ثم توكل "Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu), kemudian setelah itu bertawakkallah." (HR. At-Tirmidzy).

"Pepatah" atau hadits tersebut mengingatkan kembali akan posisi Al Islam yang selalu mengambil jalan tengah yang bijak, yaitu antara usaha dan tawakkal. Kita tidak boleh mengusahakan sesuatu dengan meninggalkan tawakkal kepada Allah, dan sebaliknya hanya semata-mata menyerahkan urusan kepada Allah tanpa berusaha keras.

baca selengkapnya...

Sunday, July 15, 2007

Hari Meluruskan Arah Kiblat

Senin, 16 Juli 2007, adalah hari di mana kita bisa mengkaliberasi arah kiblat di tempat kita masing-masing. Sore hari pada tanggal ini, matahari berada tepat di titik Zenit kota Mekkah pada pukul 09.27 GMT atau 12.27 Waktu Makkah (GMT+3) atau 16.27 WIB (GMT+7). Saat paling tepat untuk menentukan arah kiblat ke Ka'bah di Mekah.

Karena di negara kita peristiwanya terjadi pada sore hari maka arah bayangan tongkat adalah ke Timur, sedangkan arah bayangan sebaliknya yaitu yang ke arah Barat agak serong ke Utara merupakan arah kiblat yang benar. Cukup sederhana dan tidak memerlukan ketrampilan khusus serta perhitungan perhitungan rumus-rumus. Jika hari itu gagal karena matahari terhalang oleh mendung maka masih diberi roleransi penentuan dilakukan pada H+1 atau H+2.

Penentuan arah kiblat menggunakan teknik seperti ini memang hanya berlaku untuk daerah-daerah yang pada saat peristiwa Istiwa Utama dapat melihat secara langsung matahari dan untuk penentuan waktunya menggunakan konversi waktu terhadap Waktu Makkah. Sementara untuk daerah lain di mana saat itu matahari sudah terbenam misalnya wilayah Indonesia bagian Timur praktis tidak dapat menggunakan teknik ini. Sedangkan untuk sebagian wilayah Indonesia bagian Tengah barangkali masih dapat menggunakan teknik ini karena posisi matahari masih mungkin dapat terlihat. Namun demikian masih ada teknik lain yang juga menggunakan bayangan matahari untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat di seluruh permukaan bumi yang akan dibahas nanti pada artikel berikutnya.... di http://mutoha.blogspot.com

sumber : Jogja Astro Club

baca selengkapnya...

Mualaf Eropa Intro

Inilah posting pertama saya di www.youtube.com. Sebuah clip berdurasi 1 menitan yang diambil dari VCD produksi Forum Arimatea yang berjudul Eropa Menuju Islam. Berisi perkenalan singkat tiga orang mualaf Eropa. Cukup menarik ...

baca selengkapnya...

Saturday, July 7, 2007

PITI Jatim dan Moslemtionghoa.com

Saat surfing-surfing ringan, tau-tau saya sampai ke situs PITI Jatim dan moslemtionghoa.com. Waaah, tambah seru nih ukhuwah para Muslim Tionghoa. Selamat ya, soalnya beberapa bulan lalu, sangat jarang ditemukan situs-situs PITI dan muslim tionghoa. Kalaupun ada, info-infonya masih sangat minim. Semoga, untuk waktu-waktu mendatang, segera bermunculan situs-situs ukhuwah sejenis.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa kemunculan eksistensi organisasi-organisasi Islam adalah bagian dari proses terpecah belahnya kaum Muslim. Bisa jadi betul demikian, apabila organisasi-organisasi itu saling berbeda dalam masalah aliran dan ajarannya. Namun semestinya, organisasi-organisasi Islam itu berdiri karena alasan kemudahan cara untuk mengamalkan kebaikan, terutama dalam tataran kehidupan sosial. Sementara, ajaran tauhid dan ibadahnya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Inilah kalimat pertama yang muncul di situs Piti Jatim :
Selamat datang di website Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Jawa Timur. Semoga anda berkenan melihat-lihat seluruh isi website dan info-info dari PITI Jatim. Kami akan memberikan semua info dan keterangan yang anda butuhkan tentang sejarah dan budaya masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia beserta info kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.

Kunjungi :
1. PITI Jatim
2. moslemtionghoa.com

baca selengkapnya...

Sunday, July 1, 2007

Abdullah, Serdadu US Army yang memeluk Islam

Cahaya Hidayah di Perang Teluk…..

Ketika itu ia adalah seorang pemuda tamatan Sekolah Menengah. Berdinas aktif di US Army (Angkatan Darat Amerika Serikat) selama beberapa tahun, dimana ia memperoleh kesempatan belajar beberapa kemampuan teknis. Kini ia menghidupi diri dan keluarganya dengan menggeluti usaha jasa perbaikan mesin fotocopy dan mesin fax.

Sungguh menarik menyimak kisah awal mula Abdullah memeluk Islam. Namun jauh lebih menarik mengetahui bagaimana ia menyusuri proses Islamisasi diri. Ketika pecah Perang Teluk yang melibatkan Pasukan Amerika Serikat dengan Pasukan Irak, ia ditempatkan di Saudi Arabia.

Suatu hari ia sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar Saudi. Di sebuah toko, ia memilih barang, tawar menawar dengan penjaga toko, dan akhirnya sepakat atas harga yang harus dibayar untuk barang tersebut. Namun berkumdanglah Adzan panggilan shalat dari Masjid terdekat kala ia hendak membayar belanjaannya itu. “Cukup sudah!” kata penjaga toko itu kepadanya seraya menolak melakukan transaksi dagang apapun hingga selesai melaksanakan shalat. Toko pun ditutupnya dan ia bergegas pergi menuju Masjid.

Abdullah begitu terperanjat dan tak habis pikir dengan kejadian kecil ini. Mengapa si penjual tidak mau mengambil uang yang telah menjadi haknya dengan terjadinya kesepakatan harga diantara mereka. Tak sekalipun dalam kehidupan Abdullah menjumpai orang yang menolak uang. Pada umumnya, di dunia bisnis, semua orang memburu uang dengan berbagai cara. Orang macam apakah si penjual itu? Agama apa pulakah yang begitu utama di matanya? Abdullah begitu penasaran dan ingin mengenal lebih banyak tentang agama itu. Dibacanya berbagai buku tentang Islam, semakin hari semakin banyak buku yang dibacanya dan akhirnya ketika kembali pulang ke Amerika ia memutuskan untuk memeluk Islam. Di New York, ia mendapatkan banyak guru yang baik yang mengajarkan kepadanya dasar-dasar pendidikan Islam. Iapun memperoleh pengajaran membaca Kitab Suci Al-Qur’an. Ini menjadikan Abdullah seorang Muslim yang sangat ketat menjalani keIslaman-nya.

Saya baru mengenal Abdullah manakala ia pindah ke Detroit. Ia telah memutuskan untuk bermukim didekat Masjid Pusat Tauhid Detroit dan melaksanakan hampir dari seluruh shalat lima waktunya di Masjid ini. Pada waktu itu saya bekerja sukarela menjalankan kegiatan humas Masjid. Menjalankan hubungan kemasyarakatan sebuah organisasi Islam bisa menjadi tantangan tersendiri. Banyak kejadian antara akhi Abdullah dengan saya, yang cukup menimbulkan masalah sementara diantara kami berdua. Kami sama-sama tulus dengan cara kami masing-masing. Permasalahan diantara kamipun sirna tanpa bekas ditelan waktu. Bagaimanapun juga kejadian ini merupakan ujian kesabaran dalam berbeda pendapat dengan seseorang yang bisa saling berjumpa beberapa kali dalam sehari berkenaan dengan kegiatan Masjid.

Suatu hari, saya meminta akhi Abdullah mengumandangkan adzan. Ia katakan bahwa itu akan dilakukannya diluar Masjid di tepi jalan raya. Saya katakan padanya bahwa kami telah melalui prosedur pendaftaran ke Pemerintah Kota Detroit dan Dinas Pemadaman Kebakaran setempat diawal pendirian Masjid. Dewan Kota telah mengadakan pengumpulan pendapat umum sebelum akhirnya mereka mengijinkan kami membangun Masjid. Namun ia tidak merasa perlu mendengar nasehat saya. Maka sayapun menegaskan dengan gamblang bahwa kalau itu tetap dilakukannya, maka saya harus berhadapan dengan masyarakat umum, Kejaksaan, Komisi Tata Ruang, dan juga Departemen Perencanaan Kota. Saya katakan dengan tegas kepadanya, “Anda hanya datang, shalat dan pergi meninggalkan Masjid. Tak pernahkah terbayangkan dalam pikiran anda bagaimana sulitnya pengalaman kami berhadapan dengan mereka di Balai Kota. Berbuat bijaklah dan berhati-hati dalam menjalankan keIslaman kita. Jangan sampai kita membuat lingkungan tetangga kita Non-Muslim merasa terganggu dan tergerak untuk mengajukan keberatan? Lagi pula, seyogyanya kita pusatkan perhatian kita pada menghidupkan Iman saudara-saudara Muslim kita daripada membuat masalah dengan para tetangga Non-Muslim di lingkungan kita ini.” Tetap saja nasehat saya ini tak dihiraukannya sama sekali. Ia tetap menolak mengumandangkan adzan dari dalam Masjid. Maka saya pun; seraya berdoa:”Wahai Allah maafkanlah hambamu ini”; terpaksa meminta orang lain untuk mengumandangkan Adzan.

Secara kebetulan saya mengetahui bahwa hanya ada satu Masjid di Amerika Utara yang memiliki ijin meletakkan pengeras suara diluar Masjid. Keputusan yang diambil oleh pengadilan Dearborn, Michigan menguntungkan kaum Muslim karena hampir semua anggota masyarakat di likungan itu beragama Islam.

Pernah juga akhi Abdullah meminta saya memberikan kunci Masjid kepadanya. Saya jelaskan bahwa Masjid hanya dibuka pada waktu-waktu shalat dan untuk keperluan asuransi telah dilakukan pembatasan kebebasan masuk Masjid.

Beberapa minggu kemudian, ia meminta ijin kepada saya agar tamunya diperbolehkan tidur di Masjid pada malam hari. Tetapi saya tidak meluluskan permintaannya. Saya bertanya kepadanya, “Mengapa anda tidak menyediakan tamu anda tempat bermalam di rumah anda?” Iapun mejawab, “Karena saya telah beristri.” Saya pun menawarkan kepadanya, “Kalau begitu, biarkan tamu anda bermalam di rumah saya.” Iapun balik bertanya, “Bukankah andapun beristri?” Saya katakan kepadanya, “Benar, tetapi akan saya usahakan untuk mencarikan ruangan untuknya di rumah saya, atau saya akan carikan hotel untuknya dan saya yang akan membayar biayanya.” Akhi Abdullah pun pergi begitu saja dengan membawa amarahnya. Ia hanya mau melakukan sesuai dengan cara yang diinginkannya. Ia pun menyatakan keberatannya atas perlakuan saya itu kepada saudara-saudara Muslim yang lain. Walaupun ia begitu kecewa, ia tetap pada komitmennya untuk shalat berjama’ah di Masjid.

Akhi Abdullah telah menghafal cukup banyak Surah dari Al-Qur’an, pelafalannya pun sangat memesona dan tepat. Saya memintanya menjadi Imam shalat Isya’ setiap hari. Semakin banyak Surah yang ia hafal dari hari ke hari. Ia pun amat menyukai Surah yang baru ia hafal dan cenderung untuk ia bacakan ketika menjadi Imam Shalat. Namun selalu saja ada kekeliruan dalam pembacaan surah yang baru dihafalnya. Tentu saja ini menimbulkan perasaan kurang nyaman bagi saudara-saudara Muslim lainnya yang menjadi ma’mum.

Saya keluhkan hal itu kepadanya, saya sarankan agar didalam shalat ia hanya membaca surah-surah yang ia kuasai hafalannya dan saya juga minta agar sehari sebelumnya ia bacakan dulu di hadapan saya surah yang akan ia bacakan didalam shalat. Akhi Abdullah suka dengan saran saya ini. Maka ia menjadi lebih baik dan telah memahami sudut pandang saya. Kesalahan-kesalahan bacaannya pun telah hilang seluruhnya dan kerjasama yang didukung sikap untuk saling menolong ini telah menjadi jalan untuk mempererat kembali persaudaraan diantara kami.

Pernah juga kami (jama’ah masjid) ada masalah lain dengan akhi Abdullah. Ia pernah terbiasa membacakan surah yang panjang dan dilanjutkan dengan surah Al-Ikhlas didalam setiap raka’at, sehingga shalat berlangsung lama. Kadangkala, shalat isya yang ia pimpin bisa berlangsung sampai duapuluh menit. Banyak peserta shalat berjama’ah yang tidak siap menjalani dan memiliki kesabaran cukup dalam hal demikian ini. Saya ungkapkan perasaan para jama’ah ini kepadanya. Iapun menjawab bahwa ia menyukai cara yang ia lakukan itu, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh salah satu sahabat Rasulullah SAW yang selalu menyambung pembacaan surah didalam shalatnya dengan surah Al-Ikhlas setiap kali mengerjakan shalat. Saya katakan kepada akhi Abdullah, “Sepanjang pengetahuan saya, surah Al-Ikhlas hanya disambungkan dengan pembacaan surat lain didalam raka’at ke-dua.” Kembali ia menjawab, “ Saya baca sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa itu dilakukan di kedua raka’at.” Maka tak seorangpun dapat mencegahnya membaca sebuah surah panjang diikuti dengan pembacaan Surah Al-Ikhlas di setiap raka’at.

Suatu hari saya melihatnya sedang membaringkan badannya disisi kanan dan ditopangnya kepalanya dengan lengan kanannya menjelang shalat Subuh berjama’ah. Saya pun menjadi khawatir dan menghampirinya, saya tanyakan kepadanya adakah terjadi sesuatu pada dirinya. Ia katakan bahwa ia baik-baik saja dan ia menjelaskan bahwa ia melakukan apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk beristirahat sejenak dengan posisi tubuh sebagaimana ia sedang lakukan. Akhi Abdullah selalu ingin mencoba melakukan apapun yang ia baca dari Al-Qur’an dan Al-Hadits tanpa sedikitpun merasa canggung ataupun malu.

Kehidupan rumah-tangganya pun amat mengesankan. Istrinya dan banyak saudara-saudaranya yang masuk Islam melalui usahanya yang gigih mendakwahkan Islam kepada mereka. Ia dikarunia Allah SWT banyak anak. Semua anaknya sangat bagus dalam membaca al-Qur’an. Anak lelakinya yang tertua, waktu itu berumur tujuh tahun, telah hafal sebagian Al-Qur’an atas bimbingan sang Ayah. Bersama-sama sang Ayah pula si anak secara teratur hadir untuk shalat bejama’ah di Masjid, bahkan juga untuk shalat Subuh. Saya belum pernah tahu, adakah ayah-ayah yang lain yang dengan senang hati membawa anak lelaki mereka yang baru berusia tujuh tahun untuk berjama’ah shalat subuh di Masjid, walaupun cuaca begitu dinginnya, lagi bersalju ataupun sedang hujan. Seusai shalat Subuh, akhi Abdullah biasanya mengajarkan Al-Qur’an kepada anak lelakinya itu di Masjid. Maka, jadilah anak lelakinya itu istimewa dalam hal pengetahuan dan pengamalan Islamnya, begitupun perilakunya sungguh menawan. Pembacaan Al-Qur’annya pun seindah sang Ayah. Adabnya bagaikan seorang pria dewasa berusia tigapuluh tahun. Semoga kelak, ia bisa menjadi Imam Masjid yang baik.

Seiring berjalannya waktu, akhi Abdullah tidak hanya memegang kunci Masjid, iapun bertanggung-jawab atas pelaksanaan shalat berjama’ah di Masjid. Terpikirkan pula oleh saya, bahwa ia pun telah siap untuk memberikan khutbah Jum’at. Meskipun awalnya sedikit enggan, iapun bersedia untuk berkhutbah sekali saja. Itupun telah dikerjakannya dengan amat sangat baik. Oleh karena itu iapun selanjutnya ditugasi untuk setiap bulannya satu khutbah Jum’at di Pusat Tauhid Detroit dan satu Jum’at di Pusat Tauhid Farmington Hills, Michigan. Ia laksanakan tugas sukarela ini dengan begitu baik.

Tanpa maksud membesar-besarkan, banyak jama’ah yang datang untuk memintanya menjadi Khatib Tetap di kedua Masjid itu. Mereka juga suka mendengarkan pembacaan Al-Qur’an olehnya. Jujur saja, kamipun bisa mengumpulkan infaq-shadaqah lebih banyak di masing-masing masjid itu manakala akhi Abdullah memimpin Shalat Jum’at.

Suatu hari diwaktu Subuh, manakala shalat Subuh berjama’ah telah usai dan semua jama’ah telah pulang ke rumah masing-masing, akhi Abdullah datang ke Masjid Pusat Tauhid Detroit bersama seorang akhi Muslim setempat. Saya sedang membaca kitab suci Al-Qur’an ketika mereka memasuki masjid. Mereka pun menunaikan shalat Subuh. Setelahnya, saya menyambut kehadiran mereka berdua yang baru saja pulang dari menunaikan ibadah Haji. Saya mendesak mereka agar berkenan singgah ke rumah saya untuk sarapan pagi. Akhi Abdullah menolak ajakan saya, ia katakan bahwa ia belum pulang ke rumah dan langsung menuju masjid. Ini ia lakukan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW yang selalu mendahulukan singgah di Masjid sepulang beliau dari sebuah perjalanan, sebelum pulang ke rumah untuk menjumpai keluarga beliau. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, seberapa banyakkah orang-orang yang terlahir dari keluarga Muslim yang mengamalkan sunnah Rasulullah SAW ini?

Kini, akhi Abdullah suka menertawakan dirinya dimasa lalu yang begitu kaku perilakunya. Ia sekarang telah bisa menerima beraneka-ragam pengamalan ajaran Islam. Iapun sudah mulai bersedia mengumandangkan adzan dari dalam Masjid.

Setelah akhi Abdullah berkesempatan menyampaikan khutbah Jum’atnya yang pertama, seusai shalat saya memperkenalkannya kepada para jama’ah, saya ceritakan bagaimana kisahnya memeluk Islam dan betapa bangga putranya ikut sang Ayah melaksanakan shalat Subuh di Masjid setiap hari. Begitu selesai perkenalan itu saya sampaikan nampak betapa akhi Abdullah begitu ingin mengetahui tangapan saya mengenai khubtbah yang dibawakannya. Saya katakan kepadanya bahwa khutbahnya baik sekali, iapun menyelesaikan dengan tepat waktu, sementara sering terjadi banyak khatib yang sulit untuk mengakhiri khutbahnya. Ia pun pergi tanpa berkomentar lagi. Setelah shalat Isya’ akhi Hani ingin berbicara dengan saya. Ia berkata, “Akhi Abdullah merasa tersinggung, ia menganggap bahwa memujinya didepan umum sama halnya; sebagaimana yang diriwayatkan sebuah hadits; memotong urat lehernya.” Saya menanggapinya, “Hendaknya anda merujuk juga hadits yang lain, bahwa kitapun dianjurkan untuk menghormati secara patut dan menyampaikan penghargaan kepada siapapun yang pantas menerimanya.” Nabi Syuaib AS juga menekankan agar umatnya tidak kikir memberikan penghargaan yang patut diberikan. Hal ini juga tercantum dalam berbagai ayat didalam Al-Qur’an. Banyak orang yang hanya dengan memperhatikan sebuah hadits langsung menarik kesimpulan sendiri. Alhamdulillah saya tidak melebih-lebihkan apapun dalam memperkenalkan dirinya. Terlebih lagi, jama’ah perlu mengenal segala sesuatu mengenai Khatib yang baru. Saya sampaikan pendapat saya ini kepada akhi Abdullah pada keesokan harinya. Iapun merasa puas dengan penjelasan saya.

Sebulan setelah kejadian itu, sekali lagi saya memperkenalkannya kepada para jama’ah setelah kedua-kalinya ia menyampaikan khutbah Jum’at. Saya berkata, “Saya bukannya memuji akhi Abdullah, tetapi saya rasa, saya perlu berlaku adil dalam menyampaikan fakta dan mutu sebenarnya dari khatib kita yang baru.” Setelah memperkenalkannya , saya pun menambahkan bahwa tugas dan tanggung-jawab dijalankan bersama-sama.

Kini akhi Abdullah dan akhi Hani memikul tanggung-jawab atas Masjid manakala saya berhalangan hadir ke Masjid. Mereka berdua menjalankan tugas dan tanggung-jawab mereka dengan baik sekali.

Akhi Abdullah mengikuti kelas bahasa Arab pada sebuah perguruan lokal, pengajarnya adalah Dr. Syeikh Ali Suleiman. Maka kini iapun telah mampu berbahasa Arab dengan baik, memahami beberapa tata-bahasanya. Ia pun terus membaca dan menghafal surah-surah Al-Qur’an. Iapun belajar Hadits, memimpin Shalat Jum’at, dan juga membimbing banyak orang yang belum beriman kepada cahaya Islam. Seorang tamatan sekolah menengah dengan ketulusan dan komitmennya telah berhasil mengerjakan hal-hal besar ini, juga memperkenalkan dan mendakwahkan Al-Islam ditengah-tengah masyarakat dari berbagai macam keyakinan. Itulah Akhi Abdullah, salah seorang produk sampingan dari Perang Teluk. Masih banyak lagi serdadu-serdadu lain yang menjadi pemeluk Islam setelah berkunjung ke Saudi Arabia.

Disalin dari : www.imtiazahmad.com

baca selengkapnya...