Mencium Hajar Aswad (kisah 10)
Awalnya kukira, mendekati selesainya musim haji, kepadatan orang yang mengerjakan thowaf akan berangsur-angsur berkurang. Ternyata dugaanku salah. Hampir sebulan penuh kami berada di Mekah, situasi di seputar ka’bah sama saja, setiap hari selama dua puluh empat jam tetap hiruk pikuk dan padat oleh jamaah. Memang jumlah jamaah saat sholat fardhu sudah sangat jauh berkurang, hanya tinggal 10-20 % saja kepadatannya, bila dibandingkan dengan daya tampung total masjid.
Melihat kondisi ini, aku hampir memupus dendamku untuk mencium Hajar Aswad. Seperti yang pernah kuceritakan, di seputar Hajar Aswad selalu terjadi kepadatan yang luar biasa. Orang berdesak-desakan dengan hebat di ditu. Sudah sering kulihat, orang yang sudah selesai mencium Hajar Aswad, ternyata tidak bisa keluar sama sekali dari situ. Semua orang di sekitarnya mendesak ke arahnya. Dan akibatnya, satu-satunya jalan keluar adalah melalui jalur atas. Tangannya akan secara reflek menekan pundak orang-orang di sekitarnya, sehingga badannya terangkat ke atas. Desakan yang hebat dari orang di sekitarnya akan memudahkan dia muncul ke permukaan lautan manusia. Kalo sudah begini, askar yang berpegangan pada tali dan berdiri di samping Hajar Aswad akan mendorongnya ke belakang, hingga menjauh dari Hajar Aswad dan jatuh menimpa kerumunan orang yang sedang berdesakan. Tampak sadis memang, namun terpaksa harus demikian. Kejadian itu terjadi berkali-kali. Tidak ada yang terluka dan tersinggung di situ. Orang yang habis di-jungkrak-kan akan meninggalkan Hajar Aswad dengan senyum kepuasan yang tak terkira, karena jerih payahnya telah membawa hasil.
Semangatku untuk mencium Hajar Aswad kembali muncul ketika Pak Sucipto, yang berusia sekitar 60 tahun, bercerita tentang keberhasilannya mencium Hajar Aswad. Wah, hebat juga Pak Cip ini, pikirku. Masak aku yang umurnya separuhnya tidak mampu. Pak Cip menempuh jalur yang reguler, aman, gratis (soalnya ada juga petugas swasta yang menawarkan jasa bodyguard untuk mengawal ke Hajar Aswad, 100 riyal sekali antar), namun memang memerlukan sedikit kesabaran. Langkah pertama, thowaf dulu hingga enam putaran. Memasuki putaran terakhir, putaran thowaf diperkecil, sehingga saat mencapai Rukun Yamani, kita sudah sangat dekat atau bahkan bisa menyentuh dinding ka’bah. Selanjutnya kita naik di bidang miring di lantai, yang menempel pada dinding ka’bah, di antara Rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad, untuk mengikuti antrian orang-orang yang akan mencium Hajar Aswad. Setelah antri sekitar 20 menit, Insya Allah kita akan tiba di depan Hajar Aswad. Tinggal kita pegang sisi kiri dan kanan bingkai Hajar Aswad, lalu kita bebas menciumnya. Begitu strategi yang dipaparkan Pak Cip.
Oke kalo begitu. Sasaran jelas, metode jelas, sekarang tinggal pelaksanaannya. Aku mengajak beberapa teman yang saat itu juga mendengarkan presentasi Pak Cip, untuk melaksanakan cita-cita yang sudah ada semenjak kedatangan kami di Mekah. Pada suatu sore, aku, Pak Hardo, dan Pak Hartono, bergegas berangkat ke Masjidil Haram, untuk melaksanakan sholat jamaah asar, yang akan dilanjutkan dengan thowaf dan mencium Hajar Aswad. Sesuai dengan rencana, kami dapat melaksanakan thowaf hingga hampir tujuh putaran. Begitu tiba di Rukun Yamani, kami sudah sangat dekat dengan dinding ka’bah. Antrian tidak begitu panjang, aku dan Pak Hardo langsung naik ke antrian. Pak Hartono tidak beserta kami, rupanya terpisah jauh saat thowaf tadi. Pak Hardo langsung membangun hubungan pembicaraan dengan orang di depan dan sampingnya. Dengan Bahasa Inggris yang lumayan lancar ia melobi, agar selama antri dan saat tiba di Hajar Aswad dapat saling membantu. Wah bagus juga strateginya.
Hampir 20 menit kami antri, hingga akhirnya Pak Hardo yang berada di depanku sampai di samping Hajar Aswad. Setelah berhasil mencium, Pak Hardo langsung bergeser ke belakang, menjauh dari Hajar Aswad. Aku dapat giliran berikutnya. Semenjak posisiku masih di samping Hajar Aswad, telah kupegang dengan kuat bingkai batu hitam itu. Setelah tepat berada di depannya, kubungkukkan badanku, dan kumasukkan kepalaku ke dalam bingkai. Ternyata batu hitam itu sembunyi cukup dalam pada bingkai aluminium, dan permukaan batunya cekung ke dalam. Begitu aku mengecup batu, rasanya alam ini menjadi begitu sunyi. Aku merasa masuk dalam dimensi yang lebih dalam lagi. Hiruk pikuk orang di belakangku tak terhiraukan lagi. Kuucapkan Bismillahi Allahu Akbar tiga kali saat itu. Aku sadar, banyak sekali orang yang masih antri untuk mendapatkan kesempatan ini. Aku segera menarik kepalaku, dan kudengar lagi hiruk pikuk orang. Agak susah aku keluar dari situ. Bahkan tulang kering di kakiku terasa tergencet di lingir-nya bidang miring landasan ka’bah. “Ya Allah, kumohon pertolongan-Mu, keluarkan aku dari kerumunan orang-orang ini dengan selamat ”, begitu pintaku. Alahmdulillah, begitu aku mendorong badanku ke belakang, orang-orang memberi jalan padaku. Dan Pak Hardo menangkapku dari belakang. Alhamdulillah … Kami tersenyum lebar, ekspresi kemenangan tergambar di wajah kami. Setelah itu kami langsung menuju belakang maqam ibrahim, untuk mengerjakan sholat sunat thowaf. Air mata kebahagian tertumpah saat sholat itu.
Saat pulang ke hotel, kuceritakan kisah sukses ini kepada istriku. Dia tampak senang sekali, berarti ada peluang bagi istriku untuk dapat mencium Hajar Aswad pula, begitu pikirnya. “ Wah, ya kita liat aja nanti situasinya, Dik. Kalo memang memungkinkan ya tak dukung “ kataku.
Selepas sholat shubuh hari berikutnya, aku dan istri melakukan thowaf sunat. Selama thowaf, aku terus mempertimbangkan kemungkinan untuk membantu istriku mencium Hajar Aswad. Antara iya dan tidak. Istriku sempat bilang,” Mas, aku nurut aja sama Mas, kalo memang nggak boleh nyium Hajar Aswad ya nggak papa “. Aku tidak mempedulikannya, otakku berproses terus. Pada putaran ke tujuh, saat mendekati Rukun Yamani, ragu-raguku hilang. “ Ayo Dik, tak antar ke Hajar Aswad. Nanti Adik nyesel, sudah jauh-jauh ke sini kok tidak menyempatkan diri nyium Hajar aswad “ kataku. Istriku langsung oke saja. Dengan doa yang sungguh-sungguh, Insya Allah cita-cita kita akan terwujud.
Istriku berdiri menempel ke dinding ka’bah, naik di bidang miring lantai, sedangkan aku di sisi kanannya, di lantai datar yang lebih rendah. Pundakku dijadikan pegangan oleh istriku. Antrian istriku bisa maju bersama-sama antrianku yang di bawah. Namun kali ini antriannya lebih lama dari kemarin, saat aku bersma Pak Hardo. Setengah jam kami antri, hingga akhirnya kami tinggal berjarak 3-4 orang dari Hajar Aswad. Tiba-tiba terjadi sedikit kemelut, antrianku berhenti dan terjadi desak-desakan hingga aku terhuyung-huyung. Sementara itu antrian istriku terus melaju. Masya Allah … tangan istriku terlepas dariku dan terus maju ke depan, hingga aku tak bisa melihatnya lagi, tertutupi oleh kerumunan orang, dan aku tak mampu mengejarnya. Akhirnya aku pasrahkan semuanya pada Allah,” Ya Allah, jagalah dan selamatkanlah istriku “. Hanya itu yang mampu kupanjatkan.
Dengan usaha yang cukup keras, akhirnya aku bisa menyusul istriku ke depan. Kuterobos rapatnya tubuh orang yang berdesak-desakan. Begitu di samping Hajar Aswad, kulihat istriku sedang bergerak mendorong badannya ke belakang, menjauhi Hajar Aswad. Alhamdulillah orang-orang di sekitarnya memberikan jalan. Aku langsung memeluk istriku, kulindungi badannya dan kudorong dia ke belakang. Saat itu aku tak sempat memikirkan rencanaku sendiri untuk mencium Hajar Aswad lagi. Yang penting istriku sudah melakukannya, dan dia harus keluar dari area itu dengan selamat.