Photobucket

Tuesday, February 27, 2007

Mencari Makna di Balik Dunia Tak Bermakna

Tulisan berikut ini merupakan kisah ke-dua dari empat belas kisah mualaf Amerika, yang disalin ke dalam blog amanah ini. Diambil dari buku Bulan Sabit di Atas patung Liberty, terbitan Mizania, Januari 2007.

Kisah dari Nuh Ha Mim Keller

Lahir pada 1954 di daerah pertanian di sebelah barat laut Amerika Serikat, aku dibesarkan dalam sebuah keluarga religius sebagai penganut Katolik Roma. Sejak kecil, gereja memberikan alam spiritual yang tak terbantah, yang lebih riil daripada alam fisik yang berada di sekelilingku. Akan tetapi, aku tumbuh dewasa, hubunganku dengan agama itu serta-merta menimbulkan persoalan, dalam akidah maupun amal.

Salah satu penyebabnya adalah sering terjadinya perubahan dalam liturgi dan ritual Katolik terutama sejak Konsisi Vatikan II pada 1963 yang menimbulkan prasangka kaum awam bahwa gereja tak memiliki pedoman yang baku. Bagi kalangan dalam, hal itu menunjukkan kelenturan dan relevansi liturgikal, tetapi bagi kalangan kaum Katolik awam, mereka seakan meraba dalam gelap. Tuhan tidak berubah, demikian pula kebutuhan jiwa manusia, dan tak ada wahyu baru dari langit. Akan tetapi, kitalah yang berada dalam perubahan, minggu demi minggu, tahun ke tahun, dengan menambah, mengurangi, mengubah Alkitab dari bahasa Latin ke bahasa Inggris, akhirnya membawa-bawa gitar dan musik rakyat. Para pendeta hanya menjelaskan ketika kaum awam menggelengkan kepala mereka. Pencarian terhadap relevansi membuat sebagian orang menjadi yakin bahwa pada mulanya Alkitab yang asli tak sebanyak yang sekarang.

Alasan kedua adalah sejumlah persoalan doktrinal, misalnya doktrin Trinitas, yang tak seorangpun di dalam sejarah dunia, baik pendeta maupun kaum awam, mampu memberikan penjelasan yang meyakinkan. Persoalan itu dianggap terselesaikan dengan sendirinya (setidaknya bagi pikiran kaum awam) oleh semacam komite ketuhanan komite, yang berbagi kekuasaan antara Tuhan Bapa, penguasa dunia dari langit; anak-Nya Yesus Kristus, penyelamat umat manusia di bumi; dan Roh Kudus yang digambarkan sebagai seekor merpati putih dan muncul dengan peran kecil. Aku pernah ingin menjalin persahabatan hanya dengan salah satu dari ketiganya, agar dia dapat menangani urusanku dengan yang lain, dan demi tujuan itu, aku terkadang dengan tekun berdoa kepada yang satu ini, dan terkadang kepaa yang itu; tetapi dua lainnya selalu saja susah dihilangkan.

Akhirnya, kuputuskan bahwa Tuhan Bapa menjadi wakil atas dua lainnya, dan ini menimbulkan persoalan yang sangat besar di jalan agama Katolikku – ketuhanan Yesus, Di samping itu, perenunganku menyimpulkan bahwa sifat manusia sangatlah berbeda dengan sifat Tuhan dalam segala hal : manusia bersifat terbatas, Tuhan bersifat mutlak dan tak terbatas. Bahwa Yesus adalah Tuhan, merupakan sesuatu yang tak dapat kuingat apakah aku pernah sungguh-sungguh meyakininya atau tidak, baik pada masa kecilku atau sesudahnya.

Hal yang meragukan lainnya adalah gereja menjual “saham” dan “obligasi” pada hari kiamat yang disebut sebagai “penyertaan modal”. Lakukan ini dan itu dan selama bertahun-tahun niscaya hukuman Anda di neraka akan dihapuskan. Jelas sekali ini kemudian dianggap sesat oleh Martin Luther pada awal era Reformasi.

Berupaya Membaca Injil
Aku juga ingat pernah memiliki keinginan untuk membaca kitab suci dalam bentuk buku yang dapat memberikan petunjuk. Aku memperoleh Injil pada Hari Natal, edisi luks, tetapi saat membacanya, aku pun tahu bahwa ia bertele-tele dan tak memiliki susunan koheren sehingga menyulitkan orang yang ingin menjadikannya sebagai pedoman hidup. Baru kemudian aku benar-benar tahu bagaimana orang-orang Kristen mengatasi kesulitan ini dalam praktik – kaum Protestan dengan menciptakan berbagai teologi, menekankan teks sekte mereka sendiri dan mengabaikan yang lain; kaum Katolik dengan mengabaikan semuanya, kecuali bagian kecil yang disebutkan dalam liturgi mereka. Tampak ada sesuatu yang hilang dalam sebuah kitab suci hingga tak dapat dibaca secara utuh dan integral.

Di samping itu, ketika aku masuk ke universitas, aku tahu bahwa keaslian kitab suci itu, khususnyan Perjanjian Baru, benar-benar meragukan dan merupakan produk kajian hermenetik modern kaum Kristen sendiri. Untuk memahami teologi kontemporer, kubaca terjemahan Norman Perrin atas The Problem of the Historical Jesus, karya Joachim Jeremias, salah seorang ahli Perjanjian Baru ternama abad ini. Dia kritikus teks yang ahli bahasa asli Injil dan telah melakukan penelitian bertahun-tahun atas teks tersebut. Jeremias akhirnya setuju denga teolog Jerman, Rudolph Bultmann, bahwa menulis biografi Yesus adalah mimpi yang mustahil dilakukan. Artinya, kehidupan Kristus yang sebenarnya tak mungkin direkonstruksi dari Perjanjian aru secara meyakinkan. Jika hal ini diakui sendiri oleh penganut Kristen dan salah seorang ahli tekstualnya yang ternama, lalu apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuhnya ?

Yang kini tersisa pada Injil hanyalah pengakuan bahwa ia merupakan catatan kebenaran yang bercampur-baur dengan fiksi, rekaan yang dinisbahkan kepada Kristus oleh para pengikutnya, yang dengan sendirinya saling bertentangan satu sama lain, misalnya siapakah Yesus sebenanya, dan apa yang diajarkannya ? Jika para teolog seperti Jeremian dapat memastikan diri mereka sendiri bahwa di bawah bayang-bayang adanya bagian-bagian yang ditambahkan pada Perjanjian Baru, ada sesuatu yang disebut Yesus historis dan risalahnya, bagaimana orang awam dapat menemukannya ataumengetahuinya, dan bagaimana hal itu dapat ditemukan ?

Mencari Filsafat
Aku belajar filsafat di universitas, dan filsafat mengajarkan untuk menanyakan dua hal terhadap siapa pun yang mengklaim memiliki kebenaran – Apa yang Anda maksudkan ? Dan Bagaimana Anda tahu ? Ketika aku mengajukan kedua pertanyaan tersebut terhadap tradisi agamaku, tak kutemukan jawaban dan aku pun sadar bahwa agama Kristen telah terlepas dari tanganku. Aku pun kemudian mulai melakukan pencarian yang mungkin tidak populer bagi kebanyakan anak muda di Barat – yakni mencari makna di balik dunia tak bermakna.

… lompat…

Enggan Menghormati Al-Quran
Pada masa inilah kubaca terjemahan awal Al-Quran yang denganenggan kuhormati (dengan cadangan sikap agnostic) kemurniannya, yang ia menyajikan konsep-konsep fundamental tersebut. Bahkan jika ada kesalahan di sana (menurutku saat itu), maka hal itu tidak mungkin ada ekspresi agama yang lebih penting daripada Islam. Sebagai sebuah karya biasa, terjemahan itu (kemungkinnan karya Sales) tak terlalu menggugah dan bertentangan dengan spirit Al-Quran itu sendiri, sementara aku tahu kitab aslinya yang berbahasa Arab telah diakui keindahan dan kefasihannya di antara berbagai kitab agama manusia. Aku bertekad belajar bahasa Arab untuk membaca aslinya.

…lompat… (Pindah ke Univ. Chicago, Ikut berlayar ke Alaska, Bercerita tentang Filsafat)

Belajar Bahasa Arab di Kairo
Aku mulai belajar bahasa Arab di Chicago, dan setelah mempelajari tata bahasa selama satu tahun dengan nilai yang baik, kuputuskan untuk menutupi kekuranganku dengan mempelajari langsung bahasa itu selama satu tahun di Kairo. Selain itu, hasrat untuk merasakan ufuk baru telah menarikku, dan sesudah musim melaut yang ketiga, aku pergi ke Timur Tengah.

Di Mesir, kutemukan sesuatu yang menurutku benar-benar membawaku kepada Islam, yakni tanda monoteisme murni pada para penganutnya, yang jauh lebih mengejutkanku daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya. Aku bertemu dengan banyak Muslim di Mesir, yang baik dan yang buruk. Tetapi sedikit atau banyak, mereka semua dipengaruhi oleh ajaran Kitab Suci dan hal semacam ini belum pernah kusaksikan di manapun. Kira-kira lima belas tahun telah berlalu sejak itu, dan aku tak dapat mengingat semuanya, atau bahkan sebagian besar darinya, tetapi mungkin beberapa yang dapat kuingat akan menjelaskan kesan yang ditimbulkannya.

Kenangan tentang Kaum Muslim
Suatu ketika, ada seorang pria di pinggir Sungai Nil di dekat taman Muqyas, tempat yang biasa kulewati. Aku mendekati orang itu dan dia tengah bersembahyang di atas sehelai kardus, dengan wajah menghadap ke seberang air. Aku akan lewat di depan orang itu, tetapi tiba-tiba kuurungkan dan aku pun memutar berjalan di belakangnya, karena tak ingin mengusiknya. Ketika menyaksikan hal itu beberapa saat sebelum meneruskan langkahku, aku menyaksikan seorang manusia larut dalam hubungannya dengan Tuhan, tak memperhatikan kehadiranku, apalagi pendapatku mengenai dirinya atau agamanya. Menurut pikiranku, ada sesuatu yang sulit dilepaskan dari hal itu, yang sekaligus asing pula bagi orang yang berasal dari Barat : bersembahyang di depan umum jelas merupakan satu-satunya hal yang masih dianggap tabu.

Ada seorang siswa SLTP yang mengucapkan salam kepadaku di dekat Khan Al-Khalili. Karena aku agak pandai berbahasa Arab dan dia agak pandai berbahasa Inggris serta karena dia ingin bercerita kepadaku tentang agama Islam, dia pun berjalan bersamaku beberapa kilometer jauhnya melewati kota kecil ke Giza. Dia menjelaskan semampunya. Ketika kami berpisah, kurasa dia mengucapkan doa agar aku menjadi Muslim.

Aku punya seorang teman dari Yaman yang tinggal di Kairo. Atas permintaanku, dia dating membawakan Al-Quran untuk membantuku belajar bahasa Arab. Aku tak memiliki meja. Yang ada hanya kursi untuk membaca di kamar hotelku dan sudah menjadi kebiasaanku meletakkan buku-buku di atas lantai. Ketika kuletakkan Al-Quran di dekat buku-buku lainnya, dia dengan tenang membungkuk dan mengangkatnya, karena memuliakannya. Ini membuatku terkesan sebab kutahu dia kurang taat menjalankan agama, tetapi tetap terlihat pengaruh Islam terhadap dirinya.

Aku pernah bertemu dengan seorang perempuan ketika berjalan di sebelah sepeda pada sebuah jalan tanah di arah berlawanan dengan Sungai Nil dari Luxor. Keadaan tubuhku berdebu dengan pakaian agak kusut. Dia seorang perempuan tua yang mengenakan pakaian hitam yang menutupi tubuhnya dari kepala hingga ke ujung kaki. Dia menyusulku, dan tanpa mengucapkan sepatah kata atau melihat ke arahku, dia secara amat tiba-tiba menjejalkan uang logam ke tanganku. Karena aku sangat terkejut, uang logam itu pun jatuh dari tanganku. Ketika aku memungutnya, dia telah bergegas pergi. Karena dia mengira aku orang miskin, meski jelas non-Muslim, dia memberiku uang tanpa pamrih – yang ada hanya antara dia dan Tuhannya. Perilaku ini membuatku sering berpikir tentang agama Islam, karena tak ada yang mendorongnya untuk berbuat demikian kecuali Islam.

Banyak hal lain yang kualami selama berbulan-bulan aku tinggal di Mesir untuk belajar bahasa Arab. Aku selalu berpikir bahwa seorang manusia haruslah beragama, dan aku lebih terkesan pada pebfaruh agama Islam terhadap kehidupan kaum Muslim, mulianya tujuan dan lapangnya jiwa, daripada pengaruh agama lain atau bahkan pengaruh ateisme terhadap para pengikutnya. Kaum Muslim tampaknya berbuat lebih banyak daripada kita.

Sebenarnya aga Kristen memiliki hal-hal yang baik, tetapi agaknya hal itu telah bercampur dengan kepalsuan dan aku menjadi semakin tertarik kepada Islam karena ekspresinya yang lebih utuh dan lebih sempurna. Pertanyaan pertama yang pernah kita hafal sejak awal katekismus kita adalah, ”Mengapa engkau diciptakan ?” Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut adalah, “Untuk mengenal, mencintai, dan mengabdi kepada Tuhan.” Ketika kurenungkan hal itu disekelilingku, kusadari bahwa Islam menyempurnakan jalan yang paling komprehensif dan mudah dipahami untuk mengamalkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi Muslim
Ketika seorang teman di Kairo bertanya kepadaku, “Mengapa engkau tidak menjadi seorang Muslim ?” kusadari bahwa Allah SWT telah menciptakan di dalam diriku tekad untuk menjadi bagian dari agama ini. Islam benar-benar memperkaya para pengikutnya, dari hati yang paling sederhana hingga kaum intelektual yang paling cerdas. Seseorang menjadi Muslim bukanlah melalui tindakan pikiran atau kehendak, melainkan semata-mata melalui kasih sayang Allah, dan pada akhirnya, inilah yang telah mengantarkanku kepada agama Islam di Kairo pada 1977.

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. (QS Al-Hadid : 16-17)

Islam Kontemporer
Menurutku, nasib buruk politik Islam dewasa ini bukanlah sebuah kehinaan agama Islam, atau menempatkannya pada sebuah kedudukan rendah dalam tatanan alamiah berbagai ideology dunia. Aku memandangnya sebagai fase rendah dalam perputaran sejarah yang lebih luas. Hegemoni asing terhadap Negara-negara Islam telah pernah terjadi sebelumnya di dalam haru biru kehancuran peradaban Islam pada abad ketiga belas akibat serbuan bangsa Mongol, yang menjarah kota-kota dan mendirikan piramida kepala manusia dari gurun Asia Tengah hingga ke jantung negeri-negeri Islam. Sesudah itu, takdir telah mendorong kaum Turki Usmani untuk membangkitkan firman Allah SWT dan membuatnya menjadi realitas politik yang menggetarkan hati yang berlangsung selama berabad-abad. Menurutku, inilah saatnya mendorong kaum Muslim kontemporer untuk berjuang demi sejarah baru kristalisasi Islam, sesuatu yang mungkin didambakan umat manusia.

baca selengkapnya...

Friday, February 23, 2007

Islam Benar-benar Mengubahku

Ini adalah salah satu di antara empat belas pengalaman mualaf Amerika, yang dikisahkan di dalam buku Bulan Sabit di Atas Patung Liberty, terbitan mizania, 2007.

Segalanya Tidak Ideal
Namaku Diana Beatty; sebagian orang memanggilku Masooma Amtullah, tetapi kebanyakannya tidak. Usiaku mendekati 23 tahun dan aku baru memeluk agama Islam kira-kira tiga tahun silam. Aku mahasiswa jurusan fisika dan ingin menjadi guru. Aku berasal dari Colorado, Amerika Serikat. Ayah dan saudara-saudaraku ahli listrik. Aku hanya memiliki seorang saudara kandung laki-laki, yang berusia 27 tahun, telah menikah dan mempunyai dua orang anak. Dia tinggal dua rumah jauhnya dari rumah orang tuaku. Ibuku seorang sekretaris bidang hukum pada kantor Kejaksaan County. Tak satupun dari anggota keluargaku yang sempat mengenyam pendidikan tinggi. Ayahku pemabuk dan perokok berat, dan kebiasaannya itu telah menyusahkan seisi rumah karena dia menjadi egoistis dan cepat marah. Dia seperti bangkai hidup. Ibuku sering bertengkar dengannya dan menjalani perkawinan yang menyedihkan. Akan tetapi, dari luar, mereka terlihat hidup rukun.

Tak Mengenal Islam
Ketika aku mulai kuliah, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seorang Muslim. Setelah bertemu dengan beberapa orang Muslim lain, lambat laun aku menyadari betapa aku tidak mengenal Islam dan umatnya. Banyak hal yang kuketahui tentang Islam saat aku remaja ternyata keliru, tetapi aku memang tak tahu-menahu soal Islam. Aku menjadi ingin mengenal agama tersebut karena sikap baik kaum Muslim yang menarik hatiku; demikian pula ketulusan dan shalat kaum Muslim. Gagasan tentang sebuah agama yang membimbing kita dalam setiap aspek kehidupan memang merupakan sesuatu yang tengah kucari. Aku tumbuh sebagai seorang Kristen, dan saat bertemu dengan kaum Muslim, aku tengah giat-giatnya menjalankan agama Kristen dan bersungguh-sungguh mengkaji Injil. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan menyangkut Injil tetap tak terjawab olehku. Namun, Al-Quran menjawabnya. Semula aku tak suka membaca Al-Quran karena ia menyatakan bahwa Isa bukanlah Anak Tuhan, dan pernyataannya tentang perang yang selalu bergaung di dalam pikiranku serta apa yang pernah kudengar tentang terorisme dan kekerasan kaum Muslim.

Akan tetapi, kaum Muslim yang kukenal kujadikan contoh tentang sosok seorang Muslim itu, dan melihat betapa kelirunya pandangan miring yang kumiliki sejak kecil. Aku bertanya-tanya bagaimana aku tahu Injil benar sedangkan Al-Quran salah, khususnya ketika terdapat begitu banyak kemiripin dan tampak keduanya berasal dari sumber yang sama. Aku tak dapat mempercayai guruku yang mengajariku Injil ketika dia mengatakan bahwa Al-Quran berasal dari setan dan menjadi serupa dengan Injil tetapi penuh dusta.

Islam sebagai Pilihan
Aku juga tak percaya bahwa kaum Muslim ini, yang secara umum jauh lebih taat dalam menjalankan agama Tuhan daripada kaum Kristen, akan masuk ke neraka seperti yang pernah diajarkan kepadaku. Ketika aku melanjutkan kajianku, aku mampu membaca Injil berdasarkan sebuah pandangan baru, dan melihat berbagai pertentangan, kekeliruan, dan kesesatan logika. Akan tetapi, semua kekeliruan dan pertentangan ini tak ada dalam Al-Quran. Apa yang dinyatakan Al-Quran tentang Tuhan, tujuan kita dan segalanya, menurutku lebih masuk akal dan mudah dimengerti. Aku yakin bahwa Tuhan akan membekali kita dengan sebuah agama yang memang dapat kita pahami dan jujur. Memang sulit, tetapi setelah beberapa bulan aku mempelajari kedua agama itu, Islam keluar sebagai pilihan. Aku menjadi sangat yakin bahwa Islam adalah sebagai agama sejati yang diutus Allah SWT, kepada kita dan karena itu aku anut. Ketika itu, aku masih kurang yakin menyangkut berbagai hal. Aku kurang yakin khususnya menyangkut jilbab, dan aku tak tahu apa-apa tentang cara shalat dan sebagainya, tetapi akhirnya aku mulai belajar.

Sangat sulit menyimpulkan bahwa setiap orang yang pernah kukenal – guru, kedua orang tua, kakek, teman, dan penginjilku – semuanya keliru. Sangatlah sulit memutuskan untuk menentang keluargaku dan melakukan sesuatu yang tak akan mereka sukai atau pahami. Aku takut salah memilih. Agama Kristen mengajarkan, bahwa jika Anda tidak beriman bahwa Isa a.s. wafat demi dosa-dosa Anda, Anda akan masuk neraka (setidak-tidaknya demikianlah yang dikatakan oleh para pendeta kepadaku). Aku pun takut tergelincir. Aku takut teman sebaya, rekan, dan bosku akan bereaksi negatif. Keluargaku juga mungkin akan mengasingkanku. Memang keluargaku membenci pilihan itu, tetapi tidak mengasingkanku. Hubungan kita selamanya berubah.

Kesulitan Keluarga
Setiap kali aku bercakap-cakap dengan ibuku, dia selalu mengeluhkan pakaian Islamku. Tampaknya itu benar-benar mengganggu mereka, dan dia akan memberiku literatur Kristen dan sebagainya. Saat pertama kukenakan jilbab, dia mengomeliku selama satu minggu. Yang sangat menyakitkan, dia menulis sepucuk surat kepadaku dan menyatakan itu sebagai tamparan di wajahnya, bahwa aku telah melupakan jerih payahnya membesarkanku dan balasannya adalah aku menjadi orang Arab. Mereka meyakinkan diri bahwa aku melakukan hal itu hanya demi suamiku yang Muslim (aku akhirnya memang menikah dengan seorang Muslim). Mereka tak menyukainya dan ingin agar pekawinan kami berakhir. Para anggota keluargaku mengatakan kepadaku bahwa aku akan masuk neraka. Tidaklah sulit meninggalkan makanan yang haram dan alkohol; melaksanakan shalat, mengenakan jilbab (meski semula memang agak sulit). Satu-satunya hal yang sangat sulit adalah menyakiti hati keluargaku dan terus-menerus ditekan oleh mereka.

Dalam proses ini, aku sungguh-sungguh kehilangan beberapa orang yang tak dapat menerima perubahan itu, tetapi kebanyakan teman-temanku biasa-biasa saja. Aku pun tak menghadapi masalah dalam menyelesaikan banyak pekerjaan akibat pilihanku untuk mengenakan jilbab. Secara umum, aku tidak didiskriminasikan di kampus, meski Anda harus menatap muka dan bersikap formal terhadap rekan sekerja. Menurutku, kebanyakan orang menghargai apa yang aku yakini. Hanya keluargaku saja yang menghadapi persoalan berat, sebab aku adalah anak mereka. Dan pria tak habis pikir mengapa aku menolak untuk menjabat tangan mereka.

Serasa Pulang ke Rumah
Sulit menjelaskan kepada orang yang tak pernah merasakan bagaimana Islam dapat mengubah dan memperbaiki hidup seseorang. Akan tetapi, Islam benar-benar telah mengubahku. Kini, aku tak ragu lagi terhadap tujuan hidup di dunia ini dan bahwa aku tengah menempuh jalan yang lurus. Sebelumnya aku sungguh-sungguh tak pernah tahu, dan kini aku rasa tenteram bersama Islam. Kehendak Tuhan sangatlah berarti bagiku dan aku memiliki keyakinan tentang dari mana asalku. Di samping itu, melalui Islam, jarang ada persoalan taksa mengenai apakah sesuatu benar atau salah. Berbeda dengan teman-teman Kristenku yang sering ragu apakah mereka melakukan hal yang benar. Aku akhirnya dapat berpegang pada sesuatu yang benar-benar teguh dan aku tak tersesat lagi. Aku bahkan sungguh-sunggu tidak tahu bahwa aku tengah tersesat sebelumnya, tetapi ketika kutemukan agama Islam dan menerawang ke masa lalu, jelaslah bagiku bahwa aku tengah melakukan pencarian selama bertahun-tahun. Alhamdulillah, aku beroleh petunjuk.

Islam juga memperbaiki hidupku sebagai seorang perempuan. Sebab, akhirnya aku tahu bahwa kaum pria Muslim yang baik jauh lebih menghargai kaum perempuan dibandingkan dengan kebiasaan yang ada di kalangan masyarakat Amerika, tempat aku dibesarkan. Aku merasa istimewa menjadi seorang perempuan. Sebelumnya aku merasa kurang bersyukur menjadi seorang perempuan karena menurutku hidupku akan lebih mudah seandainya aku menjadi seorang lelaki. Sebab, sebagai seorang perempuan aku dulu benar-benar dihadapkan kepada tanggung jawab besar untuk bekerja sepenuh waktu; merawat rumah tangga, memasak, mencuci, dan merasa tak pernah cocok dengan semua peran itu. Sebagai Muslimah, aku merasa lebih bebas untuk memperhatikan diri, memilih jalan yang benar-benar selaras dengan sifatku, membuat orang lain menerima hal itu, dan merasa tak ada masalah menjadi seorang perempuan – seperti pulang ke rumah. Memeluk agama Islam serasa pulang ke rumah.

Kunjungi : www.mizan.com

baca selengkapnya...

Monday, February 19, 2007

Bruno Guiderdoni, Astrofisikawan Muslim

Bruno Guiderdoni adalah salah seorang intelektual Prancis Muslim yang terkenal, seorang astrofisikawan terkemuka yang masuk Islam kurang lebih lima belas tahun yang lalu. Dia belajar fisika dan astrofisika di Universitas Paris dan memperoleh gelar doktornya di sana pada 1986. Kini (2004), dia merupakan ilmuwan yang bekerja pada Badan Antariksa Eropa yang menangani dua satelit untuk penelitian ilmiah, yaitu Herschel dan Planck, yang akan diorbitkan pada 2007, untuk mengamati fluktuasi suhu pada radiasi latar kosmologi dalam frekuensi inframerah-jauh dan gelombang submilimeter. Penelitian ilmiah Dr. Guiderdoni terfokus pada persoalan lahirnya dan evousi galaksi-galaksi.

Berikut adalah wawancara Philip Clayton dengan Bruno Guiderdoni, yang dikutip -- seizin kronik, mizan -- dari Buku Membaca Alam Membaca Ayat (mizan, 2004).


Philip Clayton: Pengaruh-pengaruh religius apa saja yang anda terima dimasa kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam ?

Guiderdoni: Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan dalam suatu agama tertentu. Sata saya mempelajari sains, saya dapati ada sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya mencari jenis pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika, tetapi di Prancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan. Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan. Setelah banyak membaca dan melakukan perjalanan, akhirnya saya tersadar bahwa pencarian saya merupakan pencarian religius. Saya sangat tertarik dengan agama-agama Timur, khususnya penekanan agama-agama itu terhadap pencarian pengetahuan. Bagi saya, menjadi penganut Buddha, Tao, atau Hindu adalah langkah yang terlalu jauh. Menjadi seorang Muslim merupakan jalan tengah antara Timur dan Barat. Islam memperkenalkan diri sebagai agama pertengahan antara agama-agama Barat -- agama Yahudi dan Kristen -- dan agama-agama Timur. Saya merasa (dengan memeluk Islam) tetap berada pada aliran yang sama, yang telah diawali oleh agama Yahudi dan Kristen, tetapi saya pun mendapatkan jalan kepada agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun,`sebagaimana Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah , terutama oleh paham fundamentalis yang menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada juga banyak hal berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual.

Clayton: Jadi, daya tarik Islam adalah karena agama itu merupakan keterpaduan agama Yahudi dan Kristen , tetapi juga dekat dengan tradisi-tradisi ketimuran.

Guiderdoni: Benar. Terutama mistisisme Islam , yang disebut sufisme. Sufisme memberikan penekanan pada realisasi pengetahuan dengan cara yang sangat simpatik, dalam kerangka paham monoteis, dengan konsep teologis yang sangat akrab dengan kita. Dalam Islam, pandangan tentang manusia, dunia, dan penciptaan, sangat mirip dengan Yahudi dan Kristen. Akhirnya, tujuan kehidupan religius adalah pengetahuan. Hal yang sangat penting adalah, baik pencarian sains maupun pencarian religius saya sama-sama merupakan pencarian pengetahuan.

Clayton: Bisakah Anda berbicara sedikit mengenai apa yang tidak Anda dapatkan dari sekadar pencarian pengetahuan saintifik?

Guiderdoni: Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan. Sains modern sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan pertanyaan,”Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini ?” Harapan di abad ke-19 itu bukanlah pada sains yang sesungguhnya, melainkan pada ideologi . Kini, sains lebih menitikberatkan pada tujuan utamanya, yakni penjelajahan alam semesta. Sains modern hanya sedikit berbicara di tataran fisolofis. Pada abad yang lalu, segala usaha untuk mendefinisikan sifat-dasar kebenaraaan-ilmiah terbukti gagal total. Dalam sains, kita memiliki metode yang sangat efisien untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang alam semesta. Namun, kita tidak mampu mengatakan bahwa suatu teori benar, atau mungkin benar, atau salah, atau mungkin salah. Karya Karl Popper sangat penting dari sudut pandang ini.

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilmiah kita memunculkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sains adalah suatu kisah yang tiada habisnya dan sangat mengasyikkan. Sayangnya, kita umat manusia dibatasi oleh waktu, dan kita menginginkan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pencarian terhadap jawaban semacam itu adalah alami, bahkan meskipun jika pencarian ini tidak bersifat ilmiah, melainkan religius. Itulah sebabnya mengapa saya amat tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan.

Clayton: Adakah sesuatu dalam keterbatasan pengetahuan yang telah ditegaskan oleh para ilmuwan sendiri ratusan tahun lalu, yang memberi sumbangsih bagi pemahaman Anda atas perlunya sebuah cara lain (di luar sains)? Umpamanya, ketidakpastian tentang tingkatan kuantum yang digagas Heisenberg.

Guiderdoni: Di jalan inlelektual saya ada dua langkah penting, dua telaah penting. Yang pertama adalah filsafat sains, terutama karya Popper yang saya baca saat berusia dua puluh tahun. Langkah penting lainnya adalah perdebatan mengenai sifat-dasar dan kesempurnaan mengenai mekanika kuantum. Di Prancis terjadi banyak perdebatan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Bernard d’Espagnat memberi kuliah di universitas tempat saya belajar lima belas tahun silam. Saya terkesan oleh kecermelangan dan kecerdasannya, dan terutama oleh anlisisnya mengenai keterbatasan mekanika kuantum dan oleh gagasan bahwa kenyataan tak pernah benar-benar dapat diungkap penyelidikan ilmiah. Sesungguhanya realitas selalu “terselubungi”. Saya rasa saya perlu mencoba cara lain untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas.

Clayton: Sejak menganut agama Islam, bagaiman Anda memandang hubungan antara tradisi sains dan religius? Apakah Anda melihatnya komplementer, integral, atau sebagai wilayah yang sangat berbeda?

Guiderdoni: Menurut saya, keduanya komplementer.Seperti yang saya katakan pada Anda, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan secara umum dan dalam kehidupan religius secara khusus. Akar dari dosa adalah kebodohan, atau kegelapan.”Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat,” kata Rasulullah. Zhulm adalah istilah bahasa Arab untuk dosa dan kegelapan. Sangatlah mungkin bagi ita untuk keluar dari dosa dengan cahaya ilmu. Maka, mencari ilmu penting adanya, segala macam ilmu: ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Mungkin orang menganggap pengetahuan sains sebagai pengatahuan dunia, dan pengetahuan akhirat adalah pengetahuan religius. Pada kenyatannya, perbedaan itu tidak begitu jelas. Dalam tradisi Islam, ilmu yang dicari adalah ilmu yang yang berguna untuk kemanusiaan secara umum. Pencarian ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai etis. Seperti halnya segala sesuatu di dunia, sains punya satu tujuan, yaitu Tuhan. Kita tidak bisa memahami pencarian pengetahuan secara terpisah dari upaya perbaikan diri.

Clayton: Jadi, karya Anda sebagai seorang ilmuan tidak sepenuhnya terpisah dari ketaatan Anda sebagai seoarang Muslim. Itukah yang Anda maksud?

Guiderdoni: Ya. Tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Tidak mungkin ada kasus Galileo dalam Islam. Islam terbuka bagi segala macam ilmu. Jadi, sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat nyaman dengan aktivitas keilmuan saya, karena saya dapat menafsirkan karya riset saya sebagai pencarian ilmu untuk dunia ini, juga sebagai penjelajahan kekayaan dan keindahan ciptaan Tuhan.

Clayton: Kedengarannya seolah-olah dalam Islam Anda menemukan suatu kebutuhan untuk menyatukan karya Anda sebagai seorang ilmuan dengan amal Anda sebagai Muslim.

Guiderdoni: Benar. Sebagai seorang Muslim, saya cenderung menyatukan seluruh aktivitas ke dalam satu jalan tunggal, satu jalan hidup dan berfikir. Karena Tuhan adalah Esa, manusia pun harus menjadi utuh. Pemisahan dalam bentuk apapun antara aktivitas profesional dan pencarian religius bukanlah hal yang baik.

Kita tidak harus memisahkan aktivitas keilmuan dengan aktivitas religius. Tidak benar bahwa ilmu dan iman tidak berhubungan satu sama lain, bahwa keduanya sepenuhnya merupakan jalan berbeda dalam mendekati kenyataan. Pandangan ini merupakan salah satu cacat dari beberapa pendekatan terhadap agama dalam peradaban Barat, khususnya setelah Kant.

Namun, saya pun harus menekankan bahwa pengetahuan sains tidaklah seperti pengetahuan religius. Pada setiap saat, kita harus menyadari sifat-dasar dari aktivitas yang sedang kita lakukan; kita tidak mengerjakan doa seperti kita mengerjakan penelitian. Pemaduan aktivitas kita adalah penting, tetapi kita pun membutuhkan pembedaan. Kita harus teliti dalam hal ini.

Clayton: Jadi, pemisahan Kantian antara dunia alam dengan dunia tanggung jawab moral dan kebebasan yang telah memengaruhi banyak pemikiran agam Kristen dan Yahudi pada dua atau tiga abad yang lalu, tidak diterima oleh Islam?

Guiderdoni: Tidak, karena setiap perbuatan manusia memiliki makna etis.Agama meliputi kehidupan sehari-hari . Ada waktu-waktu ritual yang eksplisit; shalat lima kali sehari, umpamanya. Namun, di luar waktu-waktu itu, seluruh waktu kehidupan merupakan kesempatan untuk beribadah, dalam bentuk penjelajahan dunia. Dan penjelajahan dunia seperti apa pun akan memajukan pengetahuan. Karena penjelajahan dunia merupakn jalan mempelajari ciptaan Tuhan, aktivitas ini juga bernilai ibadah.

Clayton: Bagi Islam, sebagaimana bagi agama Yahudi dan Kristen, alam semesta tidak hanya memiliki waktu yang linear, tapi juga sebuah telos (‘tujuan’,bahasa Yunani-peny.) tertentu, tujuan yang ditetapkan Tuhan. Bagaimana gagasan tujuan tersebut berdampingan dengan ilmu fisika dan astrofisika kontemporer?

Guiderdoni: Dalam Al-Quran , banyak ayat yang menekankan tujuan Penciptaan Tuhan. Tujuan itu meluas hingga pada detail kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang diciptakan secara kebetulan. Segalanya dibuat dengan satu tujuan. Segala sesuatu merupakan tanda-tanda Tuhan: ayat. Kata tersebut merupakan salah satu kata penting dalam tradisi Islam; yang artinya bahwa segala yang ada di dunia, segala yang tampak oleh kita, sesungguhnya membawa pelajaran dari Tuhan. Maka, sekali lagi, sangatlah mudah untuk mengkaji sains modern dalam paradigma finalitas ini. Saya terheran-heran dengan perbedaan antara keberhasilan reduksionisme sebagai alat dan sebagai rancangan metodologis, dan kegagalannya sebagai rancangan filosofis. Eksplorasi kita terhadap detail fisika kosmos kini mengarah kepada sesuatu yang dapat dengan mudah dibaca sebagai finalitas. Semua”kebetulan” yang “ditafsirkan” dengan prinsip antropik dapat dibaca dengan mudah sebagai finalitas di dunia. Seorang Muslim tentunya tidak perlu bersusah payah untuk membaca hal itu. Yang mendapat masalah adalah orang-orang yang tak beriman, karena mereka memahami dunia ini sebagai sebuah bangunan raksasa yang berdiri di atas sejumlah sangat kecil pilar yang tertala-cermat (finely tuned): nilai-nilai konstanta fisika. Itulah yang menjadi masalah bagi mereka.

Clayton: Argumen apa yang Anda pakai sebagai seorang fisikawan, tentang keberadaan rancangan dan tujuan dalam alam semesta ini?

Guiderdoni: Telah banyak muncul karya tentang prinsip antropik, yang dirangkum dengan baik dalam buku karangan John Barrow, The Antropic Cosmological Principle. Secara historis, keluasan jagat raya telah digunakan sebagai arguman untuk menentang agama.Alasannya, jika jagat semesta demikian luas , manusia menjadi tidak ada artinya dan konsep adanya agama yang diwahyukan di planet kecil tempat kita tinggal pun tidak punya makna. Namun, kini kita tahu bahwa usia dan ukuran alam semesta yang bisa diamati berhubungan erat dengan kehadiran kita di bumi. Kita tidak dapat muncul di sebuah jagat raya yang memiliki usia dan ukuran yang berbeda (dari jagat raya yang kita huni sekarang). Usia alam semesta yang sangat tua diperlukan untuk pengayaan elemen berat, juga penting bagi pembentukan planet dan kemunculan kehidupan. Ukuran semesta
Merupakn konsekuensi usianya. Kita memerlukan ukuran semesta seperti ukuran semesta kita ini dan waktu selama usia semesta kita ini, agar kita (manusia) dapat muncul dibumi.

Clayton: Beberapa orang memberikan argumen-argumen fisika untuk mempertahankan apa yang biasa disebut prinsip antropik kuat. Apakah Anda bersimpati kepada pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan kehidupan cerdas adalah sebuah keniscayaan tersebut dirancang di alam semesta sejak awal?

Guiderdoni: Ya, saya sepakat. Menurut saya, hal itu merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari kerja-kerja terbaru dalam kosmologi modern. Semua”kebetulan” pada konstanta-konstanta fisika membuat kompleksitas yang amat besar menjadi mungkin. Sebagai orang beriman, saya menganut prinsip antropik kuat; segalanya telah dirancang dengan cara tertentu untuk memungkinkan keberadaan manusia.

Clayton: Bolehkah saya menanyakan sifat-dasar prinsip tersebut? Ada orang bilang bahwa itu merupakan penjelasan metafisis. Ada yang bilang itu benar-benar merupakan kesimpulan fisika, bahwa prinsip itu bisa kita peroleh dari fisika, tanpa mesti beralih ke meta fisika.

Guiderdoni: Untuk saat ini, saya katakan bahwa itu bukan suatu prinsip fisika. Itu adalah sesuatu yang berakar dalam sains, tetapi merupakan prinsip metafisika. Memang ini merupakan arus balik menuju metafisika yang mengejutkan, karena banyak filosof menyatakan bahwa kita telah membunuh metafisika sejak kemunculan filsafat Kantian pada akhir abad ke-18. Kini, metafisika dimunculkan kembali saat tidak diharapkan , oleh sains itu sendiri.

Menurut saya, prinsip antropik tidak bisa dianggap sebagai prinsip fisika karena prinsip fisika harus bisa diprediksikan. Saya tidak tahu apakah telah muncul prediksi dari prinsip antropik. Namun, tentu saja kita tidak bisa menghilangkannya hanya karena prinsip ini punya makna metafisis.

Clayton: Dalam sains dasawarsa lalu, sebagaimana yang Anda gambarkan, kesimpulan-kesimpulan metafisis dipengaruhi oleh karya-karya bidang astrofisika, bahkan mungkin bisa diuji melalui cara-cara tertentu. Riset fisika sebenarnya bisa memberi bukti untuk beberapa tinjauan metafisis. Apakah saya mendiskripsikan pendirian Anda itu dengan benar?

Guiderdoni: Ya Anda benar. Kecenderungan dalam Islam selalu ke arah penyatuan. Maka, pernyataan bahwa metafisika bisa disingkirkan sepenuhnya dari sebarang bidang aktivitas atau pengetahuan manusia benar-benar tidak konsisten dengan pemikiran Islam. Dari sudut pandang sains modern, yang, setidak-tidaknya pada abad-abad lalu, berusaha meniadakan metafisika, kembalinya metafisika merupakan sebuah kejutan. Pemikiran Islam menekankan hubungan erat antara pendiskripsian jagat raya dan akar-akarnya dalam prinsip-prinsip metafisika dan spiritual. Keberhasilan reduksionisme sebagai sebuah metodologi keilmuan dan kegagalannya sebagai sebuah rancangan filsafat, menjadi dorongan kuat bagi pencarian jenis ilmu lain, cara lain untuk melihat kebenaran tunggal. Menurut saya, seluruh pemikiran Islam pun mengarah pada kesimpulan bahwa hanya ada satu kebenaran. Untuk mencapainya, kita memiliki banyak cara. Salah satunya adalah sains. Baik kesuksesan maupun kegagalannya membesarkan hati. Kegagalannya, berupa ketiadaan jawaban-jawaban radikal, mungkin menjadi pendorong untuk beranjak kepada cara lain dalam memperoleh kebenaran. Mungkin jalan religius memiliki keistimewaan, dalam hal tertentu. Menurut saya, filsafat modern tidak menekankan pada pencarian kebenaran. Itu ditandai dengan lenyapnya metafisika. Jadi, mungkin agama adalah satu-satunya jalan yang tersisa bagi para ilmuan untuk mencoba memperoleh kebenaran.

Clayton: Jadi, mungkin bisa dikatakan seperti ini: bahwa sebagai seorang ilmuan, saya takjub dengan improbabilitas bahwa saya -- sebagai orang yang mengetahui -- harus ada di sini. Saat saya tatap alam semesta, tampaklah ia seolah-olah tertala-cermat, sehingga kehidupan dapat berkembang. Kemudian, saya mengetahui prinsip antropik dalam fisika, atau pentingnya posisi pengamat dalam bidang fisika kuantum, sehingga saya berfikir pasti ada tujuan tertentu bagi kita. Saya berpaling dari agama untuk mencari tahu apakah tujuan itu dan apakah tanggung jawab moral saya di hadapan Tuhan. Demikiankah gagasan Anda ?

Guiderdoni: Tepat sekali. Saya tidak menyukai penafsiran dualistik sains, khususnya mengenai mekanika kuantum. Saya menyukai realitas; saya adalah seoraang realis. Kita menduga bahwa ada realitas tersembunyi, sebuah “realitas terselubung”, sebagaimana dikatakan d’Espagnat. Kita mencoba untuk lebih dekat pada realitas ini melalui sains dan kita berhasil dalam beberapa hal. Namun, kita merasa bahwa kita membutuhkan suatu langkah kualitatif yang akan menggiring kita pada pertanyaan mengenai makna segala sesuatu. Menurut saya, kita hanya bisa memperoleh jawaban melalui pendekatan religius. Dan inilah sebabnya mengapa saya memandang dua aktivitas itu benar-benar komplementer.

Clayton: Islam,seperti halnya agama-agama Barat, mengajarkan bahwa umat manusia diciptakan bertanggung jawab secara moral, bebas, dan mampu berhubungan dengan Tuhan. Bagaimana pengertian manusia sebagai pribadi ini dapat dikatakan sesuai dengan teori sains mutakhir?

Guiderdoni: Ini adalah pertanyaan yang berkaitan; manusia digambarkan dalam Al-Quran sebagai wakil Tuhan di bumi. Jadi, ia tidak berada di atas ciptaan. Mungkin dikatakan bahwa pada peradaban Barat, khususnya pandangan -- dunia Cartesian, hanya manusialah yang mempunyai jiwa; maka ia bisa berbuat apapun yang diinginkannya di dunia ini. Dalam Islam, manusia tidak berada di atas penciptaan, tetapi berada di pusatnya. Dan kita harus mengatur ciptaan tersebut, atas nam Tuhan, seperti penjaga kebun yang baik. Kita bertanggung jawab atas ciptaan dan tidak bisa mengubahnya semau kita. Manusia berada di bumi ini sebagai konsekuensi dari sejumlah krisis luar biasa dalam perkembangan alam semesta: krisis dalam pembentukan galaksi, pembentukan spektrum-spektrum bintang, evolusi bintang dan seterusnya, hingga pembentukan planet-planet dan munculnya kehidupan, serta seluruh periode perkembangan hidup dan sebagainya. Sains mengajarkan bahwa kita berada di puncak bangunan kosmis raksasa, yang berusia 10 milyar tahun. Islam membantu saya merasa nyaman, karena penekanannya terhadap ilmu dan nilai-nilai etika. Pengetahuan tidak bisa di capai secara terpisah dari pencarian nilai-nilai etika. Nilai etika yang sesungguhnya adalah tanggung jawab. Jadi, pandangan ilmiah ini, yang mengatakan bahwa manusia merupakan akibat dari apa yang dinamakan “kebetulan-kebetulan” dan krisis- krisis yang luar biasa banyaknya itu, seharusnya menuntun kita pada pandangan religius yang memandang manusia memiliki rasa tanggung jawab yang besar di muka bumi.

Selain itu, hal yang sangat menarik adalah kemunculan manusia dalam kosmologi. Prinsip kosmologis menyatakan bahwa tempat yang “jauh” tidak ada bedanya dengan “di sini”; tidak ada posisi istimewa dalam jagat raya. Namun, hal ini membawa kemungkinan penjelajahan sejarah alam semesta. Karena kenyataan bahwa “yang jauh” sama dengan “ di sini”, maka sejarah alam semesta bisa di telusuri dengan mengamati benda-benda pada pergeseran merah (redshift) yang tinggi. Ini berarti pula bahwa jarak yang jauh memberi gambaran dari masa yang sangat lampau, karena cahaya berjalan pada kecepatan terbatas. Kita bisa merekonstruksi masa lalu alam semesta dan masa lau kita sendiri, sampai pada saat-saat pertama setelah terjanya Ledakan Besar. Jadi, kita berada pada posisi pusat; kita ada di pusat semesta yang bisa diamati. Dalam beberapa hal, kosmos kita sangatlah mirip dengan kosmos Abad pertengahan yang menempatkan manusia di pusat semesta. Tentu saja, kita tahu bahwa dunia ini tak terbatas. Namun, dunia yang bisa diamati adalah sebuah gelembung di keluasan alam semesta. Kita berada di posisi pusat seperti ini dalam upaya membangun pengetahuan kita mengenai dunia.

Dengan kata lain, kita berada di sebuah lokasi yang sesuai untuk mengamati semesta karena bidang galaksi kita, umpamanya, memiliki sebuah sudut pandang bagus terhadap bidang Supergugus Lokal(Local Super Cluster). Kita tidak berada dalam sebuah awan molekular dan seterusnya. Semesta yang mengelilingi kita, Galaksi Bima Sakti, agak tembus cahaya. Dan kita bisa mengakses masa yang sangat lampau. Jika kita hidup di galaksi lain, atau dalam sebuah awan molekular, semesta di sekeliling kita akan benar-benar buram, kecuali bagi radiasi cahaya inframerah dan gelombang radio. Pasti ada lebih banyak halangan untuk mengungkap semesta ini.

Ada banyak kemiripan dalam cara kita memandang dunia dengan cara Abad Pertengahan memandang dunia ini. Bagi para pemikir Abad Pertengahan, batas jagat raya adalah bola langit(atau lebih tepatnya adalah Langit Kristal [Crystalline Sphere]), karena penemuan presesi ekuinoks (the precession of the equinoxes). Ini merupakan pembatasan yang amat tajam, pemisahan antara jagat raya di satu sisi dan Empyreum (lokus Singgasana Tuhan, ‘Arsy) pada sisi yang lain. Inilah batas maksimal bagi penciptaan. Dan kita pun memiliki batas ini, karena batas semesta yang bisa kita amati pun berbentuk sebuah bulatan. Pada permukaan bulatan itu, kita mendapatkan T=0 dan kita tidak bisa melihat lebih jauh. Lebih jauh lagi adalah masa lalu yang sudah terlalu lampau. Itulah saat ledakan besar terjadi; yang merupakan misteri bagi kosmologi modern. Kita tahu bahwa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan bintang dan galaksi, tetapi kita punya pandangan yang dinamis terhadap jagat raya, kaitan yang erat antara menatap jarak yang jauh dan menggali masa lalu. Ketika kita melihat jauh, kita mencoba menggali asal mula keberadaan kita tetap sebagaimana Dante Alighieri menggambarkan secara alegoris dirinya mengarungi ruang angkasa untuk melihat wajah Tuhan. Ada banyak kemiripan lainnya antara pandangan Abad Pertengahan dengan sains modern mengenai jagat raya.

Clayton: Saya ingin tahu, bagaimana pengaruh pengetahuan kita mengenai evolusi kehidupan terhadap pandangan religius terhadap individu. Menurut biologi evolusioner, kita sangat mirip dengan mahluk primata tingkat tinggi lainnya. Sebagian besar materi genetis kita sama dengan mereka. Apakah hal itu menimbulkan ketegangan pada keyakinan religius mengenai keunikan sosok individu sebagai wakil Tuhan ?

Guiderdoni: Mungkin akan ada semacam tegangan jika Anda membaca Al-Quran secara harfiah. Namun,hal itu akan hilang jika kita mengkaji ayat-ayatnya secara terbuka. Penciptaan manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut: Manusia diciptakan Tuhan dari dua unsur. Ia tercipta dari tanah liat (thin) dan ruh Tuhan (Ruh). Proses penciptaan ini dulu ditafsirkan sebagai penciptaan yang terjadi seketika. Namun, tak satupun petunjuk dalam ayat-ayat suci itu yang mengharuskan kita tiba pada kesimpulan ini, karena segala sesuatu yang di deskripsikan oleh (teori) evolusi bisa jadi terkait dengan bagian dari evolusi kosmik sejak awal, dari nukleosintesis pada bintang-bintang dan seterusnya, dan fakta bahwa unsur-unsur kita,”tanah liat”, ada pada bintang-bintang 5 milyar tahun lalu. Bagian tanah liat ini membuat kita sangat dekat dengan dunia ini, sangat dekat dengan hewan.

Kita pun mempunyai bagian lainnya, yakni ruh Tuhan. Ruh ini merupakan anugrah Tuhan, dan itu bukan satu-satunya alasan. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, tetapi pikiran bukan satu-satunya perbedaan. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kapasitas untuk mengenal Tuhan, untuk menyadari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Dalam tradisi Islam, manusia adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki kemampuan untuk menyadari seluruh asma Tuhan, seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah anugrah dari Ruh Tuhan dalam diri kita. Dalam Islam, tak ada hal-hal yang menyebabkan penentangan terhadap kemungkinan bahwa bentuk dan sifat-sifat manusia yang sama dengan hewan (unsur hewaniah) merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang.

Al-Quran tidak menceritakan sejarah dunia. Ia adalah kitab yang khas, sebuah kitab yang mengiring perhatian manusia kepada fakta-fakta signifikan. Ini bukanlah sebuah buku teks ilmiah. Bagian-bagian dari Al-Quran sangat puitis dan misterius, dan ayat-ayatnya bisa di baca dengan berbagai cara. Selama Abad Pertengahan, Al-Quran sering di baca secara harfiah, sangat mirip dengan yang di lakukan orang-orang Yahudi atau Kristen. Namun, ayat-ayat itu selalu terbuka untuk ditafsirkan dan di baca kembali.

Al-Quran menyatakan bahwa ada masa ketika manusia belum diciptakan. Manusia diciptakan untuk Tuhan, tetapi jagat raya di ciptakan untuk manusia, untuk menjadi tempat (lokus) pengetahuan kita mengenai Tuhan. Penciptaan manusia mungkin berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tetapi hitungan waktu tidak benar-benar signifikan dari sudut pandang spiritual. Yang penting adalah apa yang sedang terjadi sekarang dan kemampuan kita untuk memahami tindakan Tuhan di jagat raya.

Clayton: Jadi, kisah-kisah tentang bagaimana segala sesuatu terjadi dan bahwa manusia berbeda dari hewan tidak begitu penting dalam Islam, jika dibandingkan dalam agama Kristen? Permasalahan yang penting adalah bagaimana pemahaman manusia saat ini di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia hidup dan berperilaku. Apakah demikian?

Guiderdoni: Ya, saya pikir begitu. Dalam Islam, ada penekanan bagi realisasi spiritual. Realisasi spiritual ini juga sama pentingnya dalam ajaran Buddha dan Hindu. Sebagai orang Barat, kita terbiasa menangani banyak masalah, yang sebagian tidak ada kaitannya dengan kita. Meskipun kita mencapai kesuksesan dalam penjelajahan jagat raya, tujuan penciptaan diri kita bukanlah penemuan jagat raya tersebut. Kita tidak memiliki deskripsi yang luar biasa mengenai sejarah jagat raya. Namun, terlepas dari penemuan-penemuan ini, hal yang penting justru terlupakan: realisasi spiritual manusia. Karenanya, kita butuh lebih banyak pengetahuan daripada yang bisa diberikan oleh sains. Kita di Barat biasa berpikir bahwa kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa kita rumuskan menjadi konsep. Agama-agama Timur, termasuk Islam, yang merupakan agama Timur dari sudut pandang ini, mengajarkan bahwa kita bisa mengetahui leih banyak daripada yang bisa kita konsepsikan. Tentu saja, kita (bangsa Barat) sangat piawai memakai nalar kita. Namun, kita pun punya jenis kecerdasan lainnya. Kita mempunyai apa yang disebut oleh filosof Abad Pertengahan sebagai “intelek”, yakni kemampuan untuk merenungkan kebenaran. Jadi, jika kita ingin mencari tahu asal-usul keberadaan kita, kita bisa memperoleh bermacam-macam jawaban. Kita mendapatkan jawaban berdasarkan kosmologi modern, kita pun punya pendekatan spiritual dan mistis.

Jawaban yang lengkap hanya bisa di temukan di akhirat, yang menurut tradisi Islam juga merupakan dunia pengetahuan. Di bumi, kita di batasi oleh hukum alam dan kita hanya bisa mendapat jawaban parsial atas pertanyaan-pertanyaan penting. Di akhirat kelak pengetahuan-langsung akan tersingkap.

Clayton: Dan intuisi spontan dari intellectus pun akan kita dapatkan, sementara di dunia ini kita hanya memiliki cara-cara terbatas untuk mengetahui, dengan nalar modern dan analisisnya, bukan dengan sintesis.

Guiderdoni: Tepat sekali. Kita (Bangsa Barat) sangat berhasil dalam bidang algoritma. Namun, kita lupa bahwa ada jalan lain; kecerdasan tidak hanya bersifat analitis, tetapi juga memiliki sisi sintesis, sebagaimana yang tadi Anda katakan. Ia pun berhubungan dengan misteri kreativitas ilmiah dan penemuan ilmiah. Bagaimanakah sebuah gagasan bisa terbetik dalam benak seorang ilmuan? Ini merupakan pertanyaan besar. Kita bisa saja mengajari mahasiswa kita banyak hal mengenai sains, tetapi kita tidak bisa mengajari mereka bagaimana menemukan, karena kita benar-benar melupakan sisi kontemplatif dalam pikiran manusia dan aktivitas manusia secara umum. Dalam agama, kami menemukan kembali pentingnya jalan kontemplasi.

Clayton: Bisakah amal dan ketaatan religius membuat kita lebih kreatif dan menambahkan bagi sisi analitis suatu cara berpikir yang lebih holistik?

Guiderdoni: Menurut saya, itu mungkin saja. Kita mempunyai contoh orang-orang suci yang sangat kreatif, bukan hanya dalam Islam, tentu saja, melainkan di semua agama. Kami punya kesan bahwa beberapa jenis amal bisa membuka cakrawala berpikir atau membantu pikiran menghilangkan hambatan yang berhubungan dengan hawa nafsu, dan lain sebagainya. Mungkin amal seperti inilah yang bisa membuat seseorang lebih kreatif dan lebih efisien di duni ini. Namun, sekali lagi, itu bukan tujuan utama amal religius. Tujuan utamanya adalah bukanlah penemuan dunia ini, melainkan amal di dunia atas nama Tuhan. Melalui hal itu, kita bisa menemukan Tuhan.

Clayton: Dasar keyakinan Islam adalah Tuhan tidak hanya merupakan Sang Pencipta, tetapi, dalam makna tertentu, juga Sang Pengatur. Dengan kata lain, Dialah Pengatur alam semesta. Apakah dalam tradisi Islam pemahaman mengenai Tuhan semacam ini berubah setelah bersentuhan dengan sains modern atau tetap tidak terpengaruh? Adakah penentangan terhadap keyakinan dan aktivitas Tuhan ini, dikarenakan perkembangan pengetahuan kita atas dunia fisikal ini?

Guiderdoni: Ini pertanyaan yang sangat pelik dan ada beragam jawaban, sesuai dengan periode sejarah yang kita perhatikan. Kini , tidak terdapat perdebatan antara sains dan teologi Islam, karena teologi Islam sudah hampir lenyap. Saat ini kami, Dunia Islam, sedang berada dalam masa sulit. Ada dua kecenderungan utama dalam pemikiran Islam dewasa ini: yang pertama bisa disebut kecenderungan rasionalistis, atau modernisme, yang menerima hasil-hasil sains modern tanpa bersikap kritis. Kecenderungan ini berupa penerimaan menyeluruh terhadap semua hasil pemikiran dan teknologi modern, tanpa upaya kritis untuk mempertanyakan apakah hasil-hasil itu sesuai dengan pemikiran atau teologi Islam. Kecenderungan kedua adalah perspektif fundamentalis: segala sesuat yang datang dari peradaban Barat dianggap buruk hanya karena berasal dari Barat. Kaum fundamentalis ingin membangun sains Islam yang selaras dengan sains modern. Kaum fundamentalis menganggap sains modern sebagai sains Barat atau sains Kristen. Ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi intelek dan spiritual yang luar biasa dalam Islam. Sayangnya, perdebatan dalam Dunia Islam modern sangat langka. Harus ada jalan ketiga di antara kedua jalan ekstrem ini dalam memandang segala hal.

Malangnya, kebanyakan pemikir Muslim lebih tertarik pada masalah sosial dari pada masalah fundamental, karena negara-negara Islam menghadapi begitu banyak masalah ekonomi dan sosial. Jadi, kebanyakan refleksi dalam Islam berpusat pada masalah-masalah tersebut. Namun sesungguhnya, secara historis –d an karena alasan yang sangat kuat -- kecenderungan teologi Islam adalah membahas masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Kita tidak bisa mengurusi masalah-masalah sosial atau ekonomi dengan baik tanpa berefleksi pada masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Inilah kelemahan besar pemikiran Islam modern dan merupakan penyebab mengapa refleksi Islam modern terhadap masalah sosial dan ekonomi sering tidak mendalam. Itu pula penyebab mengapa kami tergiring pada situasi kekerasan sekarang ini. Pada dasarnya, filsafat Islam telah lenyap pada akhir Abad Pertengahan. Pemikiran Islam mengalami kemunduran kecuali pada bidang tasawuf. Pada bidang ini refleksi selalu ada, tetapi sedikit tersembunyi. Tidak mudah menemukan buku yang bagus atau seseorang yang merenungkan pertanyaan Anda tadi.

Clayton: Apakah Anda memahami kerja yang Anda lakukan sebagai bagian dari upaya membantu perubahan teologi Islam supaya lebih memikirkan pertanyaan ini, umpamanya kerja Anda dengan televisi Prancis?

Guiderdoni: Menurut saya, di Eropa kami lebih siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini karena kami memiliki dasar-dasar intelektual. Kami hidup dengan pertanyaan-pertanyaan semacam in. Mungkin kami lebih siap berpikir lebih tenang, karena kami tidak perlu menghadapi masalah-masalah ekonomi dan politik yang parah seperti di hadapi oleh banyak negara Muslim. Karenanya, kami punya kesempatan untuk berdiskusi. Contohnya, saya sering memberi kuliah tentang soal-soal ini di masjid-masjid dan menemui begitu banyak kaum muda Muslim yang tumbuh di Eropa dan telah meneima pendidikan budaya Barat. Mereka menanti refleksi semacam ini karena hal itu memang diperlukan.

Clayton: Jadi, jika kita berangkat dari anggapan bahwa pemikiran Islam di wilayah ini berada pada tahap awal dan bahwa jawaban yang muncul pastilah sangat spekulatif di mata seorang Muslim, apa pendapat pribadi Anda mengenai hubungan antara Tuhan, aktivitas Tuhan di dunia, dan deskripsi fisikal realitas?

Guiderdoni: Al-Quran tidak menjelaskan terlalu mendetail soal ini. Tapi, ada dua ayat yang bagi saya tampaknya sangat relevan. Satu ayat menyatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan matematis. Al-Quran mengatakan bahwa ”matahari dan rembulan beredar menurut suatu perhitungan” (QS Al-Rahman[55]:5).Ada “angka-angka’ di jagat raya. Al-Quran menarik perhatian pembacanya pada segala keteraturan di jagat raya. Ada juga ayat lainnya yang menyatakan bahwa “tiada yang berubah dalam ciptaan Tuhan”. Itu berarti ada keteraturan. Keteraturan yang kita lihat di alam dikarenakan terdapat tatanan sejak awal dan ini bisa di identifikasikan, tentu saja, dengan hukum-hukum alam yang di ciptakan oleh Tuhan. Tuhan membuat hukum-hukum alam menjadi mungkin. Tuhan adalah pemelihara hukum alam.

Clayton: Mungkinkah ini merupakan sebuah pemahaman tentang tindakan Tuhan yang dibahasakan dalam istilah-istilah keteraturan alam dan sifat penciptaan yang seolah memang sengaja di tata?

Guiderdoni: Benar: keteraturan dan tatanan yang terus berlangsung. Ada ayat lain yang sangat indah. Ayat itu menyatakan bahwa kita tak akan mampu menemukan “celah” dalam ciptaan Tuhan. Tak ada yang melenceng. Segalanya serba-teratur dan tertata. Sebab, Tuhan sendiri adalah tatanan. Tuhan adalah keindahan. Dan keindahan yang kita lihat dalam jagat raya adalah bayangan keindahan Tuhan. Ini yang pertama. Hal kedua, yang tak mengejutkan, bahwa keteraturan ini secara mendasar bersifat intelektual. Mereka di bentuk oleh sebuah kecerdasan yang juga menciptakan kecerdasan kita. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila kita mampu menjelajahi jagat raya, karena jagat raya bukanlah sebuah negeri asing; ia tak berbeda dari kita. Kita dan alam semesta di ciptakan oleh Kecerdasan yang sama.

Clayton: Dapatkah cara berpikir seperti ini membawa kita pada sebuah pandangan bahwa Tuhan mengendalikan alam semesta tidak dalam bentuk tindakan-tindakan langsung, tetapi dalam bentuk penciptaan awal berupa suatu tatanan yang kemudian membentuk sifat-sifat dunia di masa berikutnya? Atau perlukah menjaga konsep tentang tindakan Tuhan yang terus-menerus ?

Guiderdoni: Dalam teologi Islam, ada doktrin yang disebut pembaharuan penciptaan pada setiap saat. Alasannya adalah bahwa keteraturan di dunia tidak hanya sekadar ada; mereka tak bisa berjalan jika Tuhan tidak memperbarui mereka setiap saat. Gagasan ini juga terdapat dalam filsafat Barat dengan nama ”oksionalisme”. Teologi Islam menggunakan gagasan fisika atomistik, sehingga tentu saja cukup mirip dengan cara pandang kita sekarang terhadap jagat raya, yang juga bersifat atomistik. Namun, teologi klasik Asy’ariyyah, yang berkembang selama abad ke-19 dan ke-10 Masehi, menyatakan bahwa Tuhan menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden setiap saat. Dengan demikian, atom tak memiliki kemampuan untuk berbuat terhadap atom lain karena atom-atom tak cukup mengada. Kausalitas sepenuhnya diadakan oleh Tuhan. Ada sebuah contoh klasik yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang pemikir agung Islam. Ia mengatakan bahwa api pada dasarnya tak memiliki kemampuan untuk membakar selembar kertas. Jika kita mendekatkan api pada secarik kertas, kita melihat kertas itu terbakar, tetapi ini bukan karena kita mendekatkan api pada kertas itu. Ini adalah kehendak Tuhan karena api tak memiliki kapasitas dalam dirinya untuk membakar. Ini merupakan sebuah pernyataan yang kuat dan sangat bertentangan dengan cara kita memandang kausalitas di dunia. Kita bisa menerima bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan kausalitas, dengan hukum-hukum, tetapi kita merasa bahwa setelah momen penciptaan, Tuhan membiarkan hukum-hukum itu berjalan sendiri secara mekanistis. Teologi Islam klasik menyatakan bahwa pada akhirnya perdebatan tentang kausalitas amatlah rumit dan secara esensial bersifat metafisis. Siapakah yang membuat hukum alam? Apakah hukum-hukum alam terletak pada materi? Mengapa harus ada hukum alam? Newton mengatakan bahwa hukum gravitasi di mungkinkan karena Tuhan ada dan memelihara hukum gravitasi agar tetap ada sepanjang waktu. Akhirnya, saya pikir teologi Islam juga sama. Persoalan-persoalan kausalitas dan kekekalan hukum-hukum fisika adalah pertanyaan-pertanyaan utama yang tak terpecahkan oleh filsafat kita. Orang Barat cenderung membayangkan hukum alam sebagai sebuah deskripsi bersifat perkiraan atas segelintir keteraturan di dunia. Dalam cara pandang ini, materi akan didominasi oleh sebab dan kebetulan, dan kita berusaha menjelaskannya dengan meraba-raba. Namun, dalam cara pandang teologi Islam, hukum-hukum alam adalah “isi” alam semesta. Keteraturan, simetri, dan hukum-hukum kekekalan, itu semua hanya penjelasan kita, cara pikir kita tentang “materi”. Ini karena materi diciptakan oleh intelek. Ia di buat dengan simetri dan matematika.

Clayton: Alangkah menakjubkan. Kini, izinkan saya beralih ke pertanyaan terakhir, sebuah pertanyaan pribadi. Dengan cara bagaimanakah keyakinan agama Anda memotivasi kerja ilmiah Anda dan apakah riset ilmiah atau astrofisika mengilhami keyakinan religius Anda?

Guiderdoni: Barangkali, langkah pertama dalam sebuah perjalanan spiritual akan terkecewakan oleh sejumlah pertanyaan yang tak terjawab dan kita mencoba untuk mencari pengetahuan dengan cara lain ; contohnya dengan bemuhibah ke negeri-negeri Timur, meninggalkan segala kehidupan modern dan menyepi di biara atau padepokan. Namun, itu merupakan pengingkaran kenyataan. Latihan religius yang saya tempuh telah mengajari saya bahwa kita harus menerima realitas apa adanya, sesuai dengan batas-batas kita. Namun, kita harus juga menerima segala keindahan dan kekayaannya. Sains memiliki banyak batasan, tetapi juga memiliki keindahan dan daya tarik yang luar biasa. Inilah alasan mengapa saya terus menggelutinya dan berharap dapat mengembangkan diri di masa depan. Namun, saya melihat kedua aktivitas ini mengarah pada satu realitas yang sama. []

Kunjungi juga :
1. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=110667&kat_id=85&kat_id1=&kat_id2=
2. http://www.media-indonesia.com/resensi/details.asp?id=5

baca selengkapnya...

Friday, February 16, 2007

Da Vinci Code, Mengguncang Iman

Pada sampul depan buku The Da Vinci Code edisi bahasa Indonesia, ada sebaris kata yang provokatif, "Mengguncang Iman!" Berikut ini adalah salinan Bab 55 dari buku karya Dan Brown tersebut (dengan seizin penerbit Serambi). Rasanya memang cukup mengguncang ...

SOPHIE DUDUK di atas kursi panjang di samping Langdon. Dia meminum tehnya dan memakan kue scone. Dia merasakan pengaruh kafein dan makanan yang menyenangkan. Sir Leigh Teabing tampak berseri wajahnya ketika melangkah kaku ke depan perapian. Penopang kakinya berdentingan pada batu perapian.

“ Holy Grail, “ kata Teabing, suaranya terdengar seremonial. “ Umumnya orang menanyakan padaku di mana Grail itu sekarang. Aku khawatir itu pernyataan yang tidak akan pernah dapat kujawab.” Dia menoleh dan menatap langsung pada Sophie.
“ Namun… pertanyaan yang lebih relevan adalah: Apakah Holy Grail itu?”
Sophie merasa ada suasana akademis yang meninggi dari kedua orang teman lelakinya itu sekarang.

“ Untuk mengerti Grail sepenuhnya,” Teabing melanjutkan, “pertama-tama kita harus mengerti Alkitab. Sejauh mana kau mengerti Perjanjian Baru?”

Sophie menggerakkan bahunya. “ Sama sekali tidak mengerti. Aku dibesarkan oleh pria yang memuja Leonardo da Vinci.”

Teabing tampak terkejut dan juga senang. “ Sepotong jiwa yang tercerahkan. Istimewa! Kalau begitu, kau pasti tahu bahwa Leonardo adalah salah satu dari penjaga rahasia Holy Grail. Dan, dia menyembunyikan berbagai petunjuk dalam karya seninya.”

“ Ya, Robert telah mengatakannya padaku.”
“ Dan, pandangan Da Vinci pada Perjanjian Baru?”
“ Aku tidak tahu.”

Mata Teabing bersinar riang ketika dia menunjuk ke rak buku di seberang ruangan. “ Robert, bisa tolong? Di dasar rak. La Storia di Leonardo.”

Langdon bergerak ke seberang ruangan, menemukan sebuah buku seni besar, kemudian membawanya, lalu meletakkannya di atas meja di hadapan mereka. Teabing memutar buku itu hingga menghadap ke Sophie. Dia membuka sampul tebalnya dan menunjuk ke arah serangkaian kutipan pada bagian dalam dari sampul belakang. “ Dari buku catatan Da Vinci tentang polemik dan spekulasi, “ kata Teabing, sambil menunjukkan satu kutipan yang khusus. “ Kupikir kau akan merasa ini relevan dengan diskusi kita.”

Sophie membaca kata-kata itu.
Banyak orang menjual angan-angan dan mukjizat-mukjizat semu, mengelabui orang-orang bodoh.

___LEONARDO DA VINCI

“Ini ada satu lagi, “ kata Teabing, sambil menunjuk pada kutipan yang lain.

Kelalaian membuta menyesatkan kita O! Makhluk hidup celaka, buka mata kalian!

___LEONARDO DA VINCI

Sophie merasa agak merinding. “ Da Vinci berbicara tentang Alkitab?”
Teabing mengangguk.” Perasaan Leonardo tentang Alkitab berhubungan langsung dengan Holy Grail. Kenyataannya, Da Vinci melukis Grail yang asli, yang akan kutunjukkan kepadamu sebentar lagi, tetapi pertama-tama kita harus berbicara tentang Alkitab.” Teabing tersenyum. “Dan, segala yang kau ingin tahu tentang Alkitab dapat disimpulkan oleh doktor agama yang terkenal, Martyn Percy.” Teabing berdaham dan menyatakan, “Alkitab tidak datang dengan cara difaks dari surga.”

“ Maaf?”
“Alkitab adalah buatan manusia, Nona. Bukan Tuhan. Alkitab tidak jatuh secara ajaib dari awan. Orang membuatnya sebagai catatan sejarah dari hiruk-pikuk zaman, dan itu telah melibatkan penerjemahan, penambahan, dan revisi yang tak terhitung. Sejarah tidak pernah punya versi pasti buku itu.”

Okay.”
“ Yesus Kristus merupakan tokoh sejarah dengan pengaruh luar biasa, mungkin pemimpin yang paling membingungkan dan paling melahirkan inspirasi yang pernah ada di dunia. Seperti Messiah yang diramalkan, Yesus melebihi raja-raja, memberi inspirasi kepada jutaan orang, dan mendirikan filosofi baru. Sebagai keturunan Raja Salomo dan Raja David, Yesus berhak mewarisi takhta Raja Yahudi. Dapat dimengerti, kehidupan-Nya dicatat oleh ribuan pengikut di seluruh bumi ini.” Teabing terdiam sejenak untuk menghirup tehnya, kemudian meletakkan cangkirnya kembali di atas bibir perapian. “ Lebih dari delapan puluh ajaran dianggap berasal dari Perjanjian Baru, namun hanya relatif sedikit yang dipilih untuk dicantumkan -- di antaranya Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.”

“ Siapa yang memilih ajaran untuk dicantumkan?” tanya Sophie.
“ Aha!” Teabing meledak bersemangat. “ Ironi mendasar dari Kristen! Alkitab yang kita kenal sekarang ini disusun oleh kaisar Roma yang pagan, Konstantin Agung.”

“ Kukira Konstantin penganut Kristen, “ kata Sophie.
“ Tak benar, “ Teabing terbatuk. “ Dia seorang pagan seumur hidup. Dia dibaptis pada ranjang kematiannya, ketika dirinya terlalu lemah untuk melawan. Di masa Konstantin, agama resmi Romawi adalah pemujaan matahari -- kelompok pemujaan Sol Invictus, atau Matahari Tak Tertandingi -- dan Konstantin adalah pendeta kepalanya. Celaka baginya, sebuah guncangan religius tumbuh dan mencengkeram Roma. Tiga abad setelah penyaliban Yesus Kristus, para pengikut Kristus tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang, dan konflik itu tumbuh sedemikian besar sehingga mengancam akan membelah Roma menjadi dua. Konstantin memutuskan bahwa sesuatu harus dilakukan. Pada tahun 325 Masehi, ia memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal. Kristen.”

Sophie terkejut. “ Mengapa seorang kaisar pagan memilih Kristen sebagai agama resmi?”
Teabing tergelak.” Konstantin adalah pebisnis kawakan. Dia dapat melihat bahwa Kristen sedang bangkit, dan ia sekadar bertaruh pada kuda pemenang. Para sejarawan masih memuji kecemerlangan Konstantin yang mengalihkan kaum pagan pemuja matahari menjadi Kristen. Dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus pagan ke dalam adat-istiadat Kristen yang sedang tumbuh, dia telah menciptakan sejenis agama hibrid yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.”

Transmogrifikasi,” ujar Langdon.” Jejak-jejak agama pagan dalam simbologi Kristen tak terbantahkan. Cakram matahari kaum Mesir Kuno menjadi lingkaran halo para santo Katholik. Berbagai piktogram Isis yang sedang menyusui putranya yang lahir karena mukjizat, Horus, menjadi cetak biru bagi berbagai penggambaran modern kita akan Perawan Maria yang sedang menyusui bayi Yesus. Dan, nyaris semua unsur dalam ritus Katholik -- mitra, altar, doksologi, dan komuni, atau tindakan “ makan Tuhan” –diambil langsung dari agama-agama misteri pagan di masa awal.”

Teabing mengerang. “ Jangan biarkan seorang simbolog mulai bicara tentang ikon-ikon Kristen. Tak ada yang asli dalam Kristen. Mithras, Tuhan pra-Kristen -- disebut Putra Tuhan dan Cahaya Dunia -- lahir dan mati pada 25 Desember, dikubur dalam sebuah makam batu, dan kemudian dibangkitkan dalam tiga hari. Omong-omong, 25 Desember juga hari lahir Osiris, Adonis, dan Dionysus. Krishna yang baru lahir dihadiahi emas, dupa, dan kemenyan. Bahkan hari suci mingguan orang Kristen dicuri dari kaum pagan.”

“ Apa maksudmu?”
“ Aslinya,” kata Langdon, “ Kristen menghormati Sabat Yahudi pada hari sabtu, tapi Konstantin menggesernya agar bertemu dengan hari kaum pagan memuliakan matahari.” Dia mengambil jeda, menyeringai. “ Hingga hari ini, kebanyakan jemaat gereja menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan pada dewa matahari kaum pagan -- Sun-day, hari matahari.

Kepala Sophie berputar tak karuan. “ Dan segala hal ini berhubungan dengan Grail?”
“ Memang,” kata Teabing.” Bersabarlah sejenak. Selama fusi agama-agama itu, Konstantin perlu memperkuat tradisi Kristen baru, dan dia mengadakan sebuah pertemuan ekumenikal termasyhur, yang dikenal dengan nama Konsili Nicea.”

Sophie hanya mendengarnya sebagai tempat lahir Pengakuan Iman Nicea.
“ Dalam pertemuan ini,” kata Teabing,” banyak aspek dari Kristen diperdebatkan dan ditetapkan berdasarkan voting -- tanggal Paskah, peranan para uskup, administrasi sekramen, dan, tentu saja, ketuhanan Yesus.”

“Aku tak mengerti.ketuhanan Yesus ?”
Sayangku, “tegas Teabing,“ hingga saat itu dalam sejarah, Yesus di pandang oleh para pengikut-Nya sebagai nabi yang dapat mati… seorang lelaki agung yang punya kekuatan, tapi tak lebih dari seorang manusia. Seorang fana, manusia biasa.”

“Bukan Putra Tuhan ?”
“Benar,” sahut Teabing.”Penetapan Yesus sebagai’ Putra Tuhan ‘ secara resmi di usulkan dan di tetapkan melalui voting oleh Konsili Nicea.“

“Tunggu dulu. Maksudmu, keilahian Yesus adalah hasil voting ?”
“Sebuah voting yang ketat, sebenarnya,” tambah Teabing.
“Walau begitu, menetapkan keilahian Kristus penting sekali bagi penyatuan lebih jauh kekaisara Romawi dan bagi basis kekuatan Vatikan yang baru. Dengan secara resmi memuja Yesus sebagai Putra Tuhan, Konstantin mengubah Yesus menjadi dewa yang berada di luar cakupan dunia manusia, sebuah entitas dengan kekuatan yang tak tertandingi. Ini bukan hanya menyisihkan tantangan selanjutnya dari kaum pagan terhadap Kristen, tapi membuat para pengikut Kristus ini dapat menebus diri mereka hanya melalui pembuatan sebuah saluran suci -- Gereja Katholik Roma.”

Sophie melirik Langdon, dan Langdon memberinya sebuah anggukan lembut tanda pembenaran.
“Semua ini masalah kekuasaan,” lanjut Teabing.” Kristus sebagai juru selamat adalah amat penting bagi berfungsinya Gereja dan negara. Banyak sarjana mengklaim Gereja masa awal benar-benar mencuri Yesus daripara pengikut asli-Nya, dengan membajak pesan-pesan manusiawi-Nya, mengaburkannya dalam juba ketuhanan yang tak tertembus, dan menggunakannya untuk meluaskan kekuasaan mereka. Aku telah menulis beberapa buku mengenai topik ini.”

“ Aku menduga, orang-orang Kristen yang taat mengirimimu surat-surat permusuhan setiap hari?”
“ Mengapa mereka mau melakukan itu?” sergah Teabing.” Mayoritas besar orang Kristen terdidik mengetahui sejarah iman mereka. Yesus memanglah seorang manusia agung dan berkuasa. Manuver politik bawah tangan dari Konstantin tidak memupuskan keagungan hidup Kristus. Tak ada yang mengatakan bahwa Kristus adalah tokoh gadungan, atau menyangkal bahwa Dia berjalan di muka bumi dan mengilhami jutaan orang untuk memperbaiki hidup mereka. Yang kita katakan di sini hanyalah, Konstantin mengambil keuntungan dari pengaruh dan arti penting Kristus yang besar. Dan dalam melakukan itu, dia telah membentuk wajah Kristen seperti yang kita kenal sekarang.”

Sophie menatap sekilas buku seni di hadapannya, bergaiarah untuk terus maju dan melihat lukisan Holy Grail dari Da Vinci.
“ Masalahnya adalah ini, “ kata Teabing, kini bicaranya lebih cepat. “ Karena Konstantin meningkatkan status Yesus hampir empat abad setelah kematian Yesus, ribuan dokumen yang mencatat kehidupan-Nya sebagai manusia biasa sudah terlanjur ada. Untuk menulis ulang buku-buku sejarah, Konstantin tahu bahwa ia perlu mengambil sebuah langkah berani. Dari sinilah timbul sebuah momen paling menentukan dalam sejarah Kristen.” Teabing berhenti sejenak, menatap Sophie.” Konstantin menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah Alkitab baru, yang meniadakan semua ajaran yang berbicara tentang segala perilaku manusiawi Yesus, serta memasukkan ajaran-ajaran yang membuat-Nya seakan Tuhan. Injil-injil terdahulu dianggap melanggar hukum, lalu dikumpulkan dan dibakar.”

“ Sebuah catatan menarik, “ tambah Langdon.” Siapa pun yang memilih Injil-injil terlarang dan bukannya versi Konstantin akan dianggap sebagai kaum bidah, heretic. Kata heretic diambil dari momen sejarah tersebut. Kata Latin haereticus berarti’pilihan’. Mereka yang’memilih’ sejarah asli dari Kristus adalah kaum heretic pertama di dunia.”

“ Untungnya bagi para sejarawan,” kata Teabing, “ beberapa gospel yang dicoba untuk dimusnahkan oleh Konstantin berhasil diselamatkan. Dead Sea Scrolls, Gulungan-Gulungan Laut Mati, ditemukan pada tahun 1950-an tersembunyi di sebuah gua dekat Qumran di gurun Yudea. Dan, tentu saja, Gulungan Koptik pada tahun 1945 di Nag Hammadi. Sebagai tambahan dari penuturan kisah Grail sejati, dokumen-dokumen ini berbicara tentang kependetaan Kristus dalam keadaan-keadaan yang amat manusiawi. Tentu saja Vatikan, dalam memelihara tradisi misinformasi mereka, mencoba amat keras untuk menekan pengabaran gulungan-gulungan naskah ini. Mengapa tidak? Gulungan-gulungan itu menggaris bawahi ketidakcocokkan dan pemalsuan sejarah yang mencolok, jelas-jelas membenarkan bahwa Alkitab modern disusun dan diedit oleh manusia yang memiliki sebuah agenda politis-untuk mempromosikan keilahian seorang lelaki bernama Yesus Kristus dan memanfaatkan pengaruh-Nya untuk mengukuhkan basis kuasa mereka sendiru.”

“Namun, “ sanggah Langdon,” amatlah penting untuk mengingat bahwa hasrat Gereja modern untuk menekan dokumen-dokumen ini datang dari kepercayaan tulus yang lahir dari pandangan mapan mereka akan Kristus. Vatikan terbangun dari orang-orang yang teramat saleh, yang sungguh-sungguh percaya bahwa dokumen-dokumen yang bertentangan ini tak bisa lain adalah kesaksian palsu.”

Teabing tergelak, sambil menyantaikan dirinya pada sebuah kursi di hadapan Sophie.’ Seperti yang daapt kau lihat, profesor kita ini punya hati yang jauh lebih lunak terhadap Roma dari pada hatiku. Walau begitu, ia benar mengenai kaum pendeta yang meyakini dokumen-dokumen penentang ini sebagai kesaksian palsu. Itu dapat di mengerti. Alkitab versi Konstantin telah menjadi kebenaran mereka selama berabad-abad. Tiada seorang pun yang lebih terindoktrinasi kecuali pendoktrin itu sendiri.”

“Maksud dia,”kata Langdon,”adalah bahwa kita memuja tuhan-tuhan dari para leluhur kita.”
“Maksudku,”sergah Teabing,”adalah bahwa nyaris segala yang di ajarkan para leluhur kita tentang Kristus adalah palsu. Sebagaimana kisah-kisah Holy Grail ini.”
Sophie memandang lagi kutipan Da Vinci di depannya. Kebodohan membutakan telah menyesatkan kita.O! Orang-orang bodoh, bukalah mata kalian!

Teabing meraih buku ini dan membuka lembar demi lembar hingga ke tengahnya.”Dan akhirnya, sebelum aku tunjukkan padamu lukisan-lukisan Da Vinci tentang Holy Grail, aku ingin kau melihat ini sekilas.”Ia membuka buku itu tepat pada sebuah grafis warna-warni yang membentang sepenuh halaman.”Aku pikir kau mengenali lukisan ini?”

Dia bercanda, bukan ? Sophie menatap lukisan paling masyhur sepanjang masa, The Last Supper, lukisan legendaris Da Vinci dari dinding Santa Maria delle Grazie di Milan. Lukisan yang meluntur itu menggambarkan Yesus dan para murid-Nya pada saat Yesus mengumumkan bahwa salah satu dari mereka akan menghianati-Nya.”Ya, aku tahu lukisan itu.”

“Mungkin kau mau memanjakanku dalam permainan ini? Tolong tutup matamu.”
Merasa ragu, Sophie menutup matanya.
“Dimana Yesus duduk?”tanya Teabing.
“Di tengah.”
“Bagus. Apa makanan yang di santap Yesus dan para murid-Nya ?”
“Roti.” Jelas.
“Bagus sekali. Dan apa minumnya ?”
“Anggur. Mereka minum anggur.”
“Hebat. Dan satu pertanyaan final. Berapa banyak gelas anggur di atas meja ?”

Sophie berhenti sejenak, menyadari bahwa ini pertanyaan menjebak. Dan setelah makan malam, Yesus mengambil secangkir anggur, berbagi dengan para murid-Nya.”Satu cangkir,” katanya.” Cawan suci.”Mangkuk Kristus. Holy Grail.”Yesus membagi-bagikan secawan anggur, sebagaimana yang di lakukan kaum Kristen modern pada komuni.”

Teabing mendesah.”Buka matamu.”
Sophie membuka matanya. Teabing menyeringai angkuh. Sophie memandang kebawah, kelukisan itu,melihat dengan takjub bahwa setiap orang di meja itu memegang segelas anggur, termasuk Kristus sendiri. Tiga belas cawan. Selain itu, cawan-cawan itu tampak kecil, tak bertangkai, dan terbuat dari kaca. Tak ada satupun cawan sesungguhnya dalam lukisan itu. tiada Holy Grail.

Mata Teabing berkedip-kedip. “Tidakkah sedikit aneh menurutmu, mengingat bahwa baik Alkitab dan legenda kita yang lazim tentang Holy Grail merayakan momen ini sebagai kemunculan pasti dari Holy Grail. Anehnya, Da Vinci tampak lupa untuk melukis Cawan Kristus.”

“Tentunya para sarjana seni telah mencatat hal ini.”
“Kau akan terkejut jika mengetahui berbagai anomali yang di cakupkan Da Vinci dalam lukisan ini, yang kebanyakan sarjana tak melihatnya atau sekadar memilih untuk mengabaikannya. Gambar ini, sesungguhnya, adalah kunci keseluruhan misteri Holy Grail. Da Vinci membentangkan semuanya secara terbuka dalam The Last Supper.”

Sophie memindai karya itu dengan bersemangat.”Apakah lukisan ini mengatakan pada kita apa Holy Grail itu sesungguhnya?” “Bukan apa,”bisik Teabing.”Tapi siapa dia. Holy Grail bukanlah sebuah benda. Sesungguhnya, Holy Grail adalah … seseorang.”

Kunjungi penerbit The Da Vinci Code di : www.serambi.co.id

Kunjugni juga :
1. http://yulian.firdaus.or.id/2006/05/12/kode-da-vinci/
2. http://www.st-yohanesbosco.org/bosconian-detail.php?id=425&sub_id=133

baca selengkapnya...

Sunday, February 11, 2007

Kita Tidak Pernah Tahu

Sesungguhnya, masing-masing dari kita tidak pernah tahu dengan persis kebenaran akan pernyataan ilmiah bahwa bulan adalah benda langit yang mengitari bumi. Begitu pula dengan pernyataan para astronom bahwa matahari adalah pusat tata surya, di mana delapan planet (Pluto barusan disepakati oleh astronom bukan sebagai planet) anggota tata surya – termasuk bumi -- mengelilingi matahari itu. Lalu kita tahu dari mana ?

Ya, kita tahu dari kata orang. Kita tahu dari para ilmuwan dan peneliti. Kita tahu dari buku-buku referensi ilmiah tentang angkasa dan tata surya. Apakah para ilmuwan dan peneliti tersebut melihat dengan persis bahwa delapan planet itu mengelilingi matahari ? Saya yakin, mereka belum pernah ada satupun yang dengan persis, dengan mata kepala sendiri, menyaksikan berputarnya delapan planet mengelilingi matahari. Karena, untuk bisa membuktikan secara tepat seperti itu, pengamat harus berada di suatu titik di angkasa, di luar sistem tata surya kita (transendens), diam di situ, lalu melakukan pengamatan terhadap pergerakan planet-planet anggota tata surya mengelilingi matahari, selama 164,8 tahun. Mengapa selama itu ? Karena selama itulah planet terluar tata surya kita, Neptunus, menghabiskan satu putaran mengelilingi matahari. Setelah proses pengamatan ini, barulah pengamat atau ilmuwan tadi yakin benar, dengan mata kepala sendiri, tentang eksistensi tatasurya kita.

Apakah selama ini pengamatan seperti itu pernah dilakukan ilmuwan ? Tidak. Mereka sekedar mengambil kesimpulan dari pengamatan berpuluh-puluh tahun terhadap pergerakan benda-benda langit yang tampak dari bumi. Ya...., sekali lagi, mereka sekedar mengambil kesimpulan, dari pengamatan terhadap tanda-tanda, ayat-ayat Allah di alam semesta, yang teramati dari bumi. Mengapa mereka bisa yakin terhadap kesimpulan itu ? Karena mereka menggunakan akalnya. Satu fakta telah kita saksikan, bahwa untuk membuktikan keberadaan sesuatu, kita tidak perlu tahu dengan mata kepala sendiri secara utuh sesuatu itu. Kita bisa menyimpulkan dari gejala-gejala, dan tanda-tanda yang bisa kita lihat dan rasakan.

Saya rasa, begitu pulalah manusia memahami keberadaan Sang Pencipta, Sang Pengatur, Sang Maha Kuasa, Allah SWT. Sangat naiflah orang-orang yang mengira bahwa tidak ada Tuhan, karena dia tidak bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri keberadaan Tuhan. Kalau kita kembali ke persoalan tatasurya di atas, mengapa kita kita tidak pernah bisa mengamati sistem tata surya dengan utuh ? Jawabannya adalah karena sistem tata surya itu dimensinya terlalu besar untuk diamati oleh seorang manusia, baik secara dimensi ruang maupun waktu. Justru manusia itu sendiri berada di dalam sistem tata surya itu sendiri. Gunung akan tampak sosoknya yang megah saat kita melihat dari kejauhan. Saat kita berada di puncak gunung itu, bentuk gunung itu tidak lagi terlihat, karena kita berada tepat di atasnya.

Begitu pula ketika kita bertanya, mengapa kita tidak pernah tahu dengan persis keberadaan Tuhan. Jawabannnya karena eksistensi Tuhan itu memiliki dimensi yang jauh lebih besar daripada yang mampu diamati oleh manusia. Bahkan kita hanya sekedar makhluk kecil ciptan-Nya. Dia tidak bisa diserupakan dengan apapun. Karena bila manusia ingin menyerupakan/mengumpamakan sesuatu, pastilah dengan sesuatu yang pernah diketahuinya, atau yang pernah terekam oleh semesta pengetahuannya. Padahal, pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas, banyak ilmu yang sampai saat ini masih belum diketahui dan menjadi misteri bagi manusia. Seperti ketika mengamati tatasurya, kita hanya mampu untuk mengamati tanda-tanda, gejala-gejala, Ayat-ayat Kauniyah yang mampu kita amati, yang mau tidak mau membawa kita kepada kesimpulan mengenai keberadaan Tuhan.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS2:164)

Mengenai penyerupaan Tuhan dengan sesuatu, saya jadi ingat ajaran kaum Nasrani. Saya sangat prihatin dengan keyakinan kaum Nasrani bahwa Tuhan telah mewujud kepada sosok manusia Yesus, yang kemudian keyakinan itu sangat dibanggakannya, bahwa merekalah satu-satunya penganut Agama Ibrahim yang memiliki Tuhan yang bisa menemui umatnya.

Para ilmuwan penganut teori evolusi Darwin, mengira bahwa kejadian-kejadian di alam semesta ini terjadi secara kebetulan, tanpa campur tangan Tuhan. Kebetulan dahulu terjadi reaksi biologi dan kimia, yang melahirkan makhluk hidup bersel satu. Lalu kebetulan, lingkungan hidup memiliki kondisi yang memungkinkan makhluk bersel satu tersebut bermutasi, menggandakan selnya, sehingga menjadi makhluk bersel banyak. Kebetulan, lingkungan makhluk bersel banyak itu memicu terjadinya seleksi alam, sehingga hanya makhluk bersel banyak dengan bentuk tertentu saja yang mampu bertahan hidup dan bereproduksi. Demikian seterusnya, serba kebetulan, hingga jadilah manusia dan alam sekitarnya seperti yang terlihat saat ini.

Sekarang kita kembali ke diri kita sendiri. Maukah kita dianggap terlahir ke dunia ini karena hanya kebetulan ? Wah, kalau kebetulan, berarti kelahiran kita tidak diinginkan dong sama orang tua kita, alias kecelakaan. Kita terlahir, pasti didahului dengan niat dan kehendak dari dua orang tua kita. Keberadaan orang tua kita pun pasti didahului oleh kehendak kakek dan nenek kita. Semua yang ada, pasti didahului oleh kehendak, bukan kebetulan. Kalau kita runut, kehendak-kehendak itu akan berawal dari kehendak Yang Maha Kuasa.

Bila kita mengikuti teori kebetulan, kita akan berada pada samudera kebetulan yang sangat luas :

Kebetulan kita punya dua mata, kiri dan kanan, sehingga kita memiliki kemampuan paralaks, yang membuat kita bisa menaksir jarak (jauh/dekat) benda yang kita pandang, dan benda yang kita lihat menjadi tampak lebih berdimensi 3.

Kebetulan kita memiliki dua telinga, stereo, sehingga kita bisa menaksir jarak dan posisi sumber suara terhadap diri kita.

Kebetulan jantung kita berdenyut, tanpa bisa kita kendalikan, sehingga distribusi darah, oksigen, dan zat-zat makanan dalam tubuh bisa terlaksana.

Kebetulan tuba falopii, saluran telur dalam organ reproduksi wanita, memiliki bulu-bulu lembut, yang bergerak harmonis, sehingga telur yang telah dibuahi sperma, dapat bergerak menuju rahim.

Kebetulan, komposisi udara yang kita hirup sangat pas, tidak terlalu banyak O2, sehingga benda-benda menjadi sangat mudah terbakar.

Kebetulan terdapat banyak tanaman dan hewan, yang bisa dikonsumsi sebagai makanan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya.

Kebetulan kita berjenis laki-laki dan perempuan, sehingga manusia bisa saling mengasihi dan menurunkan generasi.

Kebetulan bumi berotasi pada porosnya dengan kecepatan yang sesuai, tidak terlalu lambat, sehingga sisi bumi yang terkena sinar matahari menjadi terbakar, atau terlalu cepat, sehingga benda-benda di permukaan bumi mudah melayang karena gaya sentrifugal.

Dan Anda bisa melanjutkan lagi kebetulan-kebetulan lain yang jumlahnya tak terhingga ...

Tidaklah mungkin segala sesuatu terjadi secara kebetulan dan sia-sia.

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. 3:191)

Wallahu a'lam

Ket. gambar : diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Tata_surya

baca selengkapnya...

Thursday, February 8, 2007

James Yee, Kapten Muslim U.S. Army

Ini adalah tulisan yang dicuplik dari buku For God and Country, karya James Yee, seorang Kapten Muslim U.S. Army. Dalam buku itu (terbitan Dastan 2006), ia mengisahkan dirinya sendiri saat menjadi korban paranoid Amerika.

Pada saat aku mulai dewasa, agama bukanlah hal yang sangat berarti dalam hidupku. Aku merasa enggan mengikuti sekolah pagi setiap akhir pekan di gereja Protestan Lutheran, bersama ibuku. Seperti halnya teman sekelasku yang lain, aku juga merayakan Natal dan Paskah, namun aku bukanlah pengikut agama yang taat. Kemudian semuanya berubah tidak lama setelah aku tamat.

Beberapa saat setelah lulus dari West Point, aku dan Mike pergi ke Myrtle Beach, Carolina selatan, bergabung dengan anggota Zoo Crew lainnya, bersantai melepaskan diri dari tahun-tahun yang menegangkan selama di West Point. Aku di jadwalkan berangkat mengikuti pendidikan dasar perwira artileri pertahanan angkatan udara di Fort Bliss – El Passo, Texas. Dari sana kemudian aku nanti akan ditugaskan sebagai operator rudal Patriot di Bitburg, Jerman.

Saat perjalanan pulang dari Myrtle Beach, aku mampir di Washington D.C. untuk menemui Nichole. Sudah lama aku tidak mengunjunginya, terutama setelah ia berangkat dari West Point, namun kami masih tetap berteman baik dan saling berkomunikasi melalui telepon. Saat mengunjungi Nichole, aku berdiskusi serius dengan teman sekamarnya, seorang gadis muda bernama Sonji. Dia saat itu sedang mempelajari agama, dan mulai tertarik dengan ajaran Islam -- agama yang aku sendiri kurang memiliki pemahaman tentangnya.

“Bagaimana pendapatmu tentang pemikiran yang meyakini Tuhan yang tak memiliki anak atau keturunan?” tanyanya pada suatu sore, saat kami berjalan-jalan mencari santapan malam.

“Aku yakin bahwa ada satu Tuhan,“ jawabku. “Dan Yesus adalah anak Tuhan.”

“Aku juga yakin akan adanya Yesus,” ujarnya. “Tapi, menurut pendapatku, dia adalah seorang nabi, bukan anak Tuhan.”

Aku membantah pendapatnya, bahwa itu tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang kupelajari dan aku tidak setuju dengan pendapatnya secara keseluruhan. “Aku yakin dengan ajaran trinitas, satu Tuhan yang ada pada tiga manusia, tiga dalam satu,“ kataku. Sonji juga dibesarkan dalam agama Kristen dan mengerti akan hal ini sepenuhnya, dan ia memperlihatkan perbedaan yang amat menonjol antara Islam dan Kristen : Islam menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan dan Yesus – yang merupakan sosok yang luar biasa penting bagi ajaran Kristen – bukanlah anak Tuhan, melainkan seorang nabi.

“ Apa yang kaukatakan itu tidak sesuai dengan ajaran Kristen,” jawabku.

” Pernahkah kau membaca tentang agama Islam?“ tanya Sonji.

” Belum, ” jawabku dengan jujur.

” Nah, kalau begitu bagaimana kau bisa mengkritik sesuatu yang tidak kau ketahui apa pun tentangnya?” tanyanya lagi.

Aku tidak pernah dengan mudah mengakui kekalahan dalam perdebatan itu, hanya saja aku belum menemukan jawaban yang memuaskan. Aku katakan padanya bahwa aku akan mencari tahu tentang Islam dan pemikiran-pemikiran yang telah dinyatakannya padaku. Saat itu aku berharap bisa menghubunginya di kemudian hari dan menunjukkan bahwa apa-apa yang telah dikatakannya padaku saat itu adalah salah dan aku akan menang dalam perdebatan itu.

Kemudian aku membeli sebuah buku yang berjudul Understanding Islam : An Introduction to the Muslim World karya Thomas W. Lippman dan mulai membacanya. Saat itu aku berharap akan menemukan hal-hal aneh tentang islam, namun anehnya aku malah menemukan bahwa ajaran Islam memiliki kemiripan dengan apa yang kuyakini dalam agamaku, Kriten Protestan. Orang Islam percaya bahwa Yesus dilahirkan oleh Bunda Maria dengan suatu keajaiban, dan ia adalah seseorang yang mengajarkan pada umatnya untuk percaya akan adanya satu Tuhan, dan percaya akan adanya hari pembalasan. Semuanya ini sudah aku ketahui dan aku yakini.

Aku terus membaca, mulai berkonsentrasi pada kisah Nabi Muhammad. Orang Islam percaya bahwa Muhammad adalah satu-satunya nabi yang ada sesudah Yesus. Sangat sulit untuk menyangkal bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang pemimpin agama yang luar biasa. Keberadaan umat Islam di dunia saat ini bahkan sudah menjadi bukti akan kehebatannya. Seperti halnya Yesus, Muhammad juga mengajarkan kepada umatnya untuk percaya dan yakin pada satu Tuhan. Aku mempercayai Ibrahim, Musa, Nuh, Daud, Yusuf, dan Yesus, jadi mengapa aku tidak mempercayai adanya Muhammad ?

Perbedaan yang paling mencolok yang aku temukan antara ajaran Kristen dan Islam adalah tentang ketuhanan Yesus. Apakah dia betul-betul anak Tuhan atau bukan ? Yesus adalah manusia biasa. Dia butuh makan. Dia butuh waktu untuk tidur. Dia merasakan penderitaan dan memiliki dan memiliki sifat keTuhanan pada saat yang bersamaan. Sepanjang hidupku sebagai penganut ajaran Protestan Lutheran, aku biasanya berdoa pada Yesus, yang saat itu aku yakini sebagai Tuhan Bapa. Aku yakin mereka sama dan adalah satu. Orang Islam berdoa kepada Tuhan dan bukan kepada Muhammad. Ini adalah perbedaan jelas yang mulai aku mengerti dan ini sangat masuk akal.

Setelah selesai pendidikan dasar artileri pada Januari 1991, aku mendapatkan pelatihan lanjutan di Fort Knox, Kentucky. Di sini aku bertemu dengan tiga orang perwira Mesir yang ketiganya beragama Islam. Kami kemudian menjadi akrab dan menghabiskan waktu berbincang mengenai agama. Mereka menunjukkan padaku ruangan kecil di dalam rumahnya sebagai tempat mereka beribadah dan menjawab pertamyaan-pertanyaanku tentang bagaimana mereka melakukan ibadah dan keyakinan mereka akan Islam. Mereka menjelaskan tentang lima fondasi Islam yaitu : percaya pada Tuhan, melaksanakan sholat lima waktu, bersedekah, menjalankan puasa di Bulan Ramadhan, dan melakukan ibadah Haji ke kota Mekkah - seperti yang sudah aku baca. Para perwira itu sangat ramah dan bersahabat, dan aku merasakan mereka memiliki sesuatu di dalam diri mereka yang menciptakan adanya ikatan spritual satu sama lain.

Pada saat aku kembali ke New Jersey mengunjungi kedua orang tuaku pada minggu terakhir kunjungan dinas sebelum diberangkatkan ke Jerman dengan kapal, aku saat itu memiliki keyakinan kuat untuk menjadikan Islam sebagai bagian hidupku dan memutuskan untuk pindah agama. Pada tanggal 9 April 1991, aku mengucapkan syahadat, yang dalam bahasa Arab merupakan sebuah kesaksian. Di hadapan umum aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, yang merupakan dasar pertama dalam ajaran agama Islam. Sangat sederhana. Kemudian aku menggunakan Yusuf sebagai nama panggilan di antara sesama penganut agama Islam lainnya. Yusuf dalam bahasa Arab berarti Joseph, yang saat itu merupakan nama tengahku, sesudah nama keluarga. Setelah itu, Imam -- yang menjadi pimpinan agama --masjid di Newark memperkenalkanku pada seluruh umat Islam yang hadir saat itu dan mereka menyambutku dengan ramah. Aku diberi satu buah Alquran, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh penerjemah Alquran terkenal yaitu Yusuf Ali.

Pada awalnya keluargaku beranggapan bahwa ketertarikanku pada Islam hanya bersifat sementara saja. Namun saat mereka menyadari bahwa aku serius dengan apa yang kulakukan, mereka akhirnya memberikan dukungan yang luar biasa.

Aku masih harus belajar banyak tentang Islam, dan sebelum berangkat ke Jerman aku membeli satu set kitab hadis Sahih Muslim yang terdiri dari empat seri. Sahih Muslim adalah kumpulan pemikiran, perbuatan, perkataan Nabi Muhammad – yang kemudian disebut sebagai hadis dalam kesusasteraan Islam. Jika membacanya, aku akan terhanyut hingga berjam-jam, sangat menarik.

Pada waktu itu, Sonji baru saja menamatkan pendidikannya dan kembali ke Newark, New Jersey. Di sinilah ia dibesarkan, dan jaraknya tidak begitu jauh dengan daerah asalku, Springfield. Aku mampir mengunjunginya, dan dia mengatakan padaku bahwa beberapa bulan setelah kami berdiskusi sore itu, ia memeluk agama Islam. Pada saat aku menghubunginya, dia berharap bertemu denganku dan bertukar pendapat tentang agama; dia heran mengapa aku begitu serius mendalami Islam. Aku katakan padanya bagaimana aku menghargainya sebagai seorang yang memberikan inspirasi padaku untuk mempelajari dan mengenal lebih jauh agama Islam.

Aku sangat tertarik padanya. Kami sering menghabiskan waktu bersama, selama dua minggu sebelum aku berangkat ke Jerman, dan itulah pertama kalinya aku merasa jatuh cinta. Cinta pandangan pertama yang benar-benar tanpa kekangan, aku berharap suatu hari aku akan menikahi Sonji. Namun pada saat aku mulai melintasi Atlantik dan dia mulai serius dengan impiannya menyelesaikan pendidikan di bidang hukum untuk menjadi pengacara, kami memutuskan hubungan. Namun kami tetap bersahabat, dan masih sering berhubungan.

Kunjungi : www.pustakazahra.com, www.dastanbooks.com/book_reviews.php?id=40

Kunjungi juga :
1. http://mualaf.com/modules.php?name=News&file=article&sid=213
2. http://swaramuslim.net/more.php?id=A700_0_1_0_M
3. http://en.wikipedia.org/wiki/James_Yee

baca selengkapnya...