Boedi Oetomo vs Islam
Disalin dari buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia, yang ditulis oleh Herry Nurdi, diterbitkan oleh Cakrawala Publishing, 2005.
Hubungan antara pribumi, terutama kalangan keraton yang sangat renggang pada periode ini dengan Belanda, dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi anggota Vrijmetselarij (Ing : freemasonry, An). Terutama memanfaatkan Boedi Oetomo yang dijejali dengan doktrin Indonesia Baru yang mereka sampaikan.
Antara Vrijmetselarij dan Boedi Oetomo terjalin hubungan yang sangat kuat dan akrab. Ini kelak mempengaruhi sikap Boedi Oetomo, terutama dalam sikap keberagaman mereka. Misalnya saja brosur terbitan Boedi Oetomo yang bernama Djawa Hisworo, yang selalu menyerukan caci maki kepada Rasulullah dan ajaran Islam. Jika kini Boedi Oetomo malah dikenal sebagai pencetus nasionalisme, sejujurnya, Boedi Oetomo sangat menentang nasionalisme. Boedi Oetomo malah tidak menghendaki nasionalisme dan menghadirkan gerakan kejawen yang anti gerakan Islam sebagai gantinya.
Bahkan pernah tercatat pula, mayoritas Boedi Oetomo menolak usulan K.H. Ahmad Dahlan yang meminta agar diadakan pengajian keislaman dalam tubuh Boedi Oetomo. Padahal kala itu, K.H. Ahmad Dahlan juga salah satu anggota Boedi Oetomo yang terbilang senior. Tapi syukurnya, penolakan tersebut berbuah berkah. Karena dari penolakan tersebutlah K.H. Ahmad Dahlan memutuskan untuk menarik diri dari Boedi Oetomo dan pelan tapi pasti mulai merintis Muhammadiyah pada tahun 1912.
Tahun-tahun itu, terutama dengan motor Boedi Oetomo, memang muncul sentimen anti Islam dan menganggap Islam kontra atas perjuangan kebangsaan. Bahkan, pada kongresnya di tahun 1925, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan. Hal serupa juga terjadi dalam Jong Java yang menolak memasukkan pelajaran agama Islam sebagai salah satu kegiatan untuk anggota organisasi yang beragama Islam pada kongresnya tahun 1924. Padahal, unsur-unsur agama lain seperti Katolik, Protestan terlebih lagi theosofi telah dan diperbolehkan mengadakan kegiatan keagamaan di dalam Jong Java. Usulan tersebut diajukan oleh Sjamsuridjal, salah seorang anggota Jong Java.
Suara setuju dan tidak setuju dalam Jong Java tentang kegiatan keislaman dalam kongres tersebut sama banyak jumlahnya. Bahkan ketika diadakan pemungutan suara yang kedua, jumlah tetap sama banyak. Namun kelompok yang menolak Islam bersikukuh dengan alasan akan menimbulkan permusuhan saja dalam organisasi.
Akhirnya Sjamsuridjal mengendurkan suara. Haji Agus Salim yang hadir dalam kongres tersebut, di akhir acara menemui Sjamsuridjal dan kawan-kawan. H. Agus Salim memberikan semangat agar pemuda-pemuda Muslim tersebut tidak patah arang. Kelak pertemuan antara H. Agus Salim dan Sjamsuridjal yang berakhir di dalah satu perempatan jalan di Jogjakarta itu melahirkan gerakan besar lainnya, Jong Islamieten Bond atau Persatuan Pemuda Islam.
Sikap-sikap negatif pada Islam juga ditunjukkan oleh person-person anggota Boedi Oetomo, salah satunya adalah Dr. Soetomo yang kerap kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menghina Islam, seperti tidak perlu berhaji karena hanya akan membuang-buang uang saja. Kelak Soetomo keluar dari Boedi Oetomo dan mendirikan sendiri sebuah organisasi dengan nama Surabaya Studie Club. Di dalam Studie Club inilah ia pernah berdebat seru dengan anggota Sarekat Islam, tentang banyak hal. Mulai dari agama sampai sikap kebangsaan orang-orang Muslim.
Sikap-sikap seperti ini bukan semata-mata Boedi Oetomo membatasi diri dari sikap sektarian yang bersifat agama. Tapi sikap seperti ini terbentuk, besar kemungkinan karena persentuhan Boedi Oetomo dengan Vrijmetselarij yang memang memiliki doktrin anti agama, sekuler dengan selubung pluralisme dan theosofi.