Photobucket

Saturday, January 27, 2007

Mencium Hajar Aswad (kisah 10)

Awalnya kukira, mendekati selesainya musim haji, kepadatan orang yang mengerjakan thowaf akan berangsur-angsur berkurang. Ternyata dugaanku salah. Hampir sebulan penuh kami berada di Mekah, situasi di seputar ka’bah sama saja, setiap hari selama dua puluh empat jam tetap hiruk pikuk dan padat oleh jamaah. Memang jumlah jamaah saat sholat fardhu sudah sangat jauh berkurang, hanya tinggal 10-20 % saja kepadatannya, bila dibandingkan dengan daya tampung total masjid.


Melihat kondisi ini, aku hampir memupus dendamku untuk mencium Hajar Aswad. Seperti yang pernah kuceritakan, di seputar Hajar Aswad selalu terjadi kepadatan yang luar biasa. Orang berdesak-desakan dengan hebat di ditu. Sudah sering kulihat, orang yang sudah selesai mencium Hajar Aswad, ternyata tidak bisa keluar sama sekali dari situ. Semua orang di sekitarnya mendesak ke arahnya. Dan akibatnya, satu-satunya jalan keluar adalah melalui jalur atas. Tangannya akan secara reflek menekan pundak orang-orang di sekitarnya, sehingga badannya terangkat ke atas. Desakan yang hebat dari orang di sekitarnya akan memudahkan dia muncul ke permukaan lautan manusia. Kalo sudah begini, askar yang berpegangan pada tali dan berdiri di samping Hajar Aswad akan mendorongnya ke belakang, hingga menjauh dari Hajar Aswad dan jatuh menimpa kerumunan orang yang sedang berdesakan. Tampak sadis memang, namun terpaksa harus demikian. Kejadian itu terjadi berkali-kali. Tidak ada yang terluka dan tersinggung di situ. Orang yang habis di-jungkrak-kan akan meninggalkan Hajar Aswad dengan senyum kepuasan yang tak terkira, karena jerih payahnya telah membawa hasil.


Semangatku untuk mencium Hajar Aswad kembali muncul ketika Pak Sucipto, yang berusia sekitar 60 tahun, bercerita tentang keberhasilannya mencium Hajar Aswad. Wah, hebat juga Pak Cip ini, pikirku. Masak aku yang umurnya separuhnya tidak mampu. Pak Cip menempuh jalur yang reguler, aman, gratis (soalnya ada juga petugas swasta yang menawarkan jasa bodyguard untuk mengawal ke Hajar Aswad, 100 riyal sekali antar), namun memang memerlukan sedikit kesabaran. Langkah pertama, thowaf dulu hingga enam putaran. Memasuki putaran terakhir, putaran thowaf diperkecil, sehingga saat mencapai Rukun Yamani, kita sudah sangat dekat atau bahkan bisa menyentuh dinding ka’bah. Selanjutnya kita naik di bidang miring di lantai, yang menempel pada dinding ka’bah, di antara Rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad, untuk mengikuti antrian orang-orang yang akan mencium Hajar Aswad. Setelah antri sekitar 20 menit, Insya Allah kita akan tiba di depan Hajar Aswad. Tinggal kita pegang sisi kiri dan kanan bingkai Hajar Aswad, lalu kita bebas menciumnya. Begitu strategi yang dipaparkan Pak Cip.


Oke kalo begitu. Sasaran jelas, metode jelas, sekarang tinggal pelaksanaannya. Aku mengajak beberapa teman yang saat itu juga mendengarkan presentasi Pak Cip, untuk melaksanakan cita-cita yang sudah ada semenjak kedatangan kami di Mekah. Pada suatu sore, aku, Pak Hardo, dan Pak Hartono, bergegas berangkat ke Masjidil Haram, untuk melaksanakan sholat jamaah asar, yang akan dilanjutkan dengan thowaf dan mencium Hajar Aswad. Sesuai dengan rencana, kami dapat melaksanakan thowaf hingga hampir tujuh putaran. Begitu tiba di Rukun Yamani, kami sudah sangat dekat dengan dinding ka’bah. Antrian tidak begitu panjang, aku dan Pak Hardo langsung naik ke antrian. Pak Hartono tidak beserta kami, rupanya terpisah jauh saat thowaf tadi. Pak Hardo langsung membangun hubungan pembicaraan dengan orang di depan dan sampingnya. Dengan Bahasa Inggris yang lumayan lancar ia melobi, agar selama antri dan saat tiba di Hajar Aswad dapat saling membantu. Wah bagus juga strateginya.


Hampir 20 menit kami antri, hingga akhirnya Pak Hardo yang berada di depanku sampai di samping Hajar Aswad. Setelah berhasil mencium, Pak Hardo langsung bergeser ke belakang, menjauh dari Hajar Aswad. Aku dapat giliran berikutnya. Semenjak posisiku masih di samping Hajar Aswad, telah kupegang dengan kuat bingkai batu hitam itu. Setelah tepat berada di depannya, kubungkukkan badanku, dan kumasukkan kepalaku ke dalam bingkai. Ternyata batu hitam itu sembunyi cukup dalam pada bingkai aluminium, dan permukaan batunya cekung ke dalam. Begitu aku mengecup batu, rasanya alam ini menjadi begitu sunyi. Aku merasa masuk dalam dimensi yang lebih dalam lagi. Hiruk pikuk orang di belakangku tak terhiraukan lagi. Kuucapkan Bismillahi Allahu Akbar tiga kali saat itu. Aku sadar, banyak sekali orang yang masih antri untuk mendapatkan kesempatan ini. Aku segera menarik kepalaku, dan kudengar lagi hiruk pikuk orang. Agak susah aku keluar dari situ. Bahkan tulang kering di kakiku terasa tergencet di lingir-nya bidang miring landasan ka’bah. “Ya Allah, kumohon pertolongan-Mu, keluarkan aku dari kerumunan orang-orang ini dengan selamat ”, begitu pintaku. Alahmdulillah, begitu aku mendorong badanku ke belakang, orang-orang memberi jalan padaku. Dan Pak Hardo menangkapku dari belakang. Alhamdulillah … Kami tersenyum lebar, ekspresi kemenangan tergambar di wajah kami. Setelah itu kami langsung menuju belakang maqam ibrahim, untuk mengerjakan sholat sunat thowaf. Air mata kebahagian tertumpah saat sholat itu.


Saat pulang ke hotel, kuceritakan kisah sukses ini kepada istriku. Dia tampak senang sekali, berarti ada peluang bagi istriku untuk dapat mencium Hajar Aswad pula, begitu pikirnya. “ Wah, ya kita liat aja nanti situasinya, Dik. Kalo memang memungkinkan ya tak dukung “ kataku.


Selepas sholat shubuh hari berikutnya, aku dan istri melakukan thowaf sunat. Selama thowaf, aku terus mempertimbangkan kemungkinan untuk membantu istriku mencium Hajar Aswad. Antara iya dan tidak. Istriku sempat bilang,” Mas, aku nurut aja sama Mas, kalo memang nggak boleh nyium Hajar Aswad ya nggak papa “. Aku tidak mempedulikannya, otakku berproses terus. Pada putaran ke tujuh, saat mendekati Rukun Yamani, ragu-raguku hilang. “ Ayo Dik, tak antar ke Hajar Aswad. Nanti Adik nyesel, sudah jauh-jauh ke sini kok tidak menyempatkan diri nyium Hajar aswad “ kataku. Istriku langsung oke saja. Dengan doa yang sungguh-sungguh, Insya Allah cita-cita kita akan terwujud.


Istriku berdiri menempel ke dinding ka’bah, naik di bidang miring lantai, sedangkan aku di sisi kanannya, di lantai datar yang lebih rendah. Pundakku dijadikan pegangan oleh istriku. Antrian istriku bisa maju bersama-sama antrianku yang di bawah. Namun kali ini antriannya lebih lama dari kemarin, saat aku bersma Pak Hardo. Setengah jam kami antri, hingga akhirnya kami tinggal berjarak 3-4 orang dari Hajar Aswad. Tiba-tiba terjadi sedikit kemelut, antrianku berhenti dan terjadi desak-desakan hingga aku terhuyung-huyung. Sementara itu antrian istriku terus melaju. Masya Allah … tangan istriku terlepas dariku dan terus maju ke depan, hingga aku tak bisa melihatnya lagi, tertutupi oleh kerumunan orang, dan aku tak mampu mengejarnya. Akhirnya aku pasrahkan semuanya pada Allah,” Ya Allah, jagalah dan selamatkanlah istriku “. Hanya itu yang mampu kupanjatkan.



Dengan usaha yang cukup keras, akhirnya aku bisa menyusul istriku ke depan. Kuterobos rapatnya tubuh orang yang berdesak-desakan. Begitu di samping Hajar Aswad, kulihat istriku sedang bergerak mendorong badannya ke belakang, menjauhi Hajar Aswad. Alhamdulillah orang-orang di sekitarnya memberikan jalan. Aku langsung memeluk istriku, kulindungi badannya dan kudorong dia ke belakang. Saat itu aku tak sempat memikirkan rencanaku sendiri untuk mencium Hajar Aswad lagi. Yang penting istriku sudah melakukannya, dan dia harus keluar dari area itu dengan selamat.

baca selengkapnya...

Sholat di Belakang Imam (kisah 9)

Prestasi terbaikku dalam perjuangan untuk mendapatkan shaf terdepan dalam sholat berjamaah di masjidil haram adalah saat shubuh hari terakhir di Mekah, sebelum kemudian hari itu kami ke Madinah. Saat itu aku sudah cukup berpengalaman dalam membentuk shaf. Dan yang lebih penting lagi adalah doa. Ketika kita betul-betul mohon kepada Allah untuk mendapat tempat yang kita inginkan, maka Insya Allah akan betul-betul terwujud, dengan aman, tanpa kemelut yang berarti. Saat pertama kali berjuang dahulu, yang aku pernah jungkir balik itu, kusadari bahwa saat itu aku murni mengandalkan strategi saja, tanpa doa sama sekali.


Saat sholat shubuh itu, Alhamdulillah aku mendapatkan shaf kedua di sebelah kiri belakang imam. Itu merupakan shaf terdepan bagi jamaah haji, karena shaf terdepan hanya boleh ditempati oleh para pengiring/ajudan imam masjid dan para askar. Aku betul-betul bersyukur saat itu. Cita-citaku untuk sholat di belakang imam akhirnya terpenuhi. Aku berniat mengamati tatacara imam masjid dalam mengerjakan sholat.


Yang patut dicatat dari hasil pengamatanku terhadap sholatnya imam – saat itu imamnya adalah as Suhraim -- , yang pertama adalah saat i’tidal. Saat bangun dari ruku’, imam mengangkat tangannya di samping kiri kanan telinga, lalu meletakkannya kembali di atas perut/dada. Sementara para ajudan dan askar bervariasi posisi tangannya, ada yang meletakkan di atas dada, dan ada pula yang melepas tangan ke samping badan. Yang kedua, saat duduk tahiyat akhir. Saat itu imam dan semua ajudan serta askar kompak duduk istirah, posisi kakinya tetap seperti duduk di antara dua sujud.


Begitu imam mengucapkan salam, sudah ada askar yang berdiri membelakangi Hajar aswad sambil tangannya mengisyaratkan para jamaah untuk tetap tenang, tidak tergesa-gesa berebut ke Hajar Aswad. Setelah imam dan rombongan beranjak pergi meninggalkan tempat, kontan askar tadi segera berlari meninggalkan Hajar Aswad, dan membiarkan jamaah menyerbu. Sementara kebanyakan orang berebut di Hajar Aswad, aku langsung menyerbu ke arah bawah pintu ka’bah, yang merupakan bagian dari multazam. Multazam adalah bagian dinding ka’bah, yang dimulai dari hajar aswad hingga sisi kanan pintu ka’bah. Aku betul-betul bisa menciumkan wajah dan pipiku ke dinding multazam. Kedua tanganku bebas mengamplok ke atas hingga jariku bisa menggapai lantai pintu. Minyak wangi yang telah di disiramkan oleh petugas ke dinding multazam sebelum sholat dimulai, kini mulai membasahi telapak tangan, pipi, lengan baju, dan bagian depan badanku. Kutumpahkan segala uneg-uneg dan doaku saat itu. Tangisku tercurah di situ. Sementara itu di kanan kiri dan belakangku juga penuh dengan orang yang mengerumuni multazam.

baca selengkapnya...

Friday, January 26, 2007

Perjuangan Shaf Depan (kisah 8)

Menurutku, masjidil haram merupakan tempat yang memiliki medan energi yang sangat besar, dengan ka’bah sebagai intinya. Bila diibaratkan suatu massa, semakin dekat ke inti, maka energinya semakin besar, begitu pula daya tariknya. Dan memang demikianlah kenyataannya. Semakin dekat ke ka’bah, semakin padat oleh orang-orang yang berthowaf. Semua orang ingin mendekat, atau bahkan menyentuh ka’bah. Dengan demikian, kita juga perlu mengeluarkan tenaga yang lebih besar untuk mempertahankan posisi kita agar tetap berada di dekat ka’bah.

Saat yang paling seru di dekat ka’bah adalah masa transisi antara thowaf ke sholat fardhu berjamaah. Lima belas hingga dua puluh menit sebelum azan berkumandang, orang-orang yang semula berthowaf, kini menghentikan langkahnya, untuk kemudian berjajar membuat shaf-shaf yang melingkar, dengan ka’bah sebagai pusat lingkaran. Mengapa begitu seru ? Karena orang-orang yang semula berjejal-jejal berjalan teratur, kini harus ditata ulang menjadi berjajar, dan harus mengalokasikan space di depan shaf untuk sujud nanti. Sehingga banyak orang yang harus ikhlas ataupun terpaksa untuk menjauh dari ka’bah. Dan Anda ingin tahu, bagaimana shaf terbentuk ? Di sinilah perjuangan itu terjadi.

Hanya orang-orang yang memang memiliki semangat tinggilah yang mampu untuk membentuk lima hingga tujuh barisan terdepan. Pertama-tama, harus ada orang yang berinisiatif untuk berhenti thowaf, kemudian menggandeng orang yang berada paling dekat dengannya, untuk diajak membuat shaf. Mengetahui hal ini, orang yang berada di sekitarnya dengan cepat bereaksi dan berebut untuk menyambutnya. Dan secepat kilat terbentuklah sebuah segmen barisan, dan setelah itu segmen barisan itu segera tumbuh ke samping dengan cepat pula. Sementara terbentuk shaf, orang-orang lain yang tidak tergandeng akan terpaksa tetap melaju melanjutkan langkahnya, karena kelembaman atau daya dorong putaran thowaf tetap mendesak dari arah belakang. Kemelut hebat akan terjadi pada titik pertumbuhan shaf, di mana di situ terjadi perhentian mendadak, dari thowaf menjadi berdiri membentuk shaf. Sementara itu, gelombang orang thowaf tetap datang menyerbu titik itu. Tidak jarang bila orang tidak cukup kokoh berdiri, akan terhuyung-huyung dan jatuh.

Pernah suatu saat, ketika aku pertama kali berniat untuk mencoba menduduki shaf depan, mengalami kejadian yang cukup membahayakan. Ketika itu memang lokasinya cukup favorit, yaitu di dekat Hajar Aswad, sehingga peminat yang ingin menduduki posisi di sekitar itu juga sangat banyak. Lima belas menit sebelum azan, aku sengaja memasuki arena thowaf, mengikuti arus putaran, makin lama makin mendekat ke ka’bah, untuk mendapatkan tempat terdepan. Suatu saat di dekat Hajar aswad, aku melihat orang di depanku mengajak membentuk shaf, kalo tidak salah orang itu sudah menduduki shaf ke empat atau lima. Segera kusambut ajakannya dengan menggandeng erat tangannya. Orang yang semula di belakangku saat thowaf juga langsung menggandeng tangan kiriku. Dengan tangan bergandengan erat, kami menghadapkan badan ke arah ka’bah. Sekitar 10 detik kami bisa mempertahankan posisi dengan stabil. Namun tiba-tiba datang gelombang desakan orang thowaf yang sangat kuat mendesak dari arah kiriku. Barisan kami goyah, dan mulailah kemelut itu. Orang-orang di sebelah kiriku mulai berguguran, gandengan tangan terlepas. Akhirnya akupun tak kuasa mempertahankan posisi, aku jatuh terduduk ke belakang. Dan orang afrika di sebelah kiriku yang masih bisa berdiri, terdorong juga dari arah kirinya, sehingga terpaksa dia melangkahkan kakinya di atas badanku yang sudah jatuh. Dalam situasi seperti itu kesadaranku sedikit berkurang. Aku tak tahu apa yang terjadi di atasku. Rasanya dua sampai tiga orang lewat melangkahi badanku. Tanganku menahan ke lantai dengan sedikit terseret, sehingga gelang ID-ku sempat merenggang dan hampir terlepas dari pergelangan tangan kiriku. Aku beristighfar dan mohon pertolongan Allah sebisaku. Akhirnya kemelut mereda. Ketika kemudian aku berdiri dan bergerak sedikit ke belakang, aku mendapatkan shaf yang lebih tenang di belakang. Setelah kuhitung, ternyata saat itu aku berada di shaf ke sepuluh, dekat maqam ibrahim. Masya Allah, ternyata aku terdesak dari shaf ke-5 ke shaf ke-10.

Walaupun shaf sudah terbentuk, namun masih menyisakan cukup banyak orang yang berjalan di antara shaf-shaf. Nah, orang-orang yang masih berjalan inilah yang akhirnya harus mengalah, untuk keluar dari lingkarang-lingkaran shaf dalam, menuju ke arah luar lingkaran. Proses ini berlangsung sekitar 10 menit. Setelah orang yang berjalan di antara shaf berangsur-angsur berkurang, shaf yang masih berdiri, mulai bisa duduk. Dan jangan dikira duduknya shaf itu duduk dengan posisi santai. Badan kita tergencet orang yang ada di kanan dan kiri kita. Dan barangkali lebar space untuk sujud kita hanya ½ atau bahkan 1/3 dari lebar space bila kita sholat di masjid di Indonesia.

Setelah kita duduk, maka ka’bah dengan jelas terlihat di depan kita. Sementara itu, para askar (polisi masjid) sibuk mengatur shaf depan yang belum teratur. Banyak yang perlu diatur oleh askar. Pertama, wanita tidak boleh berada di shaf depan. Maka wanita-wanita – umumnya dari India – yang masih berada di shaf depan akan dipersilakan untuk meninggalkan tempat, menuju area masjid yang khusus untuk perempuan. Kedua, shaf-shaf yang masih tumpang tindih akan dirapikan. Orang yang betul-betul duduk di atas garis shaf akan dipertahankan sebagai anggota shaf. Sementara yang ngotot duduk bergerombol, namun tidak duduk di atas garis shaf akan diusir ke belakang. Ketiga, askar dengan ketat menjaga Hajar Aswad dari serangan orang-orang yang dengan nekat akan mendekat dan mencium Hajar Aswad. Dalam situasi persiapan menghadapi sholat berjamaah, Hajar aswad harus bersih dari kerumunan orang yang berniat menciumnya. Tidak sedikit orang yang merengek-rengek dan merayu-rayu askar agar diijinkan mendekat ke Hajar Aswad. Namun askar dengan tegas melarang.

Ada suatu kejadian yang memukau di Hajar Aswad, saat orang-orang duduk dengan tenang menunggu dimulainya sholat. Saat itu ada sekitar 10 orang askar yang masih berdiri, ditambah beberapa orang jamaah yang sedang berjalan menjauh dari ka’bah karena tidak kebagian tempat sholat. Tiba-tiba dari arah kiri ada seorang laki-laki, kalo bukan India ya Pakistan, berusia 40 tahunan, menggendong di punggungnya, seorang ibu tua – kelihatannya ibu kandungnya – yang sudah berumur 60 tahunan. Shaf-demi shaf dia langkahi untuk mendekat ke Hajar Aswad. Melihat situasi yang aneh ini, kami semua tertegun takjub. Para askar juga hanya dapat memandang dengan keheranan kepada dua orang Ibu dan anak itu. Sampai akhirnya setelah betul-betul dekat dengan Hajar Aswad laki-laki itu meminta izin askar untuk mencium Hajar Aswad. Askar yang berada di dekat Hajar aswad tampak terkejut dan langsung mempersilakan dua orang itu untuk mencium Hajar Aswad. Setelah mencium, ibu itu kembali digendong anaknya dan berjalan menjauh dari ka’bah. Kontan semua jamaah dan askar saling pandang dan bergumam mengomentari kejadian itu, sambil tersenyum-senyum keheranan. Aku sendiri berpikir, ini tadi suatu kejadian yang alami, atau hanya sekedar strategi perjuangan dua orang tadi untuk bisa menembus ke Hajar Aswad. Wallahu a’lam.

Ada lagi kejadian lucu di sekitar ka’bah menjelang sholat jamaah. Masih berkaitan dengan perjuangan. Saat itu ada seorang laki-laki tua – sekitar 70 tahunan – yang merayu askar untuk sholat sunat tepat di depan pintu ka’bah. Namun askar dengan keras menolak permintaan orang tua tersebut. Karena ngototnya orang tua itu untuk mempertahankan keinginannya, akhirnya askar harus menyeret tangan orang itu untuk bergeser lurus ke kanan kira-kira 15 meter, hingga berada di depan hijir ismail. Askar lalu mempersilakan orang tua itu untuk mengerjakan sholat sunat disitu. Namun apa yang terjadi ? Setelah orang tua tadi bergeser lurus ke kanan menjauhi pintu ka’bah hingga di depan hijir ismail, dia bertakbir memulai sholat dengan tetap menghadap ke barat, padahal kiblat sudah bergeser ke sebelah kirinya. Dengan tersenyum hampir tertawa, askar yang barusan menggeser orang tua itu mengingatkan bahwa kiblatnya berada di sebelah kirinya. Tangannya menggamit pundak orang itu, lalu menunjukkan telunjuknya ke arah ka’bah. Orang tua itu segera mengoreksi arah sholatnya, dan mengulang takbirnya. Kami semua yang melihat kejadian itu tersenyum-senyum, bahkan ada yang tidak bisa menahan tawa. Subhanallah

baca selengkapnya...

Thursday, January 25, 2007

Misteri Angka Tujuh (kisah 7)

Sudah memasuki minggu kedua di Mekah, aku belum bertemu temanku yang satu ini. Namanya Juned. Maka sebelum berangkat untuk sholat jamaah maghrib di Masjidil Haram, aku kirim SMS ke Juned, janjian ketemu di dalam masjid. Dia bilang kalau biasanya masuk lewat pintu 70, lalu nganter istrinya dulu ke tempat sholat perempuan, baru kemudiam maju ke depan, mencari tempat sholat pria yang dekat dengan ka;bah, namun masih di bagian masjid yang beratap. Oke kalo begitu, aku segera berangkat ke masjid bersama istriku. Kami sengaja masuk melalui pintu 70, sesuai SMS Juned, supaya kemungkinan bertemu menjadi lebih besar.

Seperti biasa, aku lebih dulu mengantar istriku di tempat sholat kaum perempuan. Setelah sampai di tempat sholat perempuan, kukenali dulu ciri-ciri lingkungan di sekitar tempat sholat istriku, untuk mempermudah pencarian saat pulang nanti. Lalu aku bergegas menuju ke depan, mencari Juned. Kulempar pandangan ke deretan-deretan orang yang sudah duduk bershaf di sebelah depan. Ciri-ciri sosok seorang Juned tak kutemukan. Akhirnya kuputuskan saja untuk segera duduk di tempat yang kosong. Setelah duduk, segera kukeluarkan HP dan menulis pesan singkat ke Juned, "Jun, kamu di sebelah mana ? ". Tak lama kemudian ada balasan,”Aku di depan, pake jaket pink RSIA”. Aku segera berdiri dan men-scan pandangan berkeliling. Ternyata Juned kutemukan duduk beberapa meter di sebelah kananku. Aku tak berniat langsung menghampiri tempat duduknya. Setelah menghitung jumlah orang dari tempat duduk Juned hingga tempat dudukku, Aku kembali duduk dan menulis SMS,” Jun, aku orang ke delapan di sebelah kirimu “. Kutunggu jawaban, ternyata di khusuk baca Quran, tidak menyadari adanya SMS dariku. Aku bergegas mendekat ke Juned. Ku lihat di sebelah kanannya ada sedikit space agak longgar. Aku segera menyapa Juned, dan setelah duduk, terlibat dalam obrolan yang cukup seru, menceritakan pengalaman selama dua minggu di Mekah. Dia juga bilang kalo tadi masuknya dari pintu 62.

Setelah sholat maghrib, baca Quran, dan akhirnya sholat isya pun selesai kami lakukan, kami pulang ke hotel masing-masing. Tak ada yang aneh, sampai aku masuk kembali ke kamar hotel dan merenung-renungkan pengalaman pertemuan dengan Juned di Masjid tadi. Kalo aku orang ke delapan yang duduk di sebelah kiri Juned, berarti antara aku dan Juned terdapat tujuh orang. Wah, kupikir ini bukan kejadian biasa. Karena angka tujuh memang angka yang sering menjadi jumlah ritual haji, yaitu thowaf tujuh putaran, sai tujuh kali, lontar jumrah tujuh lemparan. Lalu aku teringat bahwa Juned masuk dari pintu 62. Subhanallah, ternyata antara pintu 62 dan 70 juga terdapat tujuh pintu, yaitu pintu 63, 64, 65, 66, 67, 68, dan 69. Wah, ini keajaiban. Tak mungkin jumlah pintu dan jumlah orang antara aku dan Juned kebetulan sama. Apalagi jumlahnya tujuh lagi. Terlebih lagi, aku bertemu Juned di antara dua sholat wajib, maghrib dan isya, masing-masing 3 dan 4 rakaat, dijumlah tujuh. Wadhuh, tambah ajaib lagi.

Aku berkesimpulan bahwa kejadian pada malam hari itu bukanlah kebetulan. Tidak mungkin beberapa kebetulan terjadi bersama-sama. Pasti ada suatu kekuatan yang mengatur, sehingga muncul bilangan tujuh secara bertubi-tubi. Barangkali Allah ingin meneguhkan keimananku. Karena aku kadang memang membatin, Ya Allah, tunjukkan aku suatu keajaiban. Aku merasa, selama dua minggu berada di Mekah, belum mengalami kejadian-kejadian aneh seperti yang sering diceritakan orang sepulang dari haji. Akhirnya, aku dapat pengalaman itu. Terima kasih Ya Allah. Ini semakin membuktikan bahwa semua kejadian di dunia ini tidak hanya secara kebetulan terjadi.

baca selengkapnya...

Wednesday, January 24, 2007

Masjidil Haram & Thowaf (kisah 6)

Masjidil Haram benar-benar memiliki pesona dan daya tarik yang sangat kuat. Setiap aku tertarik dan masuk ke dalamnya, selalu kutemui rasa damai yang sangat mendalam. Bagai terperangkap dalam dimensi yang menyejukkan, rasanya ingin berlama-lama, tak ingin segera keluar dari dalamnya. Melihat orang-orang yang duduk beriktikaf dengan tenang, atau khusuk mengerjakan sholat, atau konsentrasi membaca Al Quran, jelas sangat terasa, semua begitu menginti, pendekatan menuju kepada satu dzat, Allah pencipta semesta.

Dan ketika melihat ka’bah, yang sepanjang hari dan malam selalui dikerumuni manusia, jiwa ini menjadi benar-benar semakin tertawan ke dalam sensasi spiritual yang tak terlukiskan. Bayangkan, setiap usai sholat wajib berjamaah di Masjidil Haram, aku dan istri selalu mencari tempat yang strategis di tepi pelataran thowaf, untuk berlama-lama memandang ka’bah, menjadi saksi atas thowafnya ribuan orang jamaah, yang bersungguh-sungguh ikhlas berputar tujuh kali, mengelilingi ka’bah, untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Begitu anggunnya, gagahnya, kokohnya, dia berada di tengah-tengah. Di sanalah, ditumpahkan segala pinta kepada Allah Yang Maha Pemurah. Ya, karena di sana terdapat Multazam dan Hijir Ismail, tempat yang konon, bila kita berdoa di dalamnya, Insya Allah akan dikabulkan.

Pernah, selepas sholat shubuh, aku dan istri asyik memandang ka’bah dari salah satu jalan menurun, atau tepatnya jalan untuk kursi roda, yang menghubungkan bagian masjid yang beratap, dengan pelataran thowaf. Di sampingku terlihat seorang Ibu berwajah Hindi, badannya agak subur dan tinggi, berumur lima puluhan. Dia pun seperti kami, sedang termenung, asyik menikmati pemandangan thowaf. Melihat kami berdua, rupanya dia penasaran, dan akhirnya dengan bahasa inggris yang lumayan fasih, mengajak berkenalan kami. Pertama menanyakan nama, asal negara, umur, lalu status perkawinan kami, pekerjaan, d.l.l. Dia juga memperkenalkan diri, namanya Bu Soraya Ikban, seorang Profesor Ilmu Sosial dan Bahasa Inggris dari Pakistan. Dia berhaji bersama suaminya, Prof. Muhammad Ikban.

Dia terkesan dengan orang-orang Indonesia, yang masih muda-muda dan bersemangat untuk berhaji. Katanya, di Pakistan, orang harus menunggu sampai tua dulu, baru kemudian pergi berhaji. Dia berniat, setelah pulang haji nanti, ingin menganjurkan anak-anaknya untuk segera berhaji saja semasa masih muda. Mengetahui kami belum dikaruniai momongan, dia tersenyum, dan memberi dukungan kepada kami untuk bersabar dan selalu berdoa. Bahkan beliau mendoakan kami mendapatkan anak kembar. Amin, amin, Ya Robbal Alamin.

Mengomentari pemandangan orang-orang yang sedang berthowaf di ka’bah, beliau berkata, yang dalam bahasa indonesianya kurang lebih, "Bagaimanapun upayanya, Goerge Bush tidak mungkin memecah belah Muslim. Lihatlah, umat Islam di setiap negara memang berbeda-beda, tetapi Allah-lah yang menjaga persatuannya, melalui haji dan ka’bah ini. " Dia tampak begitu terkesima dengan fenomena thowaf ini. Setelah sekitar 20 menit ngobrol, aku dan istri mohon diri untuk melakukan thowaf.

baca selengkapnya...

Arofah - Muzdalifah (kisah 4)

Siang Tanggal 8 Januari 2006, bertepatan dengan 8 Dzulhijjah, kami berkemas-kemas untuk berangkat ke Arofah. Direncanakan kami naik bus jam 15.00 – 16.00. Karena itu, Sholat dhuhur di hotel saat itu sekalian dirangkai dengan Sholat Asar, jama’ qoshor takdim. Menjelang jam 15.00 kami sudah bersiap di lobby hotel dengan mengenakan pakaian ihram, dan membawa tas tenteng, berisi pakaian seperlunya untuk lima hari selama di Arofah dan Mina. Aku juga mendapat amanah dari Pak Am untuk menyangking megaphone. O ya, Arofah dan Mina merupakan inti dari ritual haji, maka sebelum berangkat, kami telah berniat secara lisan dengan mengucapkan “Labbaik Allahumma Hajjan”.

Saat bus kami datang, kami bergegas naik. Karena tidak ada penentuan siapa naik di bus mana, maka bus terdekat yang kosong langsung diserbu oleh jamaah yang paling depan. Istriku langsung naik ke bus terdekat. Sementara aku, sebagai ketua regu masih harus memastikan bahwa sepuluh orang anggotaku bisa naik dan terangkut semua. Maka ketika aku mau naik ke bus yang dinaiki istriku, ternyata sudah penuh. Ya, terpaksa aku naik di bus sebelahnya. Pertama agak kecewa juga aku, kok nggak bisa satu bus dengan istriku. Tapi nggak papa, toh ini hanya perjalanan 7 km ke Arofah, limabelas menit hingga setengah jam Insya Allah sudah sampai, begitu aku menghibur hatiku.

Jalan Ummul Quro yang menanjak, ditambah dengan padatnya kendaraan yang menuju Arofah, membuat jalanan jadi macet namun merambat. Sopir bus harus banyak main kopling. Bau kampas kopling yang menyengat menjadi akrab di hidungku, rupanya sudah aus dan perlu diganti. Beberapa kali sopir tidak bisa memindahkan gigi persneling. Diantara lantunan talbiyah kami, bus menderu-deru mempertahankan posisi. Dan di tanjakan ini beberapa kali pula bus terasa berjalan mundur dan mobil di belakang kami panik membunyikan klakson. Semula kupikir kejadian ini hanya terjadi selama di tanjakan Ummul Quro. Ee ternyata hampir setiap beberapa menit selama perjalanan kami, persneling selalu ngadat tidak mau dipindah. Mesin harus dimatikan dulu dan distarter lagi, baru kemudian bus dapat berjalan, untuk beberapa saat. Untunglah kami semua bersabar, tidak terdengar nada mengeluh dari teman-teman. Inilah salah satu ujian haji, begitu pikirku.

Tepat sebelum memasuki batas wilayah Arofah – aku mengetahui karena ada baliho besar bertuliskan “Arafat Start Here” – sopir bus menyerah, atau mungkin tepatnya bus sudah mogok total. Dia turun dari bus dan menghampiri petugas haji Kerajaan Arab yang standby di dalam mobil di tepi jalan. Dengan suara dialog yang keras mereka tampak bersitegang sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke sana - ke mari. Belakangan saya baru tahu bahwa memang seperti itulah gaya bicara dan perilaku orang Arab ketika bicara. Setelah dilakukan pengecekan, petugas memutuskan untuk memanggil bus cadangan. Sebetulnya kemah kami di Arofah tinggal dua sampai tiga ratus meteran lagi, namun kami dilarang untuk berjalan kaki sendiri. Mereka tahu resikonya. Tahun lalu, untuk kasus yang serupa, mereka harus mengembalikan 40 real kepada tiap penumpang. Makanya petugas bersikeras agar kami sabar sejenak menunggu bus cadangan.

Tidak lama kemudian datang mobil derek besar yang disusul dengan datangnya bus cadangan untuk kami. Saat itu sayup-sayup terdengar adzan maghrib dan matahari sudah sembunyi di bawah cakrawala. Petugas memerintahkan jamaah untuk berpindah ke bus cadangan. Kamipun menyambut perintah itu dengan segera pula. Sementara kami berpindah bus, mobil truk derek juga dipersiapkan untuk menarik bus yang mogok. Setelah semua penumpang masuk bus cadangan, bus baru segera berangkat. Lega rasanya hati kami, akhirnya bisa keluar dari kemelut ini. Tapi, Subhanallah, baru sekitar 100 meter bus melaju, tiba-tiba bus mengalami kerusakan. Anda tahu apa kerusakannya ? Sama persis dengan kerusakan bus sebelumnya. Tampak sang sopir berusaha keras untuk memindahkan persneling, namun tidak berhasil. Bus pun berhenti. Ironinya, truk derek yang menyeret bus kami yang mogok sebelumnya, berlalu mendahului kami yang sedang mengalami mogok kedua. Truk derek berhenti di depan kami. Sopir bus yang di derek turun dan terheran-heran sambil ngomel-ngomel. Mungkin artinya begini “Gimana sih ? kok bisa-bisanya ? Tadi bus pertama mogok, lalu datang bus kedua, bus pertama diderek, penumpang pindah ke bus kedua, eh … ternyata bus kedua mogok juga, benar-benar ajaib.

Jarak yang semakin dekat dengan perkemahan, tidak menyebabkan kami diijinkan untuk berjalan kaki. Petugas memerintahkan kami untuk kembali berpindah ke bus pertama yang mogok, namun sudah dalam posisi diderek. Nah… lucu kan ? Jadi, kami diantar ke perkemahan oleh bus mogok yang sedang diderek, lengkap dengan lampu kuning yang menyala berputar-putar di atas kepala truk derek. Aku sempat berpikiran buruk. Pasti ada diantara penumpang bus kami ini yang memiliki dosa besar, sehingga bus mengalami cobaan berkali-kali. Mestinya tadi dilakukan pengundian untuk menentukan siapa yang harus diturunkan dari bus. Astaghfirullah … jangan-jangan aku sendiri yang harus turun ya ? Aku kirim SMS ke istriku yang sudah sampai di perkemahan, menceritakan kejadian yang kualami. Istriku membalas SMS “Sabar ya mas, banyak baca istighfar …

Tepat saat adzan isya terdengar, rombongan bus mogok kami baru sampai di depan komplek perkemahan. Angka 33 pada papan yang terpampang di depan komplek perkemahan merupakan satu-satunya identitas yang bisa kami gunakan sebagai petunjuk bahwa di situlah perkemahan kami berada, karena ribuan tenda yang hampir sama berjajar di area padang Arofah yang sangat luas. Apalagi saat itu malam hari. Ketika memasuki tenda kami yang berukuran kira-kira 10 X 20 meter, teman-teman yang sudah datang duluan sedang bersiap-siap mengerjakan sholat isya berjamaah. Beberapa teman langsung terlibat percakapan “curhat” perihal mogoknya bus.

Setelah kami mengerjakan sholat isya semua, kebanyakan dari kami segera merebahkan badan untuk istirahat, sambil menikmati udara dingin padang arofah. Tidak ketinggalan juga iringan orkestra dengungan nyamuk, yang tanpa kami duga, ternyata cukup banyak di arofah. Sebagian teman yang lain, ngobrol sesuai dengan moodnya masing-masing. Pak Fuad ngobrol masalah pribadi dengan Kyai Jazuli. Teguh kecil – soalnya dia lahir tahun 1984 – cerita pengalaman mogoknya bus, dll. Yang tak kalah serunya adalah dengkurannya Pak Jatmiko dan Pak Pur.

Wukuf. Tanggal 9 Dzulhijjah pagi, setelah langit terang, kami mulai bisa menikmati pemandangan yang luas di luar kemah. Bukit-bukit batu yang tidak begitu tinggi tampak berdiri dengan kokoh di beberapa tempat. Tanah di Arofah ini memang merupakan padang pasir yang luas, yang saat ini diatasnya didirikan ribuan tenda untuk lebih dari dua juta jamaah haji dari berbagai penjuru dunia. Diantara putihnya hamparan tenda, terlihat hijau dedaunan dari pohon yang berumur ‘’setengah baya’’. Kelihatannya sejenis pohon lamtoro. Dan ternyata – saya cukup terkejut -- di setiap pohon terdapat selang/pipa yang muncul dari tanah di bawahnya, untuk mengairi pohon itu sendiri.

Sementara itu, dua helikopter pemerintah Arab Saudi terus berkeliling di atas Aroofah. Satu helikopter Chinook khas Amerika, dengan dua rotary wing, dan satu lagi helikopter biasa, seperti Puma buatan IPTN. Walaupun suara kedua helikopter itu cukup keras, namun membuat kami menjadi tenang, karena itu menandakan keseriusan pemerintah Arab Saudi dalam melayani para tamu Allah.

Hari itu adalah hari dilakukannya wukuf di Arofah. Wukuf diawali dengan sholat dhuhur, lalu khotbah wukuf, dan diakhiri dengan beristighfar dan berdoa hingga menjelang maghrib. Inilah ritual haji yang di dalamnya terkandung nilai yang paling tinggi, karena dengan jelas Rasulullah SAW menyatakan bahwa doa saat wukuf di Arofah adalah pasti dikabulkan. Pada saat doa bersama berakhir, dan sampai pada doa pribadi, aku memasuki dimensi yang sungguh lain dari biasanya, tetapi dulu pernah aku rasakan waktu aku kecil, yaitu waktu aku menangis. Ya, karena memang saat doa wukuf itu aku betul-betul menangis. Tapi jelas beda esensinya. Saat ini, begitu banyak gambaran dosa masa lalu yang kumohonkan ampun. Aku takut bahwa sesuatu yang aku anggap mungkin merupakan dosa kecil, barangkali ternyata merupakan dosa tak terampuni. Betapa banyak kemusrikan yang pernah kulakukan. Betapa sering aku melecehkan perintah Allah. Betapa banyak sunnah Rasulullah yang aku tinggalkan. Betapa sombongnya aku selama ini. Betapa lemahnya upayaku untuk menggapai keridlaan Allah. Dengan sepenuh hati aku memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosaku. Selanjutnya aku memohon agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Aku takut… sangat takut… apabila saat hari perhitungan nanti, ternyata aku tertolak dan dikeluarkan dari golongan umat Muhammad. Malaikat penjaga akan berkata kepada sang Rasul, ”Ya Rasulullah, orang ini bukan termasuk golonganmu”. Betapa menyesalnya nanti apabila yang kutakutkan itu betul-betul terjadi.

Setumpuk doa permintaan kupanjatkan. Doa kebaikan untuk diriku, istriku, bapak ibuku, bapak ibu mertuaku, adik-adikku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, kerabat-kerabatku, keluarga besarku, muslimin dan muslimat, d.l.l.

Selepas doa, menjelang sore, tiba-tiba kondisi kesehatan badanku terasa menurun. Beberapa hari indah sejak kedatanganku hingga saat ini, yang kulalui dengan kondisi badan yang sangat fit, rasanya akan segera berakhir. Tenggorokan terasa kering, hidung terasa mulai pilek, kepala agak pusing, suhu badan anget-anget sumer, dan yang paling nggak enak, badan terasa sangat lemas, tidak berdaya, otot-otot kaki dan punggung pegal-pegal. Aku menduga keras, sakit radang tenggorokanku bakalan kambuh hebat. Aku segera minum air putih sebanyak-banyaknya, lalu kuminum juga tablet royal jelly yang memang kupersiapkan dari rumah. Lalu aku berdoa dengan sungguh-sungguh, Ya Allah, berikanlah aku kekuatan, tiada daya kekuatan selain berasal dari-Mu, sehatkanlah kembali badanku ini. Lalu aku mulai merebahkan badan dan tidur. Sekitar satu jam kemudian, ketika Pak Am memerintahkan kami untuk berkemas-kemas, bersiap berangkat menuju Muzdalifah, Aku terbangun dari tidur. Subhanallah Walhamdulillah, aku betul-betul segar bugar, pulih kembali seperti sedia kala. Sebelum kukemasi barang-barangku, aku melakukan sujud syukur dahulu, sebagai wujud terima kasihku, bahwa aku telah sehat kembali.

Muzdalifah. Sebelum isya, giliran kami untuk naik bus menuju Muzdalifah sudah tiba. Satu-persatu kami naik ke dalam bus ber-AC, dengan membawa tas tenteng kami masing-masing. Tak lupa megaphone amanah dari Pak Am ku cangking juga, selalu. Dan Alhamdulillah, di dalam bus aku bisa bersanding tempat duduk dengan istriku.

Sekitar satu jam kemudian – dalam kondisi jalan sepi, seharusnya hanya 15 menit -- kami sudah memasuki wilayah Muzdalifah. Bus kami berhenti di tepi suatu dataran luas, yang memisahkan dua jalur jalan bus sejauh sekitar 400 meter, sejarak Safa - Marwa. Di tengahnya terdapat beberapa bangunan, yang semula kuduga, dipersiapkan sebagai toilet. Dan ternyata memang benar toilet. Kami turun dari bus, tepat di depan pintu pagar kawat, dekat papan nama bertuliskan angka 33, nomor maktab kami. Sejauh 100 meteran ke arah depan bus, terpancang papan nama bertuliskan angka 34, lalu 100 meter setelahnya 35, demikian seterusnya hingga sepanjang jalan raya. Di Muzdalifah kami harus mengambil kerikil untuk jumrah di Mina, dan mabit, bermalam, setidaknya hingga lewat tengah malam. Kulihat lautan manusia di tanah lapang ini, duduk di atas hamparan tikar yang telah dibawa oleh masing-masing jamaah, beratap langit malam yang cerah. Beberapa kelompok orang yang lain tampak sedang melakukan sholat berjamaah. Pak Am memerintahkan kepada kami untuk mendahulukan sholat, sebelum mencari kerikil. Kami mematuhinya dengan menyegerakan diri menuju toilet untuk mengambil air wudlu. Selanjutnya kami sholat jama’ qosor takhir, maghrib dan isya, secara berjamaah.

Setelah sholat, aku mencari kerikil di sekitar tikarku, sepuluh saja, untuk persiapan pelemparan jumrah aqobah. Istriku menghampiriku, mengajak untuk mencari kerikil lebih banyak lagi, untuk keperluan sekaligus empat hari pelemparan jumrah. “Dik, aku cukup sepuluh saja, lainnya nanti tak cari lagi di Mina” begitu jawabku. Ternyata responku tidak mengendorkan semangatnya. Akhirnya, bersama-sama dengan ibu-ibu yang lain, dengan berbekal lampu senter dan kantong kerikil, istriku menyusuri tanah-tanah kosong untuk mengumpulkan kerikil. Aku justru berniat menemui Pak Herry, atasan langsungku di kantor, yang saat ini juga mengerjakan ibadah haji bersamaku, tetapi beliau di maktab 35. Semenjak kedatanganku di Mekkah, aku belum pernah bertemu dengannya.

Setelah sedikit ngobrol dengan Pak Herry, aku kembali ke rombonganku, dan bersiap-siap untuk tidur. Angin yang kadang berhembus kencang membuat kami harus mengenakan masker selama tiduran. Debu-debu terasa sesekali menerpa badan dan wajah. Ditambah lagi udara yang cukup dingin. Dan kami, laki-laki, tidak boleh mengenakan pakaian tambahan, selain ihram yang kami pakai.

Hampir dua jam kami tidur, hingga ketika kemudian pimpinan rombongan kami meminta kami untuk bergeser tempat, mendekati pintu pagar, menuju semacam perhentian bus di luar pintu pagar. Rupanya saat itu sudah lewat tengah malam. Bus demi bus, penghuni maktab 33 diangkut ke Mina. Cukup lama kami antri bus, hingga akhirnya shubuh tiba kami baru bisa terangkut.

baca selengkapnya...

Saturday, January 20, 2007

Pertemuan Pertama (kisah 3)

Azan shubuh sudah terdengar, dan kunci kamar belum kami dapatkan. Kami masih sabar menunggu di lorong lantai 13. Belum ada satupun dari kami yang dapat kamar dan bisa berwudlu. Spontan kami bertayamum dan segera membentuk shaf untuk mengerjakan Sholat Shubuh berjamaah. Kyai Jazuli, 78 tahun, bertindak sebagai imam. Ada yang lucu, di akhir rakaat dua, tanpa salam, Pak Jazuli beranjak berdiri melanjutkan rakaat ke tiga. Kontan kami pun mengoreksi tindakan imam dengan ucapan “Subhanallah …”. Pak Yai segera duduk kembali, lalu mengucapkan salam. Kemudian beliau menoleh ke arahku sambil bertanya, “Lho, ini tadi sholat isya apa shubuh, sih ?” Kujawab, “Sholat Shubuh, Yai”. “Astaghfirullah …”, sesalnya.


Dari hasil pembagian kamar, aku tinggal dengan tiga ustadz di kamar 1323, yaitu Ustadz Amrizal (Ketua KBIH, Pembimbing I), Ustadz Chusnul Hadi (Pembimbing II), dan Ustadz KH Ahmad Jazuli Hanafi (Ayah Pak Chusnul). Wah, kelas berat semua. Aku bisa memanfaatkan untuk banyak tanya soal spiritual nih, pikirku begitu.

Pak Amrizal mengomando kami untuk bersiap seperlunya, karena jam 08.00 akan segera berangkat ke Masjidil Haram untuk melakukan umrah. Aku segera gosok gigi dan berwudlu. Memang agak ribet berwudlu dengan pakaian ihram. Belum terbiasa aja mungkin. Kulihat bercak-bercak kecoklatan masih erat menempel di kain ihram bawah, bekas ketumpahan air teh istriku saat di pesawat. Kata ustadz, aku tidak perlu ganti ihram, karena air teh bukan najis.

Dengan langkah yang cepat kami berjalan menyusuri Jalan Ummul Quro yang menanjak menuju masjidil haram. Dari setiap tarikan nafas, memang terasa di rongga hidung bahwa udara yang kuhirup begitu kering. Untunglah masker kain tak lupa kubawa. Talbiyah senantiasa kami kumandangkan di sepanjang jalan. Beberapa kelompok orang berpapasan dengan kami, memandang kami dengan tatapan mata yang memberi semangat. “Ayo, segeralah kamu menuju baitullah, di sana ada yang menanti kedatanganmu”, mungkin begitu yang ingin dikatakan oleh bahasa matanya.


Setelah melewati jalan layang, jalan yang kami lalui mulai menurun. Dan di ujung jalan, di bawah sana, sebentuk bangunan berwarna abu-abu dengan beberapa menara nampak dengan jelas. Inikah Masjidil Haram ? Hampir tak percaya aku, akhirnya aku bisa berkunjung ke rumahmu ini Ya Allah. Memang sangat megah bangunan ini. Auranya begitu kuat memancar. Namun, gedung-gedung dan hotel yang menjulang di sekitarnya seolah tak memberi hormat kepada bangunan suci itu, bahkan tampak menenggelamkannya. Di sebelah kanan, tampak hotel Dar Al Tawhid yang angkuh. Di balik gedung itu tampak puncak Hilton yang sombong. Yang paling tinggi adalah gedung dengan alat-alat derek yang masih nongkrong di puncaknya. Konon itu adalah proyek kerajaan Arab Saudi untuk penginapan jamaah haji. Dan kabarnya pemerintah Indonesia telah teken kontrak untuk menitipkan sebagian besar jamaah hajinya di situ suatu saat nanti bila telah jadi.

Dari jalan yang menurun, tampak orang masih menyemut di halaman masjid, berlalu lalang dengan berbagai arah. Beberapa menit kemudian, kami telah bergabung dengan lalu lalang manusia itu, menyusuri halaman masjid yang berlantai marmer putih, menuju pintu 24, Babussalaam. Dari arah itulah Nabi mencontohkan kita untuk memasuki masjid saat umrah haji. Tepat lurus di depan pintu 24, Ustadz Amrizal menghentikan rombongan, kemudian mempersilakan jamaah yang batal wudlunya, atau yang memang mau ke toilet, untuk menuju toilet yang berada di ujung sisi luar halaman masjid.


Setelah semua siap, Pak Am segera memimpin kami memasuki pintu masjid. Hati berdebar, inilah pertama kali aku masuk rumah suci utama umat Islam. Pintu 24 di awali dengan suatu tangga naik, karena jalan masuk masjid ini menyeberang di atas lintasan Sa’i di antara Shofa dan Marwa. Fokus perhatian dan pandangan mata kami tertuju ke arah pusat masjid, ke arah bangunan ka’bah yan berselimut kiswah warna hitam. Saat menyeberang di atas lintasan Sa’i, ka’bah belum terlihat utuh, karena tertutupi tiang-tiang masjid. Semakin dekat, langkah kami semakin cepat, seperti tak sabar, ingin segera bertemu. Subhanallah … Sekarang ka’bah nampak jelas, utuh, dan kokoh berdiri di suatu lembah pelataran Thowaf. Dikerumuni oleh ribuan orang yang sedang ber-thowaf, berkeliling di sekitarnya dengan arah berlawanan dengan arah jarun jam, bila dilihat dari atas. Suatu pemandangan yang menggetarkan. Inilah qiblat umat manusia di bumi, ke arah mana wajah ini dihadapkan ketika melakukan sholat. Terdengar isak tangis teman-teman saat pertemuan pertama dengan ka’bah ini. Kutoleh istriku, air matanya deras sekali mengalir dari matanya yang kemerahan, sambil keluar lantunan tasbih dari mulutnya. Astaghfirullah … Ya Allah, kenapakah aku ini ? Butakah hatiku ini ? Hampir semua orang menangis saat pertama kali melihat ka’bah. Mangapa aku tidak ? Aku hanya sampai pada level tergetar dan terkagum-kagum, dan mata ini tetap kokoh menahan air mata untuk keluar.

Dengan barisan yang masih utuh, kami menuruni tangga menuju ke pelataran thowaf, bergabung dengan ribuan orang lainnya yang berdesak-desakan. Kami langsung bertemu dengan Maqam Ibrahim, sebuah batu berstempel telapak kaki Nabi Ibrahim, yang dahulu digunakan sebagai alas berdiri sang Nabi saat meletakkan batu-batu untuk membangun ka’bah. Saat ini Maqam Ibrahim dilindungi oleh suatu kurungan kaca berkerangka logam keemasan. Jaraknya sekitar 10 meter di depan ka’bah. Kami hanya melewatinya saja, melingkari ka’bah, membentuk tiga perempat lingkaran hingga sampai ke Hajar Aswad, suatu batu surga yang diletakkan di pojok ka’bah. Dari sudut inilah sesungguhnya thowaf kami baru akan dimulai.

Bismillahi Allahu Akbar, tangan kanan kulambaikan ke arah Hajar Aswad, sebagai isyarat pengganti sunnah mencium batu itu. Apabila memungkinkan, sebaiknya setiap putaran thowaf dilakukan dengan mencium hajar aswad. Namun karena begitu banyak orang berdesakan bernafsu untuk menciumnya, di sekitar batu itu tercipta semacam medan gerakan manusia dengan gelombang yang sangat tinggi, yang seolah susah untuk ditembus. Dalam hati kupendam dendam, suatu saat nanti, aku harus bisa menciumnya, Insya Allah. Aku berhitung di dalam hati, kami berada di Mekkah selama tiga puluh hari, sedangkan puncak acara haji berada di awal bulan. Jadi, kupikir paska haji nanti kami masih punya waktu banyak, dan para jamaah haji akan berangsur-angsur pulang ke negara masing-masing, sehingga masjid menjadi makin sepi. Saat itulah aku akan mendatangi hajar aswad.


Dengan langkah yang lambat dan pendek-pendek, kami mengikuti aliran manusia, berserah diri, ikhlas menjalankan hukum Allah. Hati dan pikiran selalu kutambatkan kepada Sang Pencipta. Segala dzikir dan doa kupanjatkan. Istriku kulindungi di depanku. Kupegang kedua pangkal lengannya dengan kedua tanganku. Aku setengah memeluk. Kadang, kalau situasi semakin sesak, kedua tanganku menegang ke samping kiri dan kanan badan istriku, bersiap melindungi dari desakan jamaah lain.

Rasanya banyak sekali potongan-potongan rekaman pengalaman selama thowaf yang ingin kuceritakan di sini. Tetapi cerita akan terlalu lama berputar-putar di sekitar ka’bah. Masih banyak kesempatan cerita tentang thowaf, karena selama di mekah, memang tiada hari tanpa thowaf. Oke, kita percepat kalo begitu …


Dengan gelang karet kami menandai tiap putaran thowaf. Setiap akhir putaran, yaitu setiap kami melewati sudut hajar aswad, kupindahkan karet dari pergelangan tangan kiri ke tangan kanan. Setelah karet ke-7 berpindah ke tangan kiri, Pak Am yang berada di posisi paling depan, mengangkat tangan kanannya, memberi kode kami agar menepi, menuju arah tempat sholat sunat thowaf. Cukup sulit menembus arus thowaf yang begitu padat. Untuk memudahkannya, kami masih harus berjalan mengikuti arah thowaf, namun sambil sedikit demi sedikit menepi. Nah, persis seperti teorinya Apollo 11 saat mau meninggalkan bumi menuju ke bulan. Dia harus berthowaf dulu mengelilingi bumi, sambil menjauh, untuk menembus tarikan gravitasi bumi. Subhanallah

Sesuai dengan yang dicontohkan saat latihan manasik, aku dan istri mengambil tempat sholat di sebelah luar maqam Ibrahim, berdesakan dengan ratusan jamaah lain yang juga baru lepas dari ritual thowaf. Kucarikan tempat terlebih dulu buat istriku, setelah itu, aku mengambil tempat agak ke depan dan mulai sholat. Walaupun tidak lurus benar, ketika aku sholat, maqam Ibrahim dan ka’bah berada di arah depanku. Aku bisa mengira, arah hadapku saat itu adalah barat, karena saat itu masih jam 10-an pagi, dan bayang-bayang badanku rebah di depanku. Aku sempat membasahi lantai marmer dengan beberapa tetes airmata saat sujud.


Usai sholat dan memanjatkan doa, aku dan istri beranjak ke arah belakang, menuju kran air zam-zam yang berderet rapi dan selalu dikerumuni orang yang mau mengambil air. Kuambil sebuah disposable cup dari cup dispenser di samping kran, lalu kukucurkan zam-zam ke gelas plastik dengan cara memencet tombol kran. Kemudian dengan berdiri menghadap ka’bah, kuteguk zam-zam dingin itu. Rasanya cukup mengejutkan, sungguh menyegarkan, dan ada kesan gurih, sepertinya mengandung mineral dan vitamin yang sangat tinggi. Baru pertama kali itu aku mengenal rasa air seperti itu. Memang di Indonesia (tepatnya di Malang) aku pernah minum zam-zam saat silaturahmi ke orang yang baru pulang hajian, tapi rasanya amat beda. Mungkin karena dulu minumnya cuma seteguk saja, sementara di sini berteguk-teguk. Allahumma inni as aluka ‘ilman nafi’an wa rizqoan wa si’an wa shifaan minkulli daa’. Ya Allah aku memohon ilmu yang bermanfaat, rizki yang luas, dan kesembuhan dari segala penyakit. Begitu doa setelah minum air zam-zam yang kuucapkan. Gelas plastik kubuang di tempat sampah di dekatku.

Pak Am menunjuk ke suatu arah sambil menginstruksikan kepada kami agar segera berkumpul di dekat Safa, untuk mempersiapkan diri ke ritual umrah berikutnya, yaitu Sa’i. Sementara itu Pak Am masih akan menunggu teman-teman lain yang masih menyelesaikan sholat sunat thowaf. Rombongan kecil dari kami yang sudah selesai minum zam-zam segera menyambut instruksi itu. Kami berjalan menaiki beberapa anak tangga meninggalkan pelataran thowaf menuju ujung kanan lintasan sa’i. Namun ternyata, jumlah orang yang begitu banyak dan arus manusia yang begitu kuat, tidak memberi kesempatan kepada kami untuk berhenti di suatu tempat dan menunggu kawan-kawan yang lain. Tanpa terasa beberapa dari kami sudah memasuki lintasan sa’i yang di dalamnya terdapat arus manusia yang kuat menuju bukit Safa. Oke, berarti acara sa’i kali ini akan kulakukan tanpa pembimbing. Aku dan istri tampak tak ragu-ragu untuk melangkah menaiki tanjakan di Safa. Alhamdulillah, kami mengikuti latihan manasik dengan cukup disiplin saat di Malang, sehingga cukup pede pula untuk melakukan sa’i tanpa keberadaan pembimbing. Inna shofa wal marwa min sa’airillah …kami mengucapkan doa menaiki bukit Safa.


Karena padatnya orang, saat berada di Safa cukup repot bagiku untuk mengarahkan wajah dan badan ke arah ka’bah untuk berdoa. Di bukit kecil Safa banyak orang berhenti dan berdoa, bahkan ada yang naik ke lereng dan puncaknya, sementara arus dari lintasan sa’i tak terbendung. Dengan istri tetap berada di depanku, aku terus berdoa sambil terhanyut oleh arus. Begitu jalan menurun dan lepas dari Safa, jalan melonggar, dan kamipun mempercepat langkah.
Orang-orang memiliki kecepatan yang bervariasi dalam berjalan. Ada yang berkelompok, dan ada pula yang sendirian. Dengan kondisi pinggang yang terasa pegal pada setiap langkah, aku agak heran dengan kecepatan berjalan istriku. Mau tak mau aku harus mengimbangi langkahnya. Dengan berjalan cepat dan diselingi manuver zigzag, kami menyalip kelompok-kelompok kecil maupun orang yang berjalan dengan santai. Santainya mereka berjalan disebabkan oleh beberapa hal. Ada yang memang karena sudah sepuh, ada yang karena mempertahankan keutuhan kelompok, dan ada pula yang karena konstentrasinya terpecah dengan buku doa yang harus dia baca sambil berjalan.

Lintasan sa’i ini, saat ini merupakan bagian dari masjid, dengan panjang sekitar 400 meter. Ujung lintasan, yaitu Safa dan Marwa, menanjak dengan ketinggian sekitar 5 meteran. Beberapa jembatan penyeberangan melintas silang di atas lintasan sa’i, diperuntukkan bagi jamaah yang memasuki masjid dari pintu timur. Di tengah lintasan, dekat Safa, terdapat segmen sepanjang sekitar 50 meter yang awal dan akhirnya ditandai dengan lampu hijau. Di antara dua lampu itu kami, laki-laki, disunnahkan untuk berlari-lari kecil. Kalau diamati, dari keseluruhan lintasan sa’i yang panjang, segmen pendek itu merupakan area yang terdekat dengan ka’bah.

Di tengah trip ke-5 dari 7 trip, jam kotak di atas lintasan sa’i menunjukkan angka 12.10. Sementara display di atas jam itu terbaca running text yang menginformasikan waktu dhuhur jatuh pada jam 12.25. Berarti tinggal tersisa 15 menit lagi untuk menyelesaikan dua setengah trip sebelum azan dhuhur dikumandangkan. Sebetulnya boleh saja, ritual sa’i yang belum selesai terpotong oleh sholat dhuhur. Sesudah sholat dilakukan, sa’i bisa dilanjutkan. Tapi karena kulihat istriku kondisinya begitu fit, aku ajak dia mempercepat langkah. Konsekuensinya, pinggangku semakin terasa cekot-cekot.

Alhamdulillah, kami bisa menyelesaikan sa’i sebelum masuk dhuhur. Di ujung Marwa, pintu keluar dipenuhi orang yang sedang bertahalul, yaitu memotong beberapa helai rambut dengan gunting. Belum sempat bertahalul, azan sudah berkumandang. Aku segera mengajak istri dan beberapa ibu-ibu untuk segera mencari tempat sholat. Bisa dibayangkan, ribuan orang yang ada di area itu pasti harus berebut dan berdesakan untuk mendapatkan kavling sholat jamaah dhuhur. Kami mendapat tempat di luar masjid yang tidak beratap di dekat Marwa. Tanpa alas sajadah, kami menyempatkan sholat rawatib 2 rakaat. Tak lama kemudian, iqamat segera dikumandangkan. Yaa Allah, inilah sholat fardhu pertamaku di masjidil haram. Begitu imam mengangkat takbir, suasana menjadi sunyi, dan orang-orang begitu khusuk memulai sholat. Yang terdengar hanya sayup-sayup suara derau AC masjid dan kicau burung yang beterbangan di atas kami. Sengatan matahari yang semula tak terasa, kini mulai merambat di punggung dan kepala. Namun panasnya punggung dan kepala itu tersiram oleh sejuknya berjamaah di masjidil haram. Subhanallah


Selepas dhuhur baru kami bisa bertahalul. Terdengar kabar dari Pak Chusnul bahwa Pak Am menyuruh kami yang sudah bertahalul langsung pulang terlebih dahulu ke hotel. Oke deh kalo gitu, kuajak istri dan ibu-ibu yang lain mengambil sandal di yang tadi ketika masuk masjid kami letakkan dekat pintu masuk Basbussalaam. Alhamdulillah, aku dan istri bisa menemukenali sandal kami. Beberapa ibu-ibu ada yang mengeluh kehilangan sandalnya. Mungkin sandalnya terjatuh dari rak dan akhirnya disweeping oleh petugas cleaning service masjid. Di dekat kami terlihat seorang ­petugas kebersihan masjid dengan gerobak dorong penuh dengan sandal. Aku ingin mencari sandal ibu-ibu yang barangkali sudah dimasukkan ke gerobak dorong, tetapi petugas berwajah timur tengah dan berjenggot lebat itu melarangku dengan cara mengibas-ngibaskan kedua tangannya, sambil mengucapkan beberapa patah kata yang tak kumengerti. Kami mengalah, akhirnya kami pulang ke hotel dengan beberapa teman yang tidak beralas kaki.
Selesai umrah, kami sudah diperbolehkan melepas ihram, berganti dengan pakaian bebas. Pada akhir umrah kami bertahalul, berarti larangan yang semula berlaku saat mengenakan kain ihram, setelah tahalul menjadi dihalalkan. Asyiik …

baca selengkapnya...

Wednesday, January 17, 2007

Menghirup Udara Arab (kisah 2)

Jam tangan Casio-ku sudah ku-set sedemikian rupa, sehingga jam utama yang berjarum menunjukkan waktu Indonesia, sedangkan digital display-nya menunjukkan waktu Saudi. Jam 10.00 WAS (Waktu Arab Saudi), pembimbing KBIH-ku, Pak Amrizal Arief, memerintahkan agar kami berganti pakaian ihram. Kain ihram bagian bawah sudah kami kenakan semenjak dari asrama haji Sukolilo. Secara bergantian kami memasuki ruang ganti kru pesawat untuk mengganti baju atas kami dengan selembar kain ihram, dan melepas CD. Sesuai dengan yang disampaikan saat latihan manasik, kami akan mengambil miqat di atas Tan’im, yaitu sebuah kota di sebelah selatan Mekah, kira-kira berjarak 20 menit sebelum mendarat di Jeddah. Sementara itu, jamaah calon haji KBIH lain yang satu pesawat dengan kami, tampak memiliki sikap yang berbeda-beda dalam memasuki batas miqat ini. Ada yang sama dengan kami, segera berganti dengan pakaian ihram. Ada yang mantap berketetapan untuk berihram di Jeddah, sesuai dengan ijtihad salah seorang ulama Qatar. Ada pula yang panik dan agak kebingungan, karena pembimbingnya menyarankan berihram di Jeddah, tetapi ternyata melihat begitu banyak jamaah yang berihram di pesawat. Apalagi nanti setelah di layar monitor pesawat untuk penumpang muncul pesan bahwa pesawat telah memasuki Ihram Zone.

Setelah mengenakan kain ihram lengkap, kami kembali duduk hingga akhirnya terdengar pengumuman dari speaker bahwa pesawat akan memasuki batas miqat. Secara bersamaan kami segera mengucapkan niat haji Tammatu’ “Labbaik Allahumma Umratan”. Layar monitor segera memunculkan tulisan Ihram Zone yang berkedip-kedip. Di luar tampak kegelapan malam yang dihiasi lampu-lampu jalan dan kota kecil. Rupanya pilot sudah menurunkan ketinggian pesawat. Mendekati Jeddah, hatiku agak berdebar-debar. Bukan berdebar-debar akan memasuki masa kritis saat landing, tetapi sebentar lagi aku akan menghirup udara Jazirah Arabia, yang di situ dahulu beberapa nabi pernah mengukir sejarah perjuangan dalam menegakkan tauhid, menyeru para umatnya dengan kalimat Laa ilaa ha ilallah.

Setelah beberapa saat melaju di atas pantai Jeddah, kapal memutar arah hampir 180o. Daratan tampak semakin dekat. Lampu-lampu yang berderet rapi dan panjang yang nampak di jendela pesawat dapat segera kukenali sebagai Bandara Jeddah. Sesaat kemudian pesawat terasa sedikit mendongak, lalu roda terasa menyentuh landasan, dan hentakan-hentakan kembali terasa di pantat, sama dengan yang terasa di landasan pacu bandara Juanda Surabaya. Lega rasanya dapat mendarat dengan selamat, tanpa halangan apapun. Alhamdulillah ... Di ujung landasan, ketika pesawat mulai berbelok menuju terminal kedatangan khusus jamaah calon haji, windsock memberitahuku kalau pesawat mendarat dengan arah head wind.

Terlihat beberapa pesawat asing sedang menurunkan calon jamaah haji, ada Indian Air, pesawat Turki, pesawat China, dan lain-lain. Kami keluar pesawat melalui suatu belalai jembatan yang dapat mulur mungkret, yang menghubungkan antara pintu pesawat dengan terminal kedatangan. Setahuku, di Indonesia itu namanya garba rata, buatan IPTN Bandung. Kami langsung disambut oleh dua orang berpakaian arab, yang membagi-bagikan kaset dan buku kecil bertuliskan Petunjuk Jamaah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasul SAW, terbitan pemerintah Saudi.

Hawa dingin menyambut kedatanganku di Bandara King Abdul Aziz. Ternyata dinginnya Jeddah tak seperti yang kuperkirakan. Rasanya seperti malam hari di kota Malang saja. Mungkin karena sejak keluar pintu pesawat, proses imigrasi, hingga berkumpul lesehan di kavling kloter di Bandara, kami selalu disibukkan dengan tas-tas tentengan dan koper-koper. Apalagi aku kebagian jatah menyangklong corong megaphone KBIH, amanah dari Pak Amrizal sejak di pesawat. Bahkan keringat sempat bercucuran saat kami harus mengatur koper-koper berat yang dionggokkan oleh petugas di dekat kavling kloter, menjadi terkelompok sesuai regu dan rombongan. Ingat, saat itu aku menjabat sebagai ketua regu, dan aku harus memastikan 11 koper milikku dan milik anggotaku terjejer rapi dan berada di dalam kelompok koper rombongan 5.

Kira-kira dua jam kami berada di Bandara. Dengan pakaian ihram yang sudah dikenakan, kami cukup santai menunggu giliran pemberangkatan ke Mekkah. Sambil berdiri kuamati dunia baru di sekelilingku. Atap ruang tunggu bandara ini berwarna putih dan tampak tinggi, seperti kumpulan berpuluh-puluh payung segi empat raksasa yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa juga. Lantainya sangat luas, dipenuhi oleh kavling-kavling untuk istirahat sementara bagi para jamaah. Kavling seluas lapangan tenis menjadi jatah kloter kami, yaitu tempat dimana teman-temanku berglempohan di atas karpet yang nampaknya telah digunakan selama bertahun-tahun tanpa belas kasihan, alias kebulak-bulakan. Batas kavling ditandai dengan deretan kursi-kursi fiberglass berkaki rendah seperti sofa.

Bermacam-macam perilaku para pengembara spiritual yang kulihat. Ada yang tidur-tiduran, barangkali kecapaian karena di pesawat tidak bisa tidur. Maklum pengalaman pertama naik pesawat. Ada yang foto-foto, tembak sana tembak sini, ada juga yang numpang foto di sana dan numpang foto di sini. Yang tak kalah serunya adalah upaya teman-teman untuk mencoba mengunakan HP-nya masing-masing di jaringan GSM Arab. Ada yang langsung tembus, dan ada pula yang ternyata gagal dan terpaksa harus nunut di HP temannya untuk sekedar kirim SMS kepada keluarga di rumah, untuk menginformasikan bahwa dirinya telah sampai di Jeddah dengan selamat.

Hawa dingin baru terasa setelah aku berada di dalam bus yang membawa kami ke Mekkah. Mungkin karena kami melaju di di tengah-tengah gurun, di daratan yang beriklim sub tropis, berada pada 21o di sebelah utara equator, yang kadang-kadang bertiup angin utara yang dingin. Tapi barangkali yang lebih mungkin adalah karena busnya ber-AC…! Agak aneh rasanya bahwa bus yang kutumpangi berada di jalur kanan dari jalan raya, dengan sopir di sisi kiri bus, seolah-olah aku sedang masuk ke dalam dunia cermin. Kami melaju melalui jalan raya sekualitas jalan tol Cikampek, mulus dan lebar. Di kanan dan kiri tampak kegelapan malam yang dihiasi lampu-lampu di kejauhan. Kadang-kadang, setelah melalui kegelapan yang cukup lama, bus melintasi pom bensin atau toko yang hingar bingar dan terang benderang. Kubayangkan, kalau siang hari mungkin suasananya seperti di film-film yang pernah kulihat, yang berlatar negara bagian Texas atau Colorado di Amerika. Bedanya, di sini gundukan-gundukan bukit cukup banyak berserakan, sehingga membuat jalan harus berkelok, atau bukit itu yang terpaksa harus dibelah.

Aku sempat terlelap, hingga akhirnya tersadar dan kubangunkan istriku yang duduk di sampingku, saat bus sudah mendekati kota Mekkah, berada seratus kilometer di sebelah timur Jeddah. Gedung-gedung mulai merapat dan meninggi, mobil-mobil di jalan memadat, dan cahaya lampu semakin benderang. Kulihat jam tangan, mendekati jam empat pagi. Bus terus mendekat ke pusat kota, sampai beberapa saat kemudian, di trotoar kulihat banyak orang berjalan dengan langkah tergesa ke arah yang sama dengan laju bus yang kutumpangi. Aku buru-buru menoleh ke istriku, “Dik, orang-orang itu pasti sedang menuju Masjidil Haram untuk Sholat Shubuh, berarti kita sedang mendekati Masjidil Haram.” Istriku tampak terperanjat,” Masak sih Mas ? ”. Makin lama makin banyak pejalan kaki di trotar, bahkan sampai meluber ke jalan, hingga bus dan mobil lainnya melambat dan bunyi klakson bertambah seru. Saat itu busku berada di Jalan Ummul Quro.

Pandangan mataku sibuk mencari-cari bangunan di arah depan yang barangkali merupakan bagian dari Masjidil Haram. Belum sampai kutemukan sosok bangunan itu, tiba-tiba jalan menurun dan bus masuk ke terowongan bawah tanah. Ketika sampai di sebuah pertigaan, bus memutar berbalik arah, hingga keluar terowongan lagi, dan kini busku melawan arus pejalan kaki. Tak lama kemudian bus merapat ke kanan, di depan sebuah hotel bertingkat yang di depannya dipasang papan nama bertuliskan “Maktab 33”, serta logo bendera merah putih. Di bawahnya ada papan yang lebih kecil bertuliskan “Rumah no : 14”. Bisa kupastikan, itulah hotel tempat kami harus menginap, sesuai dengan ciri-ciri yang disampaikan oleh ketua kloter saat penjelasan di Sukolilo. Kami mulai bersiap-siap untuk turun. Namun belum sampai kami beranjak dari kursi, ada petugas Indonesia yang naik ke bus dan memberikan pengumuman, “ Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillah, Bapak-bapakp, Ibu-ibu, telah sampai di hotel tempat Bapak Ibu menginap. Silakan menunggu di bus, mohon sabar sejenak, jangan turun dulu, kami akan melakukan pengaturan koper dan kamar terlebih dahulu. Perlu kita syukuri, hotel yang akan ditempati ini cukup bagus, bersih, ber-AC, kamar mandi ada air hangatnya, lift-nya banyak, dan letaknya tidak jauh dari Masjidil Haram, kira-kira 700 m saja, Insya Allah jalan kaki 10 menit sudah sampai….dst” Alhamdulillah… hatiku berteriak bahagia. Mataku terasa memanas dan berair. Pak Bambang Sulaiman, yang duduk di depanku, menoleh ke istrinya dengan mata kemerahan dan berkaca-kaca. Kutengok teman-teman yang lain, sama. Dan di dalam bus terdengar suara gumaman hamdalah yang hampir bersamaan.

baca selengkapnya...

Mengejar Matahari (kisah 1)

Cerita Haji. Bersamaan dengan masa kepulangan para jamaah haji 2007 ini ke tanah air, saya akan bernostalgia dengan menceritakan beberapa kisah perjalanan haji saya di awal 2006 lalu. Tidak berniat lain, sekedar berbagi pengalaman, barangkali ada sedikit manfaat bagi teman-teman yang bersiap-siap mau berangkat ibadah haji. Kisah terbagi dalam beberapa posting. Inilah kisahnya ...

Sejak kecil, aku begitu kagum dengan luasnya langit. Sering kuamati kerlip bintang gemintang malam hari dan arak-arakan awan di siang hari. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang anak kelas 1 SD sering kulontarkan kepada ayahku saat itu,” Mengapa bintang itu berkedip-kedip” Atau “Mengapa langit itu biru”, atau “Mengapa bulan itu berjalan mengikuti gerak kita yang sedang naik Vespa”. Suatu saat bahkan aku pernah tidak bisa menerima pernyataan ayahku bahwa langit itu tidak ada batasnya. Yah, kita memang terbiasa terkekang oleh batasan-batasan dan kerangka hasil bentukan pengalaman kita sendiri dalam memandang sesuatu. Barangkali karena itulah aku akhirnya terobsesi untuk dapat merasakan nuansa eksotisme rasanya mengarungi luasnya langit yang tanpa batas itu. Saat mulai bekerja di kota Malang selepas kuliah, kulihat ada orang-orang main paralayang di Batu. Wow, ini dia yang kucari selama ini. Dan jadilah aku ikut terbang bersama mereka.

Nah sayangnya, sampe segede gini, yang namanya naik pesawat terbang belum pernah kualami. Pernah aku ajak istri untuk sesekali merasakan naik montor mabur. Misalnya main ke Jakarta, berangkat pagi, pulang sore. Ee … kok ya nggak mau istriku itu. Akhirnya, sekali naik pesawat, langsung 10 jam menuju Jeddah, yang berjarak hampir 9.000 km dari Surabaya. Betul-betul pengalaman pertama yang kutunggu-tunggu.

Begitu bus rombonganku mendekati pesawat Airbus Saudi Arabian Airlines di Bandara Internasional Juanda Surabaya, tak kubiarkan kesempatan berlalu tanpa memotret burung aluminium itu. He he ndesit ya…. Memang. Bintik-bintik gerimis di kaca bus menghiasi hasil jepretanku, menimbulkan kesan blur di beberapa tempat. Sesaat kemudian, masih dengan guyuran gerimis, aku, istri, dan teman-teman se-kloter 88 menaiki tangga pesawat yang mampu memuat 450 penumpang itu.

Sebagai seorang pemula dalam hal naik pesawat, tentu aku sangat berharap untuk dapat menempati seat yang di pinggir, dekat dengan jendela. Aku lihat nomor tempat dudukku di tas paspor yang tergantung di leher, nomor 208, sedangkan istriku 207. Ternyata kudapati seat ku berada di nomor tiga dari jendela kiri, deket sayap pesawat. Tentu saja istriku di sebelah kiriku. Wah lumayanlah, pikirku. Yang tak kusangka, ada anggota reguku yang duduk dibelakangku, namanya Bu Sofiah, 70 tahun-an, biasa kami panggil dengan “Umi”, minta duduk di sebelah istriku. Apa akibatnya ? Penumpang di nomor 206 yang dekat jendela, yang tak lain adalah ustadzku Pak Chusnul mengalah, beliau bertukar tempat dengan Umi. Dan bisa diduga, aku memanfaatkan perubahan situasi itu untuk merangsek ke kiri, mentok ke jendela. Sedangkan Umi duduk di eks kursiku, 208, dekat lorong. Istriku yang tetap duduk di tengah tersenyum menyala-nyala sambil berbisik ke arahku,”Alhamdulillah ya, impiannya Mas untuk duduk dekat jendela terlaksana”. Batinku bergumam, belum sampai di tanah suci saja Allah sudah mengabulkan harapanku untuk duduk dekat jendela.

Dalam penerbangan, saat yang paling kritis adalah saat take off dan landing. Itu sudah kuketahui saat belajar paralayang. Apalagi cuacanya cukup mendung dan bergerimis. Mendekati jam 17.00, pesawat pelan-pelan meninggalkan terminal menuju landasan pacu. Sepuluh menit kemudian, pesawat sampai di ujung landasan pacu, lalu berputar 360 derajat. Tampak windsock – silinder kain yang dipasang di puncak tiang dekat ujung landasan pacu – melambai ke arah kiri. Artinya angin cenderung bertiup dari arah kanan badan pesawat, cross wind. Idealnya, angin bertiup tepat dari depan, head wind. Dengan pesawat masih terdiam, mendadak putaran mesin jet ditingkatkan hingga suaranya terdengar berdesing di kabin. Kulihat rumput ilalang di tepi landasan berkibar-kibar terkena hembusan mesin turbo jet yang menempel di sayap. Tiba-tiba pesawat melaju dan badanku tertekan ke arah belakang, sepertinya rem roda mendadak dilepas. Terasa hentakan-hentakan ringan di pantat akibat laju roda pesawat di permukaan landasan pacu yang memang pasti tidak bisa sempurna kemulusannya. Sejenak kemudian hentakan itu menghilang, dan permukaan landasan semakin terlihat merendah. Cuaca yang hujan gerimis dan sedikit berkabut, membikin suasana agak tegang, apalagi sesekali terlihat kilatan petir di dekat cakrawala. Dalam kondisi seperti itu, aku hanya bisa berserah diri kepada Allah. Ya Allah, Engkau yang jiwa dan raga ini ada di tangan-Mu, berilah keselamatan dalam perjalanan ibadah hajiku ini. Amin.

Pesawat terus melaju dan meningkatkan ketinggiannya menuju 35.000 feet. Sudah beberapa kali awan-awan dan kabut tertembus kendaraan angkasaku. Tentu saja aku selalu melirik ke arah jendela. Yang cukup mengejutkan, ternyata ujung sayap pesawat yang tadinya tampak kokoh kuat itu, kini terlihat lentur, sedikit melenting-lenting saat pesawat berguncang menembus awan. Subhanallah, begitu hebatnya manusia yang merancang dan membuat pesawat ini. Betapa hebatnya lagi Dzat yang menciptakan manusia yang bisa berpikir dan berkreasi ini.

Setelah lima belas menit, pesawat mulai kelihatan stabil, dan pemandangan di jendela mulai bersih dari kabut dan awan. Di atas tampak cerah, tidak ada ciri-ciri hujan sama sekali. Memang, saat ini posisi pesawat sudah berada di atas awan hujan, strato cumulus dan cumulus. Kulihat ke bawah, di sela-sela awan tampak pantai utara pulau jawa terlihat seperti segaris kurva tak beraturan, yang memisahkan bidang berwarna biru dan hijau.Masih ke arah jendela, kupalingkan pandangan ke arah depan, ke garis cakrawala, matahari masih menyaksikan keberangkatanku. Aku seperti mengejar matahari yang sebentar lagi akan menghilang di balik cakrawala. Dengan kecepatan penuhpun pesawat digeber, matahari tak akan terkejar. Pesawat melaju ke arah barat dengan kecepatan sekitar 915 km/jam, sementara dengan arah berlawanan, permukaan bumi berotasi melaju relatif terhadap posisi matahari 12.000 km/jam. Mana mungkin mengejar matahari, setidaknya hingga zaman ini. Begitu matahari tenggelam, terdengar ketua rombonganku mengingatkan masuknya waktu maghrib. Kami dipersilakan melakukan sholat jama’ qashar maghrib dan isya. Dengan bertayamum terlebih dahulu, aku mengerjakan sholat berjamaah dengan istriku.

baca selengkapnya...

Tuesday, January 16, 2007

Kalung Annisa v.2

Tulisan di bawah ini saya ambil dari kisah yang sebetulnya telah lama beredar dari milis ke milis. Saya tidak tahu siapa penulis awalnya, atau dari mana dicuplik cerita ini. Namun endingnya telah sedikit saya edit.


Ini cerita tentang Anisa, seorang gadis kecil yang ceria berusia lima tahun. Pada suatu sore, Anisa menemani Ibunya berbelanja di suatu supermarket. Ketika sedang menunggu giliran membayar, Anisa melihat sebentuk kalung mutiara mungil berwarna putih berkilauan, tergantung dalam sebuah kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Anisa sangat ingin memilikinya.

Tapi... Dia tahu, pasti Ibunya akan berkeberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji : Tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Ibunya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki ber-renda yang cantik.

Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya bertanya : "Ibu,bolehkah Anisa memiliki kalung ini ? Ibu boleh kembalikan kaos kaki yang tadi... " Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari tangan Anisa.Dibaliknya tertera harga Rp 15,000. Dilihatnya mata Anisa yang memandangnya dengan penuh harap dan cemas. Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tak mau bersikap tidak konsisten...

"Oke ... Anisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yang kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Ibu akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju ?" Anisa mengangguk lega, dan segera berlari riang mengembalikan kaos kaki ke raknya."Terimakasih..., Ibu"

Anisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya, kalungitu membuatnya nampak cantik dan dewasa. Dia merasa secantik Ibunya. Kalung itu tak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepasnya jika dia mandi atau berenang. Sebab, kata ibunya, jika basah, kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau...

Setiap malam sebelum tidur, Ayah Anisa akan membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya "Anisa..., Anisa sayang ngga sama Ayah ?""Tentu dong... Ayah pasti tahu kalau Anisa sayang Ayah !""Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu...""Yah..., jangan dong Ayah ! Ayah boleh ambil "si Ratu" boneka kuda dari nenek... ! Itu kesayanganku juga""Ya sudahlah sayang,... ngga apa-apa !". Ayah mencium pipi Anisa sebelum keluar dari kamar Anisa.

Kira-kira seminggu berikutnya, setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi, "Anisa..., Anisa sayang nggak sih, sama Ayah ?" "Ayah, Ayah tahu bukan kalau Anisa sayang sekali pada Ayah ?". "Kalau begitu, berikan pada Ayah kalung mutiaramu." "Jangan Ayah... Tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie ini.. " Kata Anisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah masuk kekamarnya, Anisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Anisa rupanya sedang menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam di atas pangkuan.Dari matanya,mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya..."Ada apa Anisa, kenapa Anisa ?"

Tanpa berucap sepatah pun, Anisa membuka tangan-nya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya " Kalau Ayah mau...ambillah kalung Anisa"

Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Anisa.Kalung itu dimasukkan ke dalam kantong celana. Dan dari kantong yang satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih... samacantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Anisa..."Anisa... ini untuk Anisa. Sama bukan ? Memang begitu nampaknya,tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau"

Ya..., ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untukmenggantikan kalung mutiara imitasi Anisa.

Demikian pula halnya dengan Allah S.W.T. Dia meminta ketulusan dan totalitas kita dalam mencintai-Nya. Dia tidak mau diduakan dengan hal lain. Kita kadang berucap "Laa ilaaha ilallah", namun masih tetap melakukan sesuatu demi hal lain selain Allah, seperti uang, jabatan, kehormatan, dll.

Apabila kita ikhlas hanya mencintai Allah dan meninggalkan yang lain, maka Allah akan mencukupi kebutuhan dan keinginan kita. Atau bahkan menggantikan hal-hal yang kita korbankan demi mencintai-Nya itu dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau bahkan lebih naif dari Anisa.

Itulah perlunya sikap ikhlas. Sebagaimana Nabi Ibrahim juga ikhlas mengorbankan anaknya. Padahal sebelumnya beliau telah mendambakan kehadiran seorang anak selama berpuluh-puluh tahun. Namun akhirnya, setelah mendapatkan permata hati satu-satunya yang amat dicintainya, harus direlakan untuk dikorbankan demi penghambaannya kepada Allah. Karena Nabi Ibrahim ikhlas, maka sembelihan diganti dengan domba, dan dikembalikannya Ismail ke pelukannya.

Wallahu a'lam

baca selengkapnya...

Friday, January 12, 2007

Amanah

Assalamu 'alaikum.

Ini adalah pengalaman pertama menulis di blog. Rasanya menarik juga, bisa nulis-nulis, mencurahkan ide, kilasan-kilasan pemikiran yang tiba-tiba muncul.

Mengawali halaman ini, saya ingin menyampaikan kepada pembaca, mengapa saya memajang kata amanah di blog ini. Kata yang sehari-hari sering kita dengar dan ucapkan. Mungkin apa yang saya sampaikan bukan makna yang sesungguhnya dari kata amanah itu, yah... sekedar persepsi saya tentangnya. Saya awali dengan ilustrasi berikut.


Beberapa dari kita, mungkin dahulu waktu kecil, pernah mendengar atau mendendangkan lagu dolanan "rap" berbahasa jawa, yang diajarkan oleh simbah, orang tua, atau teman-teman sepermainan kita :


E, dhayohe teka (E, tamunya datang)
E, gelarna klasa (Ayo, gelarlah tikar)
E, klasane bedhah (Waduh, tikarnya bolong)
E, tambalen jadah (Ya ditambal aja dengan suguhan kue jadah)
E, jadahe mambu (E, lha kok jadahnya basi)
E, pakakna asu (Ya udah, berikan aja ke anjing)
E, asune mati (Lho, anjingnya mati)
E, guwangen kali (Kalo gitu, buang aja ke kali)
E, kaline banjir (Ternyata kalinya sedang banjir)
E, guwangen pinggir (Ya buang aja di pinggir kali)

Ini biasanya dilagukan saat seorang ibu menghibur anaknya yang masih balita.

Makna lagu tersebut secara tekstual : Suatu saat, kita kedatangan tamu. Tentu saja secara sadar kita harus menghormati tamu yang datang itu dengan semampu kita. Pertama kali, pasti kita akan mempersilakan tamu itu masuk ke rumah dan duduk. Namun, ternyata ada masalah baru muncul, yaitu tempat duduknya tidak layak untuk diduduki. Oke, kita masuk kepada kesadaran ke-dua. Kesadaran ke-dua membawa kita kepada pengambilan keputusan ke-dua, yaitu menutupi lubang di tikar itu dengan suguhan kue jadah. Namun setelah kita mengambil keputusan untuk menyelesaiakan masalah ke-dua, ternyata ada masalah baru muncul, kue jadahnya ternyata sudah basi. Dan begitu seterusnya, akhirnya sampai kepada situasi akhir, yaitu membuang bangkai anjing di pinggir kali. Suatu kronologi, yang kalau dilihat menggunakan time frame yang pendek-pendek merupakan suatu alur yang logis. Namun bila kita zoom out, kita pandang rentang waktu secara keseluruhan, alurnya menjadi sangat lucu. Lha wong sedang kedatangan tamu kok malah ngurusi anjing mati ...

Nah, kalo kita konsisten terhadap kesadaran awal, maka mestinya kita jangan tergesa-gesa beralih ke masalah baru. Seharusnya kita tetap menerima dan menghormati tamu yang datang, walaupun dengan situasi darurat. Jangan sampai sang tamu malah terabaikan dan kecewa.

Suatu ilustrasi yang sangat sesuai dengan kehidupan manusia di dunia ini... Kita saat ini terlalu sibuk dengan urusan-urusan lain, sementara melupakan amanah, yang sebenarnya secara samar-samar masih bisa kita ingat dan rasakan.


Allah telah berfirman dalam QS 7:172 :

Dan, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka : " Bukankah Aku ini Tuhanmu ?" Mereka menjawab, " Betul, aku menjadi saksi. " Agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan," Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini."

Sesungguhnya, dahulu jiwa kita pernah memperoleh kesadaran untuk bersaksi bahwa Tuhan kita adalah Allah Yang Maha Esa. Dan itu membawa konsekuensi yang sangat besar bagi diri kita. Dengan bersaksi seperti itu, berarti kita telah mendapat amanah yang maha berat, yaitu kita tidak akan mempertuhankan hal-hal lain selain Tuhan Yang Maha Esa.

Namun, ketika kita lahir di dunia, kita disilaukan oleh situasi dunia yang sama sekali baru, sangat mengejutkan, dan sangat asing bagi sang jabang bayi. Saat itu kita dibekali dengan memori (otak) yang masih kosong. Kemudian mulailah sedikit demi sedikit, melalui panca indera yang kita miliki, kita mendapat pelajaran dari lingkungan sekitar kita, Ibu kita, Ayah kita, orang-orang di sekitar kita, lingkungan alam sekitar kita. Mulailah memori kita terisi secara perlahan-lahan.


Tentu saja, dengan berjalannya waktu, banyak sekali hal-hal dan masalah yang kita hadapi. Kombinasi yang rumit antara kejadian-kejadian yang kita hadapi, orang-orang yang berada di sekitar kita, dan variabel-variabel lain yang sangat banyak dan kompleks, akhirnya memunculkan orientasi-orientasi dan nilai-nilai yang berbeda-beda antara satu individu dengan individu lainnya. Ingat lagu dolanan tadi ?, barangkali, saat ini kita berada pada step kesadaran "E, asune mati, e, guwangen kali."


Barangkali kita saat ini sedang mempertuhankan jabatan, bekerja keras dan membangun koneksi ke sana kemari demi sebuah jabatan, bukan demi ridho Allah. Padahal kita diwajibkan bekerja oleh Allah untuk menafkahi keluarga dengan harta yang halal. Atau mungkin kita saat ini sedang mempertuhankan anak. Kita mati-matian banting tulang bekerja, demi masa depan ekonomi anak kita. Padahal kita diwajibkan oleh Allah untuk membekali anak dengan pendidikan yang baik, sehingga menjadi anak yang sholeh. Atau mungkin kita saat ini sedang mempertuhankan uang. Sabet sana sabet sini, tidak peduli uang apa itu, kita kumpulkan sebanyak-banyaknya. Masya Allah ...

Maka, bagi kita yang tidak membaca ayat-ayat Tuhan di alam semesta, dan berusaha untuk membuka kembali manual book kehidupan kita, yaitu kitab suci (Al Quran), tentu kita akan semakin terbawa kepada orientasi-orientasi yang salah, yang dapat menjerumuskan kita kepada kesesatan dan pengingkaran terhadap amanah yang kita komitmenkan di awal.

Mungkin ada yang menyangkal, " Salah sendiri, Allah menciptakan kita hidup di dunia yang begitu gemerlap dan melenakan ini, dan mengapa juga manusia diberi potensi atau kecenderungan-kecenderungan untuk melupakan komitmen awal." Sesungguhnya Allah telah cukup adil terhadap manusia. Dia telah memberi bekal yang cukup bagi manusia untuk bertualang di rimba dunia, yaitu :

[] Akal pikiran yang sangat superior dibanding makhluk lain.
[] Tubuh manusia yang paling sempurna di antara makhluk ciptaan-Nya.
[] Panca indera, yang berperan sebagai pintu-pintu kesadaran kita.
[] Alam semesta yang maha luas, kompleks, terdiri dari milyaran tumbuhan, hewan, manusia, makhluk mikroskopis. Kemudian lautan yang sangat luas, daratan yang tersebar berserakan, udara dengan kandungan unsur-unsur yang pas dengan kebutuhan manusia, matahari dengan sinarnya yang tidak mematikan, bulan yang menerangi bumi di malam hari, bintang-bintang yang bisa memberi petunjuk arah. Alam semesta ini semua merupakan laboratorium yang sangat sempurna, yang bisa digunakan oleh manusia untuk mempelajari dan memahami hikmah-hikmah, dan mengantarkan manusia kepada kesadaran puncak akan keberadaan Tuhannya, beserta konsekuensi-konsekuensi atas kesadaran itu.


Dan lagi, sebetulnya Allah tidak begitu saja membiarkan manusia belajar di laboratorium alam semesta ini secara otodidak. Dia telah telah secara khusus mengutus mahaguru kehidupan, yaitu para nabi, dan menerbitkan manual book dan referensi-referensi yang berupa kitab-kitab suci. Tinggal kita pilih, mana yang paling jelas, lengkap, logis, dan mudah dipahami.


Selanjutnya, blog ini akan saya isi dengan kilasan-kilasan pikiran saya, dengan harapan dapat mengingatkan, khususnya diri saya sendiri, kepada amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Insya Allah...


Wallahu a'lam.

baca selengkapnya...